POLITIK
regional dan multilateral kawasan Asia memasuki dekade kedua abad ke-21
hanya bisa disebut dengan satu kata saja. Hipokrit! Mungkin penulis
terkenal Mario Puzo dalam bukunya The Godfather benar
ketika ia menulis, ”Never hate your
enemies. It affects your judgment.” Jangan membenci musuh karena
memengaruhi keputusan kita.
Pernyataan diplomatik
dan rumusan politik luar negeri maupun berbagai perjanjian membentuk
kemitraan strategis, sering kali tidak sesuai kesepakatan ketika
bersinggungan dengan kepentingan nasional. Dari Tokyo sampai Sydney,
hipokrasi menjadi bagian dalam politik regional dan multilateral, baik
terkait klaim tumpang tindih kedaulatan, munculnya ancaman kebangkitan
politik, ekonomi maupun militer, serta menerobos kebuntuan melesunya
ekonomi dan perdagangan dunia akibat inflasi berkepanjangan krisis keuangan
2008.
Kita cemas melihat
perkembangan pleno ketiga Sentral Komite Partai Komunis Tiongkok (PKT)
membentuk apa yang disebut sebagai Guojia
Anquan Weiyuanhui (Dewan
Keamanan Nasional) menata struktur keamanan domestik, intelijen, dan
militer. Kita juga khawatir dengan rencana PM Shinzo Abe membentuk badan
serupa disebut Kokka anzen
hoshōo kaigi yang disebut
sebagai ”kontribusi proaktif perdamaian.”
Baik Tiongkok dan Jepang
menghina kawasan Asia yang berhasil mempertahankan stabilitas dan keamanan
memadai bagi pembangunan kesejahteraan rakyat bersama sejak berakhirnya
Perang Vietnam dan Perang Dingin di akhir dekade 90-an. Sebuah kecelakaan
atas klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Timur akan fatal mengirim
konflik terbuka kekuatan militer dua negara dengan ekonomi terkuat di dunia
ini.
Sejarah membuktikan,
peradaban Asia mudah menghunus keris, tombak, samurai, pedang, badik, dan
senjata tradisional lainnya, ketika penghinaan ditujukan kepada lawan maupun
kawan menyebabkan pertikaian berdarah. Ketika Beijing menghina Manila
membantu uang ratusan ribu dollar AS bagi korban bencana taifun Haiyan,
kita khawatir Tiongkok berperan dalam bahasa Konghu (Cantonese) disebut
sebagai hing coeng (kakak tertua), sok kuasa dan sok
penting di kawasan.
Kita juga cemas kalau
tindakan Australia memata-matai kita adalah bentuk penghinaan lain dalam
hubungan bertetangga. Spionase adalah bagian dari politik luar negeri,
menggunakan diplomasi sebagai medium saling memahami keinginan kawan dan
lawan. Dalam globalisasi ini, infrastruktur pengumpulan informasi intelijen
yang mengomandoi dan mengontrol atas informasi pribadi adalah ciri khas
rezim totaliter.
Kecemasan kita atas
berbagai penghinaan akan memicu beberapa faktor, pertama, semakin lebarnya
defisit kepercayaan strategis antarbangsa. Situasi ini akan menjadi ancaman
bagi stabilitas dan keamanan kawasan menghalangi dinamika pertumbuhan
antarbangsa, menabur kecurigaan satu sama lain.
Kedua, berbagai tindakan
dan isyarat penghinaan di kawasan kita ini akan menciptakan situasi blok
aliansi, menyebabkan masing-masing pihak menjadi semakin asertif atas dalih
kepentingan nasionalnya. Dan ketiga, dalam lingkup luas multilateralisme
dalam menjunjung kesejahteraan bersama, akan merontokkan kerja sama
menguntungkan berbagai pihak.
Di tengah kebuntuan
klaim tumpang tindih kedaulatan, migrasi gelap manusia perahu, ancaman
bencana alam yang terus-menerus, serta upaya membangun kepercayaan
regional, politik penghinaan akan memicu persoalan menjadi lebih rumit dan
sulit diselesaikan. Menyelamatkan muka negara bangsa di Asia adalah
persoalan serius. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar