|
Salah
satu penyebab membengkaknya defisit transaksi berjalan yang berujung melemahnya
fundamental ekonomi Indonesia belakangan ini, adalah meningkatnya impor pangan
dan produk pertanian primer lain. Besarnya kandungan impor pangan utama dan
bahan baku agroindustri telah mengarah dan menjadi perangkap struktural.
Tampaknya hingga beberapa tahun ke depan, persoalan tersebut belum akan
terselesaikan secara tuntas. Kita belum melihat sinyal adanya kebijakan
revolusioner dan terintegrasi sebagai syarat mutlak sebuah transformasi pertanian
diluncurkan dalam waktu dekat.
Orang
hanya bisa terheran-heran melihat keberlimpahan sumber daya alam Indonesia,
tersedianya teknologi, dan kerja keras yang ditampilkan para petani untuk
menghasilkan produk bagi kesejahteraan keluarganya tetapi tidak juga berdaulat
dalam soal pangan. Bahkan, impor pangan menunjukkan tendensi meningkat dari
waktu ke waktu. Setelah krisis bawang putih dan kedelai, bukan tidak mungkin
kita akan berhadapan dengan petaka serupa. Selama produksi pertanian dalam
negeri lebih rendah dibanding kebutuhan riil, selama itu pula impor menjadi
solusi. Krisis tidak juga menjadi pelajaran untuk merestorasi kebijakan.
Impor
itu sangat mudah dilakukan, tidak memerlukan diskusi terlalu panjang, eksekusi
bisa cepat, dan hasil spektakuler. Tidak mengherankan saat harga produk pangan
melejit, otoritas perdagangan langsung menggulirlan desain impor berikut
fasilitas kemudahan yang dapat diberikan. Atas nama pembelaan terhadap konsumen
dengan jumlah jauh lebih banyak dibanding petani produsen, fasilitas keringanan
hingga pembebasan bea masuk berikut kelonggaran bagi perusahaan mana pun yang
menginginkan impor pasti diberikan. Cara tersebut sangatlah efektif untuk
meredam harga sehingga konsumen bisa tertawa lepas, tetapi dalam jangka panjang
berdampak rontoknya animo petani terkait peningkatan produktivitas
berkelanjutan. Harga pangan murah lebih banyak menyesatkan dibanding
kapabilitasnya menopang sistem produksi berkarakter daya saing lokal kuat.
Pengalaman
sejumlah negara yang telah berhasil memasuki basis ekonomi industri dan jasa,
menunjukkan penguatan pertanian menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan
transformasu struktural. Selain menyediakan bahan pangan dan dukungan bagi
teredianya bahan baku industri manufaktur, untuk selamanya pertanian medan
perjuangan tanpa akhir. Keterkaitan antara pemanfaatan sumber daya lahan dan
komunitas lokal dalam sistem produksi berkelanjutan menjadi landasan kuat bagi
tersambungnya peran pertanian sampai kapan pun. Ekspor hasil-hasil indusri dan
berkembangnya jasa memang memungkinkan bagi Indonsia membeli bahan pangan dari
pasar global. Namun akan sangat berbahaya bagi sebuah komunitas kebangsaan
dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta terlalu menggantungkan surplus
pangan global, apalagi sumber daya lahan memungkinkan terselenggaranya kegiatan
produksi pertanian dengan lebh baik.
Opsi
kembali kepada negara, apakah membiarkan ekonomi pertanian berjalan seperti
sekarang dengan beragam akibat kronisnya ataukah muncul kesadaran kolektif dan
kemauan politik (political will)
untuk menata ulang platform salah kaprah tadi. Keterpurukan dialami petani
menyusul berlanjutnya pembiaran terhadap marginalisasi dan polarisasi.
Perubahan iklim (climate change) yang
membuat petani tidak bisa lagi menggunakan formula klasik dalam bertani juga
miskin solusi komprehensif. Produksi jatuh bangun, petani menanggung beban
ketidakhadiran negara saat mengatasi kondisi karut marut tadi. Harga dasar yang
diharapkan menjadi landasan menghitung sisa hasil usaha minimal juga tanpa garansi.
Sementara investor yang berniat membantu akselerasi peningkatan produksi menuju
swasembada juga tersandung sejumlah kendala seperti pembebasan lahan berikut
over-lapping kepentingan, keterbatasan infrastruktur fisik, dan ketidakjelasan
tata ruang kawasan budidaya. Koordinasi lintas-kementerian hanya mudah
diucapkan, tetapi implementasinya tetap saja jauh panggang dari api.
Keterpaduan
Ekspektasi
publik menunjukkan hasrat kuat dan desakan kepada negara untuk mengambil peran
lebih besar, berfikir cerdas, bertindak kreatif, dan melihat kepentingan jangka
panjang yang bila tidak diselesaikan bakal menjadi bahaya laten yang jauh lebih
dahsyat dampaknya tergadap kelangsungan hidup bangsa. Persoalan pangan dan
pertanian tidak bisa dianggap enteng, apalagi solusinya hanya dilakukan dari
rapat ke workshop. Penguatannya
menjadi pendobrak kelambanan yang terjadi.
Sampai
di sini petani dan pelaku agribisnis tidak hanya memerlukan kebijakan proteksi
dan promosi selama masa transisi menuju implementasi liberalisasi ekonomi,
melainkan juga nyata apa yang bakal digulirkan untuk menyakinkan mereka bahwa
pertanian memang urgen. Revitalisasi pertanian sudah beberapa tahun lalu
dikumandangkan, tetapi nyaris tak terdengar menyusul ketidakhadiran negara di
sana. Posisinya bahkan kalah pamor dibanding isu suap rekomendasi impor daging
sapi. Impor seharusnya dilihat sebagai pelengkap selama kurun tertentu untuk
pemantik semangat kemandirian lokal. Setelah itu, Indonesia harus menjadi
pengekspor produk pertanian handal dengan penguasaan pasar makin
tersegmentasikan. Riset inovatif sudah banyak tetapi minim implementasi akibat
minimnya insentif diberikan dan terputusnya jalur komunikasi antara petani
versus petani.
Kesadaran
akan pentingnya transformasi pertanian sejalan paradigma baru dalam pembangunan
milenium yang menempatkan pentingnya aspek peningkatnan daya dukung,
keberlanjutan, dan kesejahteraan dalam semangat demokrasi ekonomi merupakan
konsep yang memerlukan keseriusan dan kehadiran negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar