|
Wacana
'politik dinasti' tiba-tiba menguat kembali pasca penangkapan Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar (3/10/2013) dan juga adik Gubernur Banten Tubagus
Chaery Wardana alias Wawan oleh KPK. Sebelumnya wacana ini memang menggelinding
seiring dengan tengah dibahasnya RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
di DPR. Penangkapan mereka akhirnya menguatkan wacana publik bahwa politik
kekerabatan atau politik dinasti sebagai hal yang keliru, sehingga perlu
digeser dari bangunan demokrasi di negeri ini.
Secara
sederhana politik dinasti seringkali dipahami sebagai sebuah konsep nepotisme
dalam dunia politik atau kekuasaan. Satu jabatan tertentu kemudian tersambung
klik politiknya dengan jabatan tertentu lainnya yang (seolah) membentuk
lingkaran kekerabatan dalam politik atau kekuasaan. Ada perdebatan yang
mengemuka dalam kerangka wacana politik dinasti ini.
Pertama,
bagi kalangan yang menolak wacana politik dinasti. Kalangan ini menganggap
politik dinasti punya potensi kuat menciptakan kepemimpinan kroni dan nepotis,
sehingga itu justru kontraproduktif dengan etika demokrasi yang tengah
dibangun. Kalangan pertama ini bahkan telah menyiapkan diri untuk memasang
jejaring perangkap bagi tumbuhnya politik dinasti lewat regulasi Pilkada yang
saat ini tengah dibahas di DPR.
Lihatlah Pasal 12 Huruf (p) RUU Pilkada
disebutkan, calon gubernur tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis
keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada
selang waktu minimal satu tahun. Sementara dalam pasal 70 huruf (p), calon
bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke
bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/walikota, kecuali ada selang
waktu minimal satu masa jabatan.
Kedua,
kalangan yang lebih terbuka terhadap wacana politik dinasti, dalam hal ini mereka
menerima wacana ini meski dalam tahap tertentu memberikan catatan. Kelompok ini
seolah menyodorkan pandangan objektif bahwa dengan ditolaknya wacana politik
dinasti, itu akan mengarah pada pembatasan hak politik warga negara yang secara
sah dijamin oleh konstitusi bahwa setiap warga negara punya hak memilih dan
dipilih.
Karenanya, menolak politik dinasti juga ujungnya akan menciderai
konsep demokrasi negara. Wacana politik dinasti sejatinya bukan satu hal yang
baru. Sejak awal Republik berdiri bahkan jauh sebelumnya, perkara dinasti
politik telah ada menjadi perbincangan dan realitas peradaban. Barangkali boleh
dikatakan sejak naluri manusia berpolitik ada, perkara dinasti politik telah
build in di dalamnya.
Soal
politik dinasti juga merupakan hal yang kompleks. Sebab, ini menyangkut perkara
hak-hak politik yang dilindungi sistem demokrasi. Mengapa fenomena politik
dinasti banyak dikritik namun seolah masih tetap terjadi hingga sampai saat
ini? Wartawan dan kolumnus Budiarto Shambazy, sebagaimana dikutip pengamat
politik M Alfan Alfian, menjawab pertanyaan tersebut. Suka atau tidak suka,
politik dinasti tidak mengenal batas kultur, sistem dan wilayah politik.
Kepemimpinan, menurut Budiarto, kerapkali merupakan hal yang bersifat emosional
ketimbang intelektual dan teknikal.
Karenanya,
fenomena ini juga tak terjadi hanya di satu tempat saja, seperti contoh di
atas. Contoh di India, Pakistan, dan negara lain di Asia, bahkan di Amerika
Serikat sekalipun mengenal fenomena ini. Di Amerika kita mengenal Presiden George
W Bush Jr (2001-2008) yang putra George Herbert Walker Bush (Presiden AS
1989-1993). Di Indonesia, ada dinasti Soekarno dengan sederet nama penerusnya
yang masih mengusung ideologi dan ruh Soekarno hingga saat ini. Selain itu,
Presiden RI keempat Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dengan Yenny Wahid, putrinya.
Begitu juga Presiden RI kedua Soeharto, termasuk Presiden SBY saat ini, juga
memiliki sayap dinasti, yang suka tidak suka, mau tidak mau, merupakan gambaran
tempat dinasti politik yang masih mengakar kuat di negeri ini.
Bagaimana
menilai fenomena tersebut secara arif dan rasional? Tentu, kita tidak bisa
menyalahkan fenomena tersebut, meski pada saat yang sama, kita juga musti
objektif untuk mengatakan bahwa (dalam beberapa hal) kekuasaan yang mengandalkan
trah politik semata juga perlu mendapatkan koreksi dan kritik. Jika mau
objektif, tidak semua kepemimpinan politik dinasti itu sepenuhnya berujung pada
kegagalan. Ada beberapa di antara mereka yang justru memiliki prestasi dan
kepercayaan pemilihnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika unsur nepotisme
lebih menonjol dan dikedepankan. Nepotisme ini bisa dinilai ketika tertutupnya
kran-kran demokrasi seperti kelembagaan partai politik. Ketika organisasi
partai politik sudah tak lagi menjadi sayap demokrasi yang menyalurkan aspirasi
rakyat, maka jelas kepemimpinan dinasti telah mengusung ideologis nepotisme.
Lantas,
apakah benar politik dinasti yang terjadi di Banten dan juga kota-kota lain
sepenuhnya salah? Atau, ada hal-hal yang perlu mendapatkan catatan? Yang
penting dilakukan sekarang adalah perlunya pendidikan politik masyarakat secara
menyeluruh. Kesadaran terhadap perlunya pemimpin yang cerdas, adil, egaliter
dan mengedepankan persamaan, kesetaraan dan tanpa pembedaan juga perlu
ditingkatkan.
Dalam
memilih pemimpin, rakyat semestinya tak lagi mau dipengaruhi untuk memilih
si-A, B atau C dengan iming-iming materi, uang dan sogokan lainnya. Pemilih
juga musti sadar betapapun seorang calon pemimpin dalam catatan nasab/trah nya
telah memiliki jejaring dan bangunan dinasti politik, harus dipastikan apakah
dia tengah memanfatkan politik aji mumpung atau tidak. Wallahu a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar