Kamis, 21 November 2013

Urgensi Reformasi Pabean

Urgensi Reformasi Pabean
Effnu Subiyanto  Pendiri Forkep, Kandidat Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA,  20 November 2013
   

Pejabat Bea Cukai nakal tampaknya semakin menjadi sorotan. Pada Mei 2008 dalam sidak KPK, juga di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Tanjung Priok ditemukan uang dalam bentuk berbagai mata uang baik dolar US, dolar Australia atau Singapura yang jika dijumlahkan senilai Rp 500 juta. Uang yang tidak jelas pemiliknya itu hanya dalam satu hari kerja. Entah berapa nilai uang "tidak bertuan" itu dalam sebulan atau setahun. Ini baru di satu kantor Bea Cukai (BC), padahal sedikitnya ada 130 pelabuhan di Indonesia.

Kini tindakan korupsi yang berani di BC merambah kemana-mana sampai kepada pejabat Eselon III yang umumnya kader pemimpin potensial. Kepala Subdit Penindakan dan Penyidikan (P2) KPU BC Tanjung Priok Heru Sulastyono (HS) baru-baru ini menambah buram kinerja kepabeanan Indonesia dengan korupsi senilai Rp 11,4 miliar dengan modus kejahatan asuransi dan dikenai undang-undang tindak pidana korupsi. Moral HS juga tergolong tidak patut dicontoh karena upaya pencucian uang haram itu dilakukan sampai nikah siri abal-abal dengan istri mudanya. Dia memenuhi persyaratan sebagai pejabat dengan indeks prestasi korupsi sempurna, cerdas di sisi teknis tetapi rusak moralnya.

Penelitian LP3EI (2012) menunjukkan bahwa porsi biaya logistik Indonesia sudah menyentuh titik 24 persen dari total PDB tahun lalu. Dengan demikian nilai realisasinya sekitar Rp 1.820 triliun terdiri biaya penyimpanan Rp 546 triliun, transportasi Rp 1.092 triliun dan administrasi Rp 182 triliun. Sebagai perbandingan biaya logistik di Malaysia sekarang sekitar 15 persen, Amerika Serikat dan Jepang masing-masing 5-10 persen. Di samping sangat mahal biayanya, LP3EI juga menyoroti waktu pelayanan yang buruk karena rata-rata durasi rilis barang ekspor-impor dari gudang pabean paling cepat 5,5 hari. 

Tingginya biaya logistik hampir pada semua moda, baik laut, sungai, darat, udara dan kereta memang sangat menyedihkan. Pertimbangan keamanan dan murahnya logistik seharusnya menjadi konstrain utama pemerintah dan perhatian penting swasta untuk investasi.

Ketika porsi logistik sudah sampai dengan 24 persen padahal belum pajak impor (BM), PPN, PPh, PPnBM dan fee lainnya tentu akan membuat investor berpikir dua kali ketika hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Siapapun akan berhitung jika minimal 46,5 persen uangnya hangus untuk hal yang tidak produktif, padahal negara lain memiliki skema lain yang lebih masuk akal.

Logistik dengan moda laut terutama yang menjadi titik fokus tingginya biaya. Infrastruktur adalah kambing hitam pertama yang patut disalahkan, kemudian birokrasi kepelabuhanan berikutnya dan para broker atau agen mendapat giliran sesudahnya. Keberadaan broker logistik yang harus diwaspadai adalah peranannya dalam mengaduk-aduk informasi untuk sebesar-besarnya mendapatkan keuntungan. Siklus logistik Indonesia memang luar biasa rumit, ironisnya para broker justru nyaman dalam kerumitan agar pesaing baru segan masuk.

Bagi ship-owner atau liner asing munculnya para broker di Indonesia sebetulnya tidak menambah biaya overhead, karena mendapatkan imbalan dari pengguna jasa di dalam negeri. Tarif biaya liner tetap tidak berubah dalam dolar AS per cubic meter (CBM) atau freight ton (FRT). Prinsip cabotage sesuai Instruksi Presiden 5/2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional tetap tidak bisa diwujudkan kendati sudah 8 tahun sejak diimplementasikan. Jadi malah menjadikan lebih mahal biaya logistik di dalam negeri. Keberadaan agen dan para broker logistik ini harus ditata ulang agar jalur perjalanan barang semakin ringkas dan mudah. Struktur biaya baik resmi dan siluman harus di-beleid, agar seragam.

Standar operasi para agen dan broker moda laut itu begitu bervariasi sehingga membingungkan pengguna jasanya. Jenis pekerjaan itu tidak mudah diikuti sejak kontainerisasi, proses konsolidasi sampai loading ke kapal untuk ekspor. Di sisi impor pekerjaan unloading dari kapal ke dalam pergudangan kawasan kepabeanan, pembongkaran (striping) di kawasan pelabuhan, penyelesaian pabean, pengeluaran barang dari gudang dan kemudian inland trucking sampai tujuan akhir. Dalam setiap tahap pekerjaan logistik selalu berkonsekuensi biaya yang tidak murah dan berbelit.

Lalu, minimnya infrastruktur, menambah lebih besar biaya sebagai ongkos tambahan kepada pengguna jasa atau investor. Faktor ketersediaan pelabuhan sangat kasat mata dilihat sebagai keterbelakangan infrastruktur Indonesia. Hampir sangat muskil ditemukan pelabuhan atau dermaga bertebaran di pantai Indonesia dengan kedalaman drought 9 meter agar kapal ukuran feeder dapat sandar. Apalagi mengharapkan kapal ukuran Panama (standar terusan Panama) yang membutuhkan drought minimal 21 meter. Bahkan keberadaan jetty untuk sandar tongkang atau LST (landing ship tank) dengan kedalaman drought 2-4 meter juga langka. Infrastruktur mahal seperti itu hanya ada jika misalnya ada kepentingan investasi tertentu oleh korporasi skala besar.

Fee BC menjadi salah satu yang tidak kalah kontribusinya dalam menaikkan biaya logistik Indonesia. Biaya siluman dan fee tetap tidak terpecahkan kendati pihak bea cukai menyanggahnya. Memang di kawasan pelabuhan ada 17 instansi pemerintah yang berkepentingan dengan subyek masalah masing-masing. Segala kepentingan tersebut bermuara akhirnya bermuara pada petugas BC. Dengan demikian, BC menjadi tempat utama kambing hitam dan keluhan atas pelayanan. Padahal, BC sebetulnya tidak diuntungkan dengan semakin mahalnya biaya biaya gudang (demurrage) karena proses pabean yang berkepanjangan. Justru yang diuntungkan adalah pihak ketiga yang notabene bukan gudang negara. Persoalannya akan lain, jika misalnya petugas pabean kongkalikong untuk motif keuntungan pribadi. Jadi, banyak yang perlu direformasi agar biaya logistik Indonesia dalam tataran rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar