|
Sejarah
mencatat Sekitar 6,000-16,000 pejuang Indonesia gugur dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dalam peristiwa 10 November 1945 yang sangat bersejarah. Salah satu
fakta sejarah dalam peristiwa itu adalah keterlibatan para pendidik, yakni para
kyai/tokoh masyarakat, seperti seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah
bersama anak didiknya (para santri) yang terjun langsung mengangkat senjata
melawan para penjajah.
Semangat
kepahlawanan memang kental dengan nilai-nilai spiritual dan akhlak yang agung.
Nilai-nilai inilah yang diharapkan bisa membangun karakter bangsa yang selama
ini kurang mendapat perhatian serius masyarakat kita. Peringatan Hari Pahlawan
seharusnya mengajarkan kita tentang karakter pahlawan yang merupakan tanggung
jawab setiap generasi untuk mewariskannya kepada generasi selanjutnya.
Usia
negara kita sudah 68 tahun, umpama PNS, sudah pensiun bahkan bisa dianggap
cukup tua. Tetapi, kadang bangsa kita belum dewasa dalam hal mengelola politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Sebagian masyarakat intelektual kita ketika membaca
peta kehidupan bangsa ini, masih diliputi spirit kelompok dan golongan sehingga
berdampak pada pola pikir dan sikap lakunya yang sempit.
Masyarakat
ideal, menurut filosofi Pancasila, ialah masyarakat yang mampu membaca denyut
kehidupan bangsa secara vertikal dan horizontal. Artinya, masyarakat Indonesia
yang konsisten dengan nilai-nilai agama dan perilaku budayanya dengan semangat
Bhineka Tunggal Ika. Adanya perbedaan dalam agama dan budaya merupakan jalinan
kesatuan hidup berbangsa dan bernegara. Yang penting, antara pemeluk agama dan
kelompok tidak saling menghujat dan meyakini adanya esensi perbedaan antara
agama dan kelompok yang satu dan lainnya hingga terajut rasa saling pengertian
di bawah bendera Merah Putih.
Karakter
bangsa Indonesia pernah diutarakan oleh Presiden Soekarno dalam bukunya "Di Bawah Bendera Revolusi"
yang disebut character building.
Memang, bangsa yang maju dan berbudaya harus punya karakter atau watak bangsa.
Namun, karakter itu tidak lahir begitu saja seiring dengan lahirnya manusia
Indonesia setiap hari. Melainkan, harus mendapat sentuhan nilai-nilai terutama
nilai agama yang dikemas dalam bentuk pendidikan karakter atau akhlak.
Pendidikan
karakter terkait dengan nilai-nilai yang bersifat spiritual, seperti kejujuran,
tanggung jawab, disiplin, hemat, peduli sesama, hormat dan santun. Nilai-nilai
seperti ini tidak dapat diajarkan begitu saja secara kognitif di sekolah.
Tetapi, perlu diangkat dalam program dan pelajaran yang bersifat aplikatif.
Artinya, anak didik dihimbau untuk membiasakan nilai-nilai yang baik dalam
kehidupannya. Bukan sekedar dihafal dan dipakai untuk bahan ujian supaya lulus
dan mendapat nilai A, B, atau C. Tetapi, lewat proses latihan, simulasi dan
praktik dalam kehidupan keseharian sehingga menyatu dengan dirinya.
Secara
filosofis, nilai-nilai Pancasila bisa menjadi basis pembinaan karakter.
Aplikasinya pun bisa dijabarkan dari nilai-nilai agama yang diyakininya.
Pendidikan
berbeda dengan pengajaran. Pendidikan berfungsi untuk membangun dimensi
batiniah, sedangkan pengajaran dimensi lahiriah. Namun di satu sisi, bukan
berarti batin dan lahir itu dipisahkan, tetapi disatukan menjadi keutuhan
pendidikan manusia.
Pendididkan
karakter tidak bisa lepas dari 3 lingkungan di mana manusia berada, yang secara
teoritis punya peran besar dalam membentuk karakter dan kepribadian manusia.
Pertama,
lingkungan keluarga. Ini adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk
karakter. Peran ibu dan ayah sangat dominan dalam transformasi nilai kehidupan
kepada anak yang tumbuh dan besar dalam rumah keluarga.
Kedua,
lingkungan masyarakat, merupakan lingkungan pendidikan tanpa arah dan tanpa
konsep. Siapa saja bisa terkena pengaruh lingkungan jenis ini tanpa filter.
Oleh karena itu, sangat bergantung pada lingkungan sosial dimana seseorang itu
tinggal.
Ketiga,
lingkungan sekolah. Yakni, lingkungan pendidikan yang disengaja dengan sistem
dan kurikulum pengajaran. Guru berupaya membangun karakter anak didik
berdasarkan visi dan misi pendidikan yang bisa dipertanggungjawab-kan secara
konsepsional, meski secara aplikatif masih perlu diuji.
Namun,
ada satu lingkungan lagi yang selama ini lolos dari pengamatan kita, yakni
lingkungan maya. Lingkungan jenis ini belum banyak mendapat perhatian dari para
ahli pendidikan. Dalam konteks sekarang, justru ini yang paling berpengaruh
dalam proses pembentukan karakter. Dunia maya yang tanpa batas menayangkan
berbagai informasi kapan saja dan di mana saja tanpa filter, dan masuk ke dalam
ruang-ruang manusia seperti hati dan akal, kemudian diolah atau diproses untuk
ditiru.
Lingkungan
maya potensial dapat merusak moral generasi bangsa kita, yang menerima dan
meniru begitu saja informasi dari tayangan-tayangan tanpa sensor dan filter
bebas hambatan dapat disaksikan dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai atau informasi yang ditangkap pemirsa, mereka terima sebagaimana
pelajaran di sekolah tanpa sadar.
Pemerintah
dan para tokoh masyarakat tentu punya tanggung jawab moral atas tontonan atau
tayangan-tayangan televisi. Banyak di antaranya tidak mengandung nilai edukatif
bagi masyarakat, penuh kekerasan, tahayul, maksiat, dan tayangan yang tidak
bernilai belum memiliki visi dan misi untuk membangun karakter bangsa.
Hari
Pahlawan adalah salah satu moment untuk mendidik dan membangun karakter bangsa
Indonesia. Yang diharapkan, bangsa ini makin peduli dengan nilai-nilai akhlak
masyarakat hingga menjadi bangsa yang berkarakter, bermartabat dan dihargai
oleh bangsa lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar