MUSIM hujan sudah datang.
Berita tentang banjir Jakarta bermunculan kembali di surat kabar.
Pemerintah pun masih terus berusaha menyelesaikan masalah ini, masalah yang
ratusan tahun belum selesai sampai sekarang.
Sayangnya, bila kita melihat
Program Unggulan Jakarta 2013, kita dapat pelajari bahwa solusi pemerintah
belum sepenuhnya dapat menjawab tantangan masa depan. Masih terdapat
program pengembangan Kanal Banjir Timur, normalisasi sungai, dan saluran
drainase. Boleh dibilang program itu banyak berkonsentrasi pada pekerjaan
saluran.
Dalam beberapa teori baru, pokok
permasalahan pengelolaan air limpasan bukan lagi pada salurannya. Bahkan,
dapat dikatakan bahwa mungkin saluran ini adalah masalah yang sebenarnya.
Pada hemat saya, kita perlu segera mengubah cara pandang kita terhadap
permasalahan hujan dan air limpasan agar mendapat solusi yang
berkelanjutan.
Bagi saya, rencana awal Kota
Singapura tahun 1963 karya Otto Koenigsberger yang disebut Ring Concept
Plan merupakan salah satu contoh rencana kota yang baik dalam merespons
fenomena siklus air. Rancangan itu berhasil memberi landasan kuat untuk
tata air Kota Singapura. Ini dapat dilihat dari rencana kotanya saat ini
yang tak banyak berbeda dari rencana awal itu meski sudah direvisi berulang
kali. Lalu, apa yang perlu kita maknai?
Inti rencana awal ini adalah
mengatur tata guna lahan dan sistem transportasi Kota Singapura: akan
dikembangkan kota-kota satelit dengan kepadatan tinggi, yang dihubungkan
dengan sistem transportasi massal. Kemudian kembangan ini akan mengelilingi
suatu daerah hijau alami, yang merupakan daerah tangkapan dan penampungan
air hujan tepat di tengah pulau.
Singapura adalah pulau kecil
yang tak mempunyai sumber air, baik itu air permukaan maupun akuifer alami.
Itu sebabnya, sejak awal tak ada pilihan lain selain memanfaatkan air hujan
sebagai sumber air.
Pada perkembangannya Singapura
terus melihat air hujan sebagai sumber air. Hingga pada tahun 2011
Singapura berhasil menangkap air hujan dari 2/3 luas permukaannya. Bahkan,
dalam rencana optimisnya, pada 2060 PUB Singapura akan terus meningkatkan
luas ini sampai 90 persen dari luas permukaannya.
Hal ini tentu akan
membantu Singapura menekan pengeluaran biaya impor air dari Malaysia,
desalinasi air laut, dan program NEWater, salah satu teknologi pengolahan
air limbah termutakhir di dunia sekarang ini.
Menggunakan perspektif
Singapura, kita perlu memahami kembali bahwa sebenarnya air hujan
adalah satu-satunya sumber air berkelanjutan yang disediakan alam. Tidak
ada sumber lain karena pada hakikatnya, air permukaan dan air tanah pun
berasal dari air hujan.
Jakarta pun harus mulai
menyadari bahwa saat ini masalah krisis air bersih sudah segenting masalah
banjir. Paradigma lama kita yang mengharuskan membuang air limpasan menuju
laut—melalui kanal atau saluran kota secepat mungkin—harus dipertanyakan
kembali.
Desentralisasi
Ketika Ahmed Aboutaleb, Wali
Kota Rotterdam, berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu, ia dengan bangga
mengajak Jokowi belajar dari solusi banjir kotanya sekarang. Rotterdam baru
saja menyelesaikan Waterplan-2 untuk kotanya.
Bagi Rotterdam, kota yang berada
di bawah permukaan air laut, banjir adalah bencana yang makan biaya besar.
Belakangan ini kekhawatiran Rotterdam kian besar ketika menghadapi ancaman
banjir yang meningkat akibat perubahan iklim (curah hujan tahunannya mulai
bertambah secara tak menentu). Yang menarik, Rotterdam dalam rencana ini
mengubah cara pandangnya terhadap air limpasan: pada mulanya selama ratusan
tahun dilihat sebagai ancaman; menjadi sebuah daya tarik kota. Lahirlah
terobosan baru dalam rencana ini: Watersquare.
Pada konsep ini, setiap ruang
publik kota akan diberi fungsi tambahan sebagai ruang penampungan air
limpasan sementara dari daerah sekitarnya. Ketika kering, ruang ini
berfungsi sebagai plaza atau taman kota. Ketika hujan turun, ruang tersebut
tak banyak digunakan dan beralih fungsi menjadi kolam air limpasan yang
atraktif. Berbeda intensitas curah hujan, berbeda pula ruang air yang
terbentuk.
Selain meningkatkan kualitas
ruang publik, perubahan perspektif ini juga menciptakan solusi
desentralisasi pengelolaan air limpasan kota. Solusi ini akan lebih mudah
dibandingkan dengan normalisasi sungai yang selalu berkendala pembebasan
lahan (Kompas, 22/10) atau pembangunan waduk banjir baru.
Keterlibatan warga
Berbeda lagi dengan Portland.
Kota ini melihat masalah air limpasan tak akan mungkin diselesaikan hanya
dengan usaha pemerintah. Keterlibatan warga sangat berperan besar. Sejak
tahun 1993 Portland mengajak warganya terlibat langsung menyelesaikan
masalah ini melalui program Disconnect Downspout.
Pada awal program ini, warga
akan diberi insentif bila bersedia memutuskan saluran talang rumah mereka
dengan saluran kota, atau mengelola air limpasan di rumah mereka.
Aplikasinya diserahkan langsung kepada warga. Meski demikian, pemerintah
kota tak lepas tangan. Ia terus memberikan pendidikan kepada warga dengan
seminar publik gratis, memasukkan topik ini ke dalam kurikulum sekolah, dan
membiayai penuh proyek-proyek yang dinilai inovatif.
Hasilnya, warga berlomba- lomba
menjadi inovatif. Muncullah sejumlah instalasi air limpasan yang menarik di
kawasan permukiman. Program ini sudah berhasil mengurangi beban air
limpasan ke saluran air kotanya sebesar 4,9 juta m3 per tahun.
Dari sini kita bisa merasakan
semangat gotong royong warga mengatasi masalah kotanya. Sebuah kondisi yang
lahir dari perspektif kebutuhan pemerintah merangkul warganya. Sebaiknya
pemerintah Kota Jakarta berani mengubah program partisipatif menjadi
program unggulan: tak hanya pembangunan infrastruktur yang dikerjakan pemerintah.
Tentu sangat tak bijak bila kita
hanya mereplika solusi kota lain. Tiap kota memiliki karakter. Yang harus
segera kita lakukan adalah mengubah cara pandang kita melihat banjir dengan
perspektif baru yang selaras dengan tantangan zaman. Semangat baru Jokowi-Ahok
sudah membawa banyak perubahan, sekarang tinggal bagaimana kita
menyempurnakannya untuk Jakarta yang berkelanjutan. Semoga solusi-solusi
inovatif untuk masalah Jakarta akan terus lahir. Selamat menikmati musim
hujan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar