Senin, 20 Januari 2014

Antisipasi Korupsi Masuk Desa

Antisipasi Korupsi Masuk Desa

Kusnadi Chandrajaya  ;   Alumnus FISIP Universitas Diponegoro,
Tinggal di Semarang
SUARA MERDEKA,  20 Januari 2014
                                                                                                                       


“Sarjana baru tersebut bertugas membimbing kades dalam urusan manajemen pemerintahan dan pembangunan”

PENGESAHAN RUU tentang Desa menjadi undang-undang oleh DPR pada 17 Desember 2013 merupakan momentum menggembirakan, terutama bagi mereka yang sejak lama memperjuangkan. Juga bagi kepala desa (kades) dan perangkat desa, serta warga yang mendambakan desanya lebih maju dan sejahtera. Meski demikian, bisa diperkirakan tidak semua kades di Indonesia bisa serta merta menerima kehadiran undang-undang tersebut. Misal tentang penghasilan tetap bagi kades dan perangkat desa.

Dua hal lain pasti disambut gembira. Pertama; kesempatan kades berkuasa sampai 18 tahun atau tiga kali masa jabatan melalui pilkades langsung. Kedua; kucuran dana dari pusat 10% APBN yang diberikan ke pemda atau Rp 600 juta-Rp 750 juta per desa (mengacu APBN 2014). Besar dana tiap desa berdasarkan kriteria luas wilayah, jumlah penduduk, letak kesulitan geografis, dan tingkat  kemiskinan penduduk          

Hanya kades dan warga masih harus bersabar menunggu tahun 2015 mengingat APBN 2014 sudah telanjur disahkan DPR. Lagi pula diperlukan sejumlah persiapan untuk pelaksanaan lebih lanjut berupa peraturan pemerintah dan peraturan daerah yang mengatur pemilihan kades, pendistribusian uang, pengawasan, pertanggungjawaban dan lain-lain.

Ihwal kemunculan masalah berkait penghasilan tetap kades dan perangkatnya, dan kemungkinan besar terjadi di Jawa. Di Jawa, kades dan perangkat desa sudah sejak lama menerima ‘’penghasilan tetap’’, berupa hasil dari bengkok yang umumnya sawah. Lewat UU baru, dengan penghasilan tetap tiap bulan yang tak cukup banyak (mengingat kades dan sekdes boleh tamatan SLTA, serta perangkat lain boleh lulusan SLTP), mereka akan merasa rugi.

Suatu hal menarik dan menjadi sorotan adalah kemungkinannya “penyakit” korupsi merambah ke desa-desa berkenaan pengucuran dana pusat yang relatif besar, apalagi jika pemda juga masih mengucurkan subsidi. Kekhawatiran ini mengacu penyakit korupsi yang sudah seperti membudaya pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan sebagainya, ternyata sudah menyentuh desa semisal berkaitan dengan bansos.

Anggota DPR, Sumaryoto Padmodiningrat dalam tulisannya (SM, 2/1/2014) mengungkapkan kemerebakan kasus korupsi yang sudah melibatkan 309 kepala daerah (dari seluruh 506). Masih ditambah korupsi di lembaga yudikatif dan legislatif, termasuk yang melibatkan sejumlah anggota DPR.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan dana besar itu sehingga berakibat terjadi penyelewengan. Pertama; menyangkut kesiapan kades, perangkat dan warganya, terutama di daerah tertinggal atau sangat tertinggal. Ketidaksiapan kades dan perangkatnya, terutama soal manajemen proyek, berisiko melahirkan penyimpangan yang bisa saja dilakukan secara tidak sengaja.

Kedua; kemungkinan ada pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan. Bisa saja pihak ketiga berusaha berkolusi, menggelembungkan dana untuk kegiatan tertentu (proyek) atau lebih fatal lagi membuat program fiktif. Ketiga; faktor pengawasan yang diperkirakan masih lemah.

Menampung Aspirasi

Karena itu, menyambut kucuran dana ratusan juta rupiah tiap desa, selain harus mempersiapkan SDM berkaitan dengan manajemen melalui pelatihan, aspek pengawasan perlu memperoleh perhatian khusus. Di desa memang ada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tetapi dengan hanya 5 anggota, jelas terlalu sedikit. Fungsinya pun sebatas nenampung dan menyalurkan aspirasi warga.

Hal ini berbeda dari DPR/DPRD yang punya fungsi pengawasan. Kesempatan warga atau perwakilan warga bertemu dalam musyawarah desa setahun sekali yang dipimpin kades, belum tentu efektif untuk mengawasi pelaksanaan program desa.

Ada faktor yang memberikan peluang kades terjebak penyelewengan karena undang-undang tak melarang mereka berbisnis atau berandil dalam perusahaan. Berbeda dari kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) yang dilarang  mempunyai atau ikut andil dalam  perusahaan. Itu saja masih ada yang menyiasati. Peluang lainnya, kades juga berwenang menyusun rancangan APBDesa, merencanakan pembangunan, mengelola keuangan dan kekayaan desa.

Untuk mencegah praktik yang merugikan negara, sembari menanti pemberlakuan UU tentang Desa pada tahun depan, pemerintah sebaiknya mempersiapkan SDM desa menjadi tenaga profesional yang tangguh dan jujur. Selain itu, membuat peraturan (baik PP maupun perda) yang mengatur mekanisme pengawasan ketat.

Untuk mengatasi kelemahan kualitas SDM di desa, Kementerian Dalam Negeri bisa bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa bekerja sama untuk menempatkan sarjana baru (terutama lulusan ekonomi dan teknik) di desa tertentu. Sarjana baru tersebut melakukan kerja pengabdian selama waktu tertentu untuk membimbing kades dan perangkatnya dalam hal manajemen pemerintahan dan pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar