|
"Pahlawan itu sosok yang pejuang yang
mampu memenangkan kebenaran dengan cara mengalahkan kecenderungan jahat dalam
dirinya," (Abror Ghifar Rahman, 2011).
Sayangnya, sosok yang
berprofilkan mampu mengalahkan kecenderungan jahat dalam dirinya itu semakin
langka ditemukan di negeri ini. Bangsa Indonesia sedang berada di jalur
"darurat" kepahlawanan, artinya kian mengalami krisis manusia-manusia
yang cinta pada kebenaran dan mengabdikan dirinya terhadap keadilan.
Fakta
memprihatinkan, kita sudah demikian sering jadi obyek jarahan para pencoleng
berdasi yang mengumbar keserakahan melalui jaringan kejahatan terorganisir.
Uang negara sudah tak terhitung banyaknya mengalir ke kantong-kantong
segelintir atau kelompok (geng) orang yang bernafsu menjadi orang kaya baru
(OKB), orang kaya berkelanjutan dan berkeabadian (OKBB) atau orang kaya
mendadak (OKM).
Dalam
ranah itu, teori hukum seperti pisau tajam namun tumpul saat digunakan mengasah
dan membelah. Teori hukum seolah mampu menembus batas kelas sosial, ekonomi,
politik, dan edukasi, saat diduga ada diantara pelaku "berkelas" ini
yang menjadi pencoleng elite. Sayangnya elite kriminal ini masih lebih sering
menjadi pemenangnya. Komunitas pencoleng elite ini tetap saja lebih lihai dan
"kreatif" dalam menumpulkan kesaklaran teori hukum.
Teori
keadilan Aristoteles dalam bukunya, Nicomachean Ethics dan teori keadilan
sosial John Rawl dalam bukunya, A Theory of Justice, menegaskan bahwa keadilan
harus diagungkan, dinomorsatukan, dan harus di atas segala-galanya untuk selalu
diperjuangkan oleh setiap manusia. Keadilan tak boleh dilecehkan, dan
direndahkan derajatnya oleh para pelanggar moral dan hukum.
Apa
yang disampaikan Aristoteles dan John Rawl tersebut menunjukkan, bahwa keadilan
harus ditegakkan dalam keadaan apapun dan kepada siapapun. Keadilan tak
mengenal kasta, tidak meninggikan status sosial dan apalagi memenangkan yang
berpangkat. Yang benarlah yang wajib dimenangkan atau yang menurut hukumlah
yang harus ditegakkan. Siapapun yang mengabdikan dirinya untuk menegakkan
keadilan, maka dialah yang layak distigma sebagai pahlawan.
Dalam
realitas, memang tidak selalu yang benar yang menjadi pemenang atau dimenangkan
oleh kinerja elemen peradilan. Praktik hukum tidak selalu mengabdi pada
kebenaran dan keadilan hukum. Tidak jarang kebenaran dan keadilan hukum
dikalahkan oleh kepentingan elitis politik dan ekonomi. Kebenaran hukum yang
idealnya mengantarkan pada terwujudnya wajah cantik keadilan, tidak mudah
berlabuh (membumi).
Tidak
sedikit duri yang menghambat dan "menjegal" kebenaran hukum, dan
sebaliknya sangat banyak kekuatan pencoleng elite atau penjahat di ranah
kejahatan berdasi (white collar crime)
yang mampu mencabik-cabik konstruksi sistem hukum dan moral para penegaknya.
Masih sangat banyak sosok elitis yang tidak mengonstruksi dirinya menjadi
pahlawan. Mereka yang idealitasnya menjadi pahlawan, justru menjatuhkan opsi
menjadi bajingan.
Salah
satu modus operandi yang dijalankan oleh pencoleng berdasi itu adalah
menciptakan atmosfir politik yang mampu menghadirkan terjadinya dan menguatnya
amnesia di tengah masyarakat. Penyakit amnesia ini bukan hanya menyerang dan
mengidap kuat di dalam ingatan kaum selebriti politik dan pejabat negara, serta
elemen penegak hukum, tetapi juga menyerang ingatan orang kecil atau golongan
akar rumput. Para bajingan memproduk banyak duri supaya orang kecil pun malas
membentuk dirinya jadi pahlawan.
Di
suatu saat, kita dibawa pada opini publik tentang kasus yang sedang menimpa
seseorang, geng elitis, atau korporasi berpengaruh. Tetapi kasus-kasus ini
tidak terlalu lama mendiami wacana. Pasalnya, adanya kasus baru yang lebih
aktual, yang nilai jual publisitasnya lebih tinggi atau komoditi gosip
politiknya dapat lebih cepat dan dahsyat dalam mempengaruhi dan membelokkan
orientasi publik.
Sudah
berjumlah-jumlah pendosa atau pelaku kejahatan istimewa berkategori extra ordinary crime seperti korupsi dan
sadisme global semacam "penjagalan nyawa manusia" Indonesia di negara
lain. Namun, ingatan kita yang semula terfokus ini serta merta buyar akibat
"dilindas" oleh kehadiran kejahatan-kejahatan penyalahgunaan
kekuasaan kontemporer dan konflik-konflik politik baru, meski kejahatan dan
konflik politik baru ini masih kalah kualifikasi pemberatan atau dampak
sosial-destruksinya dibandingkan dengan produk kejahatan terdahulu.
Oleh
gerombolan pencoleng berdasi itu, masyarakat negeri ini dibuat lebih bergairah
dalam menyukai kasus yang bersifat sensasional dan news, meski kondisi ini
potensional melemahkan atau mendistorsi daya nalar dan ingatannya. Akibatnya
kasus lama dianggap sekedar sebagai bagian dari "ujian" dan
"kerikil" yang mesti dialaminya dan tidak harus diingatnya terus menerus,
di samping dalih lainnya. Bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya itu
dimungkinkan bisa menimpa setiap orang, masyarakat dan bangsa manapun di muka
bumi.
Masyarakat
dikondisikan oleh paradigma politik hukum rekayasa secara sistemik dan
eskalatif supaya gampang sekali melupakan suatu peristiwa besar atau tragedi di
jagat yuridis. Pikiran kita diaduk-aduk dan dibentuk supaya mengidap amnesia
akut terhadap segala bentuk praktik pencolengan berdasi yang sudah berhasil
menjarah kekayaan negeri ini dengan modus penyalahalamatan dalam penggunaan dan
pengleptokrasian yang "diserasikan" dengan kepentingan serba palsunya.
Keterjerumusan
dalam keterjangkitan amnesia akut itu jelas suatu kekeliruan atau kesalahan
besar bagi bangsa ini. Pasalnya, keterjangkitan ini membuat semakin rapuhnya
mentalitas masyarakat, yang akhirnya kehilangan sikap kritis dan melawannya.
Masyarakat tereduksi semangatnya untuk menjadi pahlawan dan termarjinalisasi
guna mengamini setiap bentuk penyalahgunaan kekuaaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar