Minggu, 10 November 2013

Darurat Pahlawan Keadilan

Darurat Pahlawan Keadilan
Mariyadi Faqih  ;   Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw,
Peneliti dan Penulis Buku Masalah Hukum dan Konstitusi
SUARA KARYA, 09 November 2013


"Pahlawan itu sosok yang pejuang yang mampu memenangkan kebenaran dengan cara mengalahkan kecenderungan jahat dalam dirinya," (Abror Ghifar Rahman, 2011). 

Sayangnya, sosok yang berprofilkan mampu mengalahkan kecenderungan jahat dalam dirinya itu semakin langka ditemukan di negeri ini. Bangsa Indonesia sedang berada di jalur "darurat" kepahlawanan, artinya kian mengalami krisis manusia-manusia yang cinta pada kebenaran dan mengabdikan dirinya terhadap keadilan.

Fakta memprihatinkan, kita sudah demikian sering jadi obyek jarahan para pencoleng berdasi yang mengumbar keserakahan melalui jaringan kejahatan terorganisir. Uang negara sudah tak terhitung banyaknya mengalir ke kantong-kantong segelintir atau kelompok (geng) orang yang bernafsu menjadi orang kaya baru (OKB), orang kaya berkelanjutan dan berkeabadian (OKBB) atau orang kaya mendadak (OKM).

Dalam ranah itu, teori hukum seperti pisau tajam namun tumpul saat digunakan mengasah dan membelah. Teori hukum seolah mampu menembus batas kelas sosial, ekonomi, politik, dan edukasi, saat diduga ada diantara pelaku "berkelas" ini yang menjadi pencoleng elite. Sayangnya elite kriminal ini masih lebih sering menjadi pemenangnya. Komunitas pencoleng elite ini tetap saja lebih lihai dan "kreatif" dalam menumpulkan kesaklaran teori hukum.

Teori keadilan Aristoteles dalam bukunya, Nicomachean Ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya, A Theory of Justice, menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan, dinomorsatukan, dan harus di atas segala-galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia. Keadilan tak boleh dilecehkan, dan direndahkan derajatnya oleh para pelanggar moral dan hukum.

Apa yang disampaikan Aristoteles dan John Rawl tersebut menunjukkan, bahwa keadilan harus ditegakkan dalam keadaan apapun dan kepada siapapun. Keadilan tak mengenal kasta, tidak meninggikan status sosial dan apalagi memenangkan yang berpangkat. Yang benarlah yang wajib dimenangkan atau yang menurut hukumlah yang harus ditegakkan. Siapapun yang mengabdikan dirinya untuk menegakkan keadilan, maka dialah yang layak distigma sebagai pahlawan.

Dalam realitas, memang tidak selalu yang benar yang menjadi pemenang atau dimenangkan oleh kinerja elemen peradilan. Praktik hukum tidak selalu mengabdi pada kebenaran dan keadilan hukum. Tidak jarang kebenaran dan keadilan hukum dikalahkan oleh kepentingan elitis politik dan ekonomi. Kebenaran hukum yang idealnya mengantarkan pada terwujudnya wajah cantik keadilan, tidak mudah berlabuh (membumi).

Tidak sedikit duri yang menghambat dan "menjegal" kebenaran hukum, dan sebaliknya sangat banyak kekuatan pencoleng elite atau penjahat di ranah kejahatan berdasi (white collar crime) yang mampu mencabik-cabik konstruksi sistem hukum dan moral para penegaknya. Masih sangat banyak sosok elitis yang tidak mengonstruksi dirinya menjadi pahlawan. Mereka yang idealitasnya menjadi pahlawan, justru menjatuhkan opsi menjadi bajingan.

Salah satu modus operandi yang dijalankan oleh pencoleng berdasi itu adalah menciptakan atmosfir politik yang mampu menghadirkan terjadinya dan menguatnya amnesia di tengah masyarakat. Penyakit amnesia ini bukan hanya menyerang dan mengidap kuat di dalam ingatan kaum selebriti politik dan pejabat negara, serta elemen penegak hukum, tetapi juga menyerang ingatan orang kecil atau golongan akar rumput. Para bajingan memproduk banyak duri supaya orang kecil pun malas membentuk dirinya jadi pahlawan.

Di suatu saat, kita dibawa pada opini publik tentang kasus yang sedang menimpa seseorang, geng elitis, atau korporasi berpengaruh. Tetapi kasus-kasus ini tidak terlalu lama mendiami wacana. Pasalnya, adanya kasus baru yang lebih aktual, yang nilai jual publisitasnya lebih tinggi atau komoditi gosip politiknya dapat lebih cepat dan dahsyat dalam mempengaruhi dan membelokkan orientasi publik.

Sudah berjumlah-jumlah pendosa atau pelaku kejahatan istimewa berkategori extra ordinary crime seperti korupsi dan sadisme global semacam "penjagalan nyawa manusia" Indonesia di negara lain. Namun, ingatan kita yang semula terfokus ini serta merta buyar akibat "dilindas" oleh kehadiran kejahatan-kejahatan penyalahgunaan kekuasaan kontemporer dan konflik-konflik politik baru, meski kejahatan dan konflik politik baru ini masih kalah kualifikasi pemberatan atau dampak sosial-destruksinya dibandingkan dengan produk kejahatan terdahulu.

Oleh gerombolan pencoleng berdasi itu, masyarakat negeri ini dibuat lebih bergairah dalam menyukai kasus yang bersifat sensasional dan news, meski kondisi ini potensional melemahkan atau mendistorsi daya nalar dan ingatannya. Akibatnya kasus lama dianggap sekedar sebagai bagian dari "ujian" dan "kerikil" yang mesti dialaminya dan tidak harus diingatnya terus menerus, di samping dalih lainnya. Bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya itu dimungkinkan bisa menimpa setiap orang, masyarakat dan bangsa manapun di muka bumi.

Masyarakat dikondisikan oleh paradigma politik hukum rekayasa secara sistemik dan eskalatif supaya gampang sekali melupakan suatu peristiwa besar atau tragedi di jagat yuridis. Pikiran kita diaduk-aduk dan dibentuk supaya mengidap amnesia akut terhadap segala bentuk praktik pencolengan berdasi yang sudah berhasil menjarah kekayaan negeri ini dengan modus penyalahalamatan dalam penggunaan dan pengleptokrasian yang "diserasikan" dengan kepentingan serba palsunya.

Keterjerumusan dalam keterjangkitan amnesia akut itu jelas suatu kekeliruan atau kesalahan besar bagi bangsa ini. Pasalnya, keterjangkitan ini membuat semakin rapuhnya mentalitas masyarakat, yang akhirnya kehilangan sikap kritis dan melawannya. Masyarakat tereduksi semangatnya untuk menjadi pahlawan dan termarjinalisasi guna mengamini setiap bentuk penyalahgunaan kekuaaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar