Antisipasi
Korupsi Masuk Desa
Kusnadi Chandrajaya ; Alumnus FISIP Universitas Diponegoro,
Tinggal
di Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 20 Januari 2014
“Sarjana baru tersebut bertugas membimbing kades dalam urusan
manajemen pemerintahan dan pembangunan”
PENGESAHAN RUU tentang Desa
menjadi undang-undang oleh DPR pada 17 Desember 2013 merupakan momentum
menggembirakan, terutama bagi mereka yang sejak lama memperjuangkan. Juga
bagi kepala desa (kades) dan perangkat desa, serta warga yang mendambakan
desanya lebih maju dan sejahtera. Meski demikian, bisa diperkirakan tidak
semua kades di Indonesia bisa serta merta menerima kehadiran undang-undang
tersebut. Misal tentang penghasilan tetap bagi kades dan perangkat desa.
Dua hal lain pasti disambut
gembira. Pertama; kesempatan kades berkuasa sampai 18 tahun atau tiga kali
masa jabatan melalui pilkades langsung. Kedua; kucuran dana dari pusat 10%
APBN yang diberikan ke pemda atau Rp 600 juta-Rp 750 juta per desa (mengacu
APBN 2014). Besar dana tiap desa berdasarkan kriteria luas wilayah, jumlah
penduduk, letak kesulitan geografis, dan tingkat kemiskinan
penduduk
Hanya kades dan warga masih
harus bersabar menunggu tahun 2015 mengingat APBN 2014 sudah telanjur
disahkan DPR. Lagi pula diperlukan sejumlah persiapan untuk pelaksanaan lebih
lanjut berupa peraturan pemerintah dan peraturan daerah yang mengatur
pemilihan kades, pendistribusian uang, pengawasan, pertanggungjawaban dan
lain-lain.
Ihwal kemunculan masalah
berkait penghasilan tetap kades dan perangkatnya, dan kemungkinan besar
terjadi di Jawa. Di Jawa, kades dan perangkat desa sudah sejak lama menerima
‘’penghasilan tetap’’, berupa hasil dari bengkok yang umumnya sawah. Lewat UU
baru, dengan penghasilan tetap tiap bulan yang tak cukup banyak (mengingat
kades dan sekdes boleh tamatan SLTA, serta perangkat lain boleh lulusan
SLTP), mereka akan merasa rugi.
Suatu hal menarik dan menjadi
sorotan adalah kemungkinannya “penyakit” korupsi merambah ke desa-desa
berkenaan pengucuran dana pusat yang relatif besar, apalagi jika pemda juga
masih mengucurkan subsidi. Kekhawatiran ini mengacu penyakit korupsi yang
sudah seperti membudaya pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan
sebagainya, ternyata sudah menyentuh desa semisal berkaitan dengan bansos.
Anggota DPR, Sumaryoto
Padmodiningrat dalam tulisannya (SM, 2/1/2014) mengungkapkan kemerebakan
kasus korupsi yang sudah melibatkan 309 kepala daerah (dari seluruh 506).
Masih ditambah korupsi di lembaga yudikatif dan legislatif, termasuk yang
melibatkan sejumlah anggota DPR.
Ada beberapa faktor yang
berpengaruh dalam pengelolaan dana besar itu sehingga berakibat terjadi
penyelewengan. Pertama; menyangkut kesiapan kades, perangkat dan warganya, terutama
di daerah tertinggal atau sangat tertinggal. Ketidaksiapan kades dan
perangkatnya, terutama soal manajemen proyek, berisiko melahirkan
penyimpangan yang bisa saja dilakukan secara tidak sengaja.
Kedua; kemungkinan ada pihak
yang ingin memanfaatkan kesempatan. Bisa saja pihak ketiga berusaha
berkolusi, menggelembungkan dana untuk kegiatan tertentu (proyek) atau lebih
fatal lagi membuat program fiktif. Ketiga; faktor pengawasan yang
diperkirakan masih lemah.
Menampung Aspirasi
Karena itu, menyambut kucuran
dana ratusan juta rupiah tiap desa, selain harus mempersiapkan SDM berkaitan
dengan manajemen melalui pelatihan, aspek pengawasan perlu memperoleh
perhatian khusus. Di desa memang ada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tetapi
dengan hanya 5 anggota, jelas terlalu sedikit. Fungsinya pun sebatas
nenampung dan menyalurkan aspirasi warga.
Hal ini berbeda dari DPR/DPRD
yang punya fungsi pengawasan. Kesempatan warga atau perwakilan warga bertemu
dalam musyawarah desa setahun sekali yang dipimpin kades, belum tentu efektif
untuk mengawasi pelaksanaan program desa.
Ada faktor yang memberikan
peluang kades terjebak penyelewengan karena undang-undang tak melarang mereka
berbisnis atau berandil dalam perusahaan. Berbeda dari kepala daerah
(gubernur/bupati/wali kota) yang dilarang mempunyai atau ikut andil
dalam perusahaan. Itu saja masih ada yang menyiasati. Peluang lainnya,
kades juga berwenang menyusun rancangan APBDesa, merencanakan pembangunan,
mengelola keuangan dan kekayaan desa.
Untuk mencegah praktik yang
merugikan negara, sembari menanti pemberlakuan UU tentang Desa pada tahun
depan, pemerintah sebaiknya mempersiapkan SDM desa menjadi tenaga profesional
yang tangguh dan jujur. Selain itu, membuat peraturan (baik PP maupun perda)
yang mengatur mekanisme pengawasan ketat.
Untuk mengatasi kelemahan
kualitas SDM di desa, Kementerian Dalam Negeri bisa bekerja sama dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa bekerja sama untuk menempatkan
sarjana baru (terutama lulusan ekonomi dan teknik) di desa tertentu. Sarjana
baru tersebut melakukan kerja pengabdian selama waktu tertentu untuk
membimbing kades dan perangkatnya dalam hal manajemen pemerintahan dan
pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar