Banjir,
Masalah yang tidak Terselesaikan
Surna Tjahja Djajadiningat ; Guru
Besar Manajemen Lingkungan
Institut Teknologi Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Januari 2014
BANJIR yang melanda hampir seluruh
provinsi di Indonesia telah memakan ribuan korban jiwa dan harta benda. Banjir
dianggap sebagai fenomena alam dan ulah manusia. Dikatakan fenomena alam
apabila sumber penyebabnya ialah intensitas curah hujan yang tinggi sebagai
bagian dari siklus hidrologi. Siklus hidrologi diawali dengan menguapnya air
laut menutupi atmosfer dan kembali ke bumi sebagai hujan. Siklus hidrologi
merupakan fenomena yang konstan, O tetapi dari tahun ke tahun, tidak terjadi
pada lokasi yang sama dan di beberapa lokasi mengalami curah hujan di atas
rata-rata, sementara di tempat lain terjadi kekeringan.
Banjir ialah peristiwa ketika
aliran air yang berlebihan merendam daratan. Aliran air dapat terjadi akibat
curah hujan yang tinggi atau masuknya pasang laut ke daratan. Banjir
diakibatkan oleh volume air di badan sungai atau danau yang meluap atau
menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan alaminya.
Ukuran badan air terus berubah-ubah sesuai perubahan curah hujan dan
pencairan salju. Banjir di daerah permukaan rendah yang terjadi sebagai
akibat hujan turun secara terusmenerus dan muncul secara tiba-tiba dikenal
sebagai banjir bandang.
Selama seratus tahun ini telah
terjadi proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu di atas rata-rata
atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Meningkatnya suhu global akan
menyebabkan perubahan seperti naiknya permukaan laut, meningkatnya intensitas
fenomena cuaca ekstrem, serta perubahan dan pola presipitasi. Walaupun emisi
gas rumah kaca telah stabil, besarnya kapasitas kalor laut akan tetap
menyebabkan pemanasan global dalam kurun seribu tahun.
Pemanasan global berdampak pada
cuaca, tinggi permukaan laut, pantai, pertanian, flora dan fauna, serta
kesehatan manusia. Pemanasan global di belahan utara bumi memanas lebih
tinggi dari daerah-daerah lain. Akibatnya gunung es mencair, daratan lebih
menciut, dan sedikit es yang terapung. Daerah yang biasanya mengalami salju
yang tidak terlampau banyak akan kehilangan musim salju.
Di pegunungan daerah subtropis,
bagian yang ditutup salju semakin sedikit serta semakin cepat mencair. Musim
tanam akan lebih panjang di beberapa daerah dan suhu pada musim dingin dan
malam hari cenderung meningkat. Aki bat dari uap air yang merupakan gas rumah
kaca sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer
sehingga Indonesia menjadi lebih lembab karena lebih ba nyak air laut yang
menguap, mening katkan dan menurunkan permukaan yang lebih ekstrem.
Uap air yang lebih banyak akan
membentuk awan lebih banyak sehingga memantul kan cahaya matahari kembali ke
ruang angkasa, dan menurunkan pemanasan. Kelembaban yang tinggi meningkatkan
curah hujan sekitar 1% untuk setiap pemanasan 1 OF.
Badai lebih sering dan air cepat
menguap dari tanah. Akibatnya, beberapa daerah menjadi lebih kering ketimbang
sebelumnya. Angin bertiup lebih kencang dengan pola berbeda. Topan badai men
jadi lebih sering dan juga suhu dingin terjadi. Pola cuaca semakin tidak
terprediksi dan lebih ekstrem.
Kerusakan
ekosistem
Kenaikan suhu atmosfer
meningkatkan suhu lapisan permukaan laut sehingga volumenya menjadi lebih
besar dan meningkatnya permukaan laut. Pemanasan global mencairkan es di
kutub, terutama sekitar Greenland dan akan meningkatkan volume air laut. Di
abad ke-20, tinggi permukaan laut di dunia meningkat 10 cm-25 cm, dan pada
abad ke-21 diprediksi akan kembali meningkat setinggi 9 cm-88 cm.
Bagi Indonesia, naiknya permukaan
laut berdampak semakin meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir terutama
di perkotaan dan pantai, perubahan arus laut, ancaman terhadap kegiatan
sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan berkurangnya luas daratan serta
tenggelamnya pulau-pulau kecil. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir
memberikan efek kumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan
frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang sama.
Kenaikan permukaan air laut selain
mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir, juga mengakibatkan
rusaknya ekosistem mangrove, menurun dari 5 juta hektare (1982) menjadi
kurang dari 2 juta hektare (2012). Apabila keberadaan hutan mangrove tidak
dapat dilestarikan, abrasi akan pantai meningkat karena tidak adanya penahan
gelombang, dan pencemaran dari sungai ke laut meningkat karena tidak adanya
filter pencemar dan budi daya ikan terancam punah.
Gangguan kondisi sosial ekonomi
masyarakat terus meningkat, antara lain terhadap jalur lalu lintas di pantai
utara Jawa, banjir di perkantoran di pantura Jawa, Sulawesi Timur, Sumatra
Timur, Kalimantan Selatan, pesisir Papua dan lahan budi daya seperti sawah,
payau, dan kolam ikan. Pada akhir abad ke-21, luasan kawasan pesisir hilang
mencapai 202.500 hektare dan 2.000-4.000 pulau kecil tenggelam.
Bagi Indonesia naiknya permukaan
air dan banjir diperparah oleh ulah manusia, seperti pengurangan luas hutan
tropis sebagai akibat pengalihan hutan ke permukiman, pertanian, perkebunan,
pertambangan dan akibat kebakaran hutan. Pengalihan hutan tropis ke kegiatan
lainnya menghambat proses vegetasi yang membantu menahan curah hujan turun
langsung ke tanah. Masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
dan kebiasaan buruk masyarakat dengan membuang sampah ke sungai terutama
masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, mengakibatkan pendangkalan sungai
sehingga tumpukan sampah mengakibatkan berkurangnya kemampuan sungai untuk
menyerap air dan air meluap dari badan sungai ke daratan. Di kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, perluasan lahan permukiman terus
terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Itu mengurangi ruang
terbuka hijau sebagai lahan untuk penyerapan air hujan.
Menghadapi banjir di masa
mendatang dibutuhkan pendekatan yang lebih holistis dalam mengelola banjir
agar dapat bertahan terhadap ketidakpastian yang semakin tinggi atau harus
dapat beradaptasi dengan keragaman penyebab banjir masa depan.
Pendekatan
terintegrasi
Tantangan yang dihadapi dengan
banyaknya tindakan nonstruktural perlu untuk melibatkan dan mendapatkan
persetujuan para pemangku kepentingan. Sangat penting juga untuk
mempertimbangkan masalah temporal dan ruang dalam menentukan strategi
penanggulangan banjir. Perencanaan penggunaan lahan dan regulasi pengembangan
merupakan aspek kunci dalam mengelola risiko banjir perkotaan. Perlu adanya
pendekatan terintegrasi dalam me ngelola risiko banjir perkotaan yang mengombinasi
kan tindakan tindakan struktural dan nonstruktural.
Mendapatkan keseimbangan yang
tepat antara tindakan struktural juga merupakan tantangan. Para pembuat
kebijakan memerlukan visi yang jelas tentang alternatif, metode serta
perangkat untuk membantu memutuskan pilihan tindakan yang akan dilaksanakan.
Pelaksanaan keputusan dalam penanganan banjir membutuhkan kepemimpinan yang
prima.
Kebijakan serta pelaksanaan
pengelolaan banjir sangat penting untuk mengaitkan risiko banjir dengan
inisiatif yang berhubungan dengan penurunan kemiskinan, adaptasi terhadap
perubahan iklim, dan dengan isu spesifik tentang perencanaan dan pengelolaan
perkotaan seperti pengaturan perumahan, pemilikan tanah, pembangunan
perkotaan dan ruang terbuka hijau. Solusi terhadap penurunan risiko banjir
harus seiring dengan penciptaan kesempatan dan untuk mempromosikan
pembangunan kota yang berkelanjutan.
Terdapat 12 prinsip utama dalam
pengelolaan risiko banjir di perkotaan; 1) Setiap skenario risiko banjir
ialah kontekstual dan tidak ada cetak biru pengelolaan banjir, 2) Rancangan
untuk mengelola banjir harus menyesuaikan dengan perubahan dan ketidakpastian
masa depan, 3) Urbanisasi yang tumbuh cepat membutuhkan pengelolaan risiko
banjir secara terintegrasi dengan rancangan tata kota dan tata laksananya, 4)
Strategi terintegrasi membutuhkan tindakan struktural dan nonstruktural
dengan cara pengukuran untuk dapat hasil yang tepat dan seimbang, 5) Tindakan
struktural dengan rekayasa yang canggih dapat mengurangi risiko hulu dan
hilir, 6) Kemungkinan untuk meniadakan risiko secara keseluruhan adalah
mustahil.
7) Tindakan pengelolaan banjir yang
terintegrasi akan menghasilkan manfaat ganda, 8) Penting untuk
mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis dalam pembiayaan pengelolaan
banjir, 9) Diperlukan kejelasan tentang penanggung jawab konstruksi dan
pengelolaan program risiko banjir, 10) Implementasi pengelolaan risiko banjir
memerlukan kerja sama para pemangku kepentingan, 11) Perlu adanya komunikasi
yang berkesinambungan untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat kesiapan
menghadapi risiko banjir, 12) Perlu adanya rencana pemulihan secara cepat dan
tepat setelah banjir untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar