Senin, 20 Januari 2014

Mengatasi “Minsky Moment”

Mengatasi “Minsky Moment”

Harjoko Sangganagara  ;   Dosen STIA Bagasasi Bandung
KORAN JAKARTA,  20 Januari 2014
                                                                                                                        


Langkah Bank Indonesia (BI) yang terkesan membiarkan nilai tukar rupiah melemah beberapa bulan terakhir ini hingga melewati 12.000 per dollar AS memang berpengaruh baik bagi cadangan devisa yang terus meningkat.

Namun, di sisi lain, juga ada dampak negatif yang tidak kalah serius. Ada pelajaran penting di balik kondisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS menjelang akhir 2013 sampai pertengahan Januari 2014. 

Pelemahan rupiah semestinya diatasi serius karena bisa menimbulkan efek domino yang memperpuruk perekonomian rakyat pada 2014. Efek tersebut juga mengurangi daya beli masyarakat dan mengancam kelangsungan lapangan kerja karena dunia usaha dan industri kesulitan atau tidak mampu membeli bahan baku impor untuk proses produksi.

Publik sempat kecewa dengan sikap BI yang secara tidak langsung menyatakan bahwa pelemahan rupiah wajar karena banyak utang jatuh tempo akhir tahun sehingga permintaan terhadap dollar melonjak. BI juga menyatakan pelemahan rupiah sudah sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia.

Dalam domain keilmuan ekonomi moneter, fundamental nilai tukar ditentukan beberapa faktor, seperti terms of trade, perbandingan antara harga barang luar negeri dan domestik, aset internasional yang dimiliki suatu negara, serta perbandingan pertumbuhan uang beredar dalam negeri dengan pertumbuhan uang beredar luar negeri, yaitu pertumbuhan jumlah dollar. 

Indonesia yang banyak bergantung pada produk komoditas saat ini cukup terpukul karena harga di tingkat global turun sehingga terms of trade memburuk. Kemudian, cadangan devisa saat ini naik hingga 99,38 miliar dollar AS. 

Memasuki 2014, Indonesia terkena langsung dampak turbulensi perekonomian global yang memorakporandakan teori-teori ekonomi keuangan. Berbagai kebijakan telah diluncurkan untuk mengatasi dampak tersebut, seperti menaikkan BI Rate. Namun, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak kunjung menguat. 

Ada buku menarik berjudul Stabilizing The Unstable Economy karya Herman P Minsky yang bisa dijadikan referensi untuk menghadapi turbulensi perekonomian 2014.

Selama ini, para akademisi dan praktisi ekonomi mengenal istilah Minsky Moment untuk menggambarkan ekonomi yang berada dalam kondisi turbulensi. Kini, istilah tersebut menjadi relevan kembali setelah sekian lama tertimbun keangkuhan neoliberalisme. 

Selama ini, pasar telah berjalan di jalur bebas hambatan. Hampir semua rezim pemerintahan di muka Bumi menciptakan kondisi yang memungkinkan pasar bekerja sempurna, termasuk membuat UU yang memuluskan pergerakan barang, jasa, keuangan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung, serta mencegah segala rupa gangguan dari individu atau kelompok terhadap mekanisme pasar.

Intinya, dalam rezim neoliberal, peran negara tut wuri handayani, mendukung dari belakang. Setelah sekian lama, apa yang terjadi? Ternyata daya dan upaya tadi justru mengakibatkan turbulensi tiada henti.

Dengan kondisi demikian, banyak pihak yang merekomendasikan inversi atau pembalikan situasi yang menyebabkan turbulensi tersebut dengan memberlakukan kebijakan tidak lagi melepas sebebas-bebasnya. Di balik rekomendasi tersebut, bekerja model analisis yang melihat krisis saat ini bersifat siklikal bersandar pada teori siklus bisnis (business cycle), yang populer disebut Minsky Moment.
Teori siklus bisnis itu secara sederhana dinyatakan adanya dua periode. Pada mulanya, periode optimisme dalam pasar finansial. Ini ditandai dengan tindakan agresif ekspansif pemberi dan penerima pinjaman karena peluang keuntungan besar di masa depan.

Akibatnya, dalam periode ini, kehati-hatian diabaikan. Praktik spekulasi sangat dominan sehingga menggiring pada periode yang disebut the death of business cylce. Lalu, muncul periode pesimisme yang ditandai dengan hilangnya kepercayaan pada pelaku pasar yang menyebabkan krisis finansial.

Menurut Herman Minsky, ekonom yang pernah terpinggirkan selama periode optimisme pasar finansial, untuk mencegah krisis yang lebih luas, perlu memaksimalkan peran Dewan Bank Sentral AS.

Mereka bersama bank sentral negara-negara kapitalis maju lainnya bertindak sebagai lender of the last resort atau pemberi pinjaman terakhir. Kemudian, membawa kembali peran negara yang aktif dan intervensionis dalam pasar guna menstabilkan turbulensi ekonomi tersebut.

Keyness dikenal dengan rekomendasi untuk mengedepankan kebijakan moneter dibanding stimulus fiskal. Kebijakan ini melahirkan surplus bujet pada periode pertumbuhan untuk menciptakan ruang gerak membawa siklus bisnis ke wilayah soft landing jika terjadi ketidakstabilan atau turbulensi. 

Minsky mengusulkan cara berbeda dengan menekankan bahaya suatu bangsa yang mengalami turbulensi ekonomi. Ini disebut fenomena ketidakpastian masuknya investasi yang dapat mengganggu aliran dana segar atau cash flow saat turbulensi. Gangguan ini melahirkan volatility of investment.

Lewat bukunya, Stabilizing The Unstable Economy, Minsky menjelaskan ekonomi suatu bangsa bisa rentan saat menghadapi fluktuasi dan cara memiliki instrumen untuk memagari perambatan fluktuasi. Menurutnya, proses yang menyebabkan financial fragility bersifat alamiah yang inheren sebagai kekuatan tersembunyi bekerja dalam sistem ekonomi suatu bangsa. 

Minsky lebih mengedepankan peranan inovasi dan daya kewirausahaan untuk mengambil risiko sebagai faktor penggerak utama dari siklus bisnis. Hanya dengan program inovasi yang tepat dan menularkan kewirausahaan kepada rakyat luas yang mampu mengatasi turbulensi ekonomi.

Otoritas ekonomi suatu bangsa mestinya mencermati dengan baik teori Minsky yang bisa menunjukkan celah cara memotong rantai kecenderungan spiral down atau pusaran siklus yang menyedot energi dan sumber daya. Konkretnya, suatu pusaran karena defisit neraca perdagangan sehingga menyebabkan harga dollar terus meningkat dan rupiah melemah. Semua bahan kebutuhan pokok naik harganya. 
Kenaikan harga membawa aliran daya beli rumah tangga terpuruk dan semakin tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup. Siklus spiral down tersebut perlu dikaji secara mendalam agar bisa dihentikan (Minsky Moment).

Intervensi pemerintah dan BI yang lebih besar dan sistemik agar nilai tukar rupiah tidak terus tersungkur tahun ini amat penting. Apalagi kebijakan nilai tukar fleksibel atau mengambang yang dianut otoritas moneter sangat rentan terhadap transaksi arbitrase yang memborong suatu mata uang lalu menjual dengan harga tinggi. Ini juga rentan terhadap spekulasi yang memanfaatkan ketidakpastian di dalam mekanisme pasar. Pemerintah hendaknya tidak mengabaikan dampak negatif kegiatan spekulan lokal dan global terhadap nilai tukar rupiah sekarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar