HUBUNGAN bilateral
Indonesia-Australia hari-hari belakangan ini diselubungi awan hitam.
Pelatuk soal ditarik
oleh kenyataan: Australia menyadap telepon percakapan sejumlah pejabat
Indonesia selama 15 hari pada Agustus 2009. Indonesia meradang, tetapi
Perdana Menteri Australia Tony Abbot di depan Parlemen Australia
mengatakan, ”Australia tak seharusnya
diharapkan meminta maaf untuk langkah yang telah kita ambil untuk
melindungi negara kita sekarang ataupun di masa lalu” (Kompas, 20/11).
Indonesia pun
memanggil Dubes RI di Australia Nadjib Riphat Kesoema. Beberapa tahun lalu Indonesia
juga memanggil pulang Dubes RI di Canberra akibat ulah Australia yang
dinilai melecehkan Indonesia. Melihat argumen dan sikap keras kepala PM
Australia Abbot, dengan mudah kita nujum bahwa penyadapan itu dibenarkan
Pemerintah Australia dengan dalih keamanan nasional. Pertanyaannya, aspek
keamanan nasional apa yang potensial mengganggu Australia sehingga tega
menyadap percakapan Presiden, Wakil Presiden, sejumlah menteri, dan Ibu
Negara Indonesia?
Saya pun teringat
pada kejadian sekitar tahun penyadapan tersebut. Mungkin kita masih ingat,
pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Presiden Rusia
Vladimir Putin menandatangani perjanjian kerja sama Indonesia-Rusia. Salah
satu materi kesepakatan itu adalah bahwa Pemerintah Rusia menyiapkan state
credit sebanyak 1 miliar dollar AS untuk, antara lain, pembelian dua
kapal selam kelas Kilo. Rencana ini memang menggelisahkan tetangga kita:
Australia dan Singapura.
Kapal selam kelas
Kilo Rusia memang dikenal sebagai kapal selam paling senyap dan bisa
menyelam hingga 300 meter di bawah laut. Dengan panjang 70 meter-74 meter,
kapal ini berdaya 3.000 ton-4.000 ton saat menyelam. Ia dilengkapi dengan
senjata pertahanan udara sebanyak 8 roket permukaan ke udara, 18 torpedo,
atau 24 ranjau. Fungsi utamanya adalah antikapal permukaan dan kapal selam.
Ia mampu menembakkan rudal dari bawah laut berjangkauan 300 kilometer.
Kapal selam Kilo
mulai dioperasikan Uni Soviet pada 1982 dan negeri Beruang Merah itu telah
menjualnya ke beberapa negara, antara lain Aljazair, China, India, dan
Vietnam.
Australia takut kepada Kilo
Melihat potensi
destruksi kapal selam Rusia ini, seorang pejabat militer Australia ketika
itu sempat berkomentar, ”Kapal selam
Collins (milik Australia) tak mampu menghadapi Kilo Indonesia, termasuk
semua perangkat Angkatan Laut Australia.”
Antara 2008 dan
2009, Angkatan Laut kita memang gencar-gencarnya berikhtiar memperoleh
kedua kapal selam yang dinilai sangat cocok untuk membela RI. Sejumlah
pejabat teras Angkatan Laut kita beberapa kali berkunjung ke St Petersburg,
tempat pembuatan kapal selam Kilo Rusia itu. Nah, jelas sudah bagi saya,
kegelisahan Australia memuncak dengan penyadapan para pejabat kita pada
2009 tersebut.
Saya dengar berbagai
lobi dilakukan negara tetangga kita, termasuk Australia, untuk menggagalkan
pembelian kedua kapal selam Kilo ini. Sebagai pelengkap argumen, Amerika
Serikat tiba-tiba menawarkan hibah pesawat tempur F-16 dalam kurun waktu
ini. Untuk menguatkan posisi alasan ini, ada baiknya kita menoleh ke
belakang sedikit. Peristiwa sengketa Pulau Ligitan dan Sipadan serta kasus
Ambalat membuat TNI Angkatan Laut memang beralasan mempersenjatai
diri dengan kapal selam Kilo. Ini membuat tetangga kita, termasuk
Australia, gelisah tak kepalang.
Entah lobi mereka
berhasil atau tidak, yang jelas, kisah penggunaan state
credit untuk membeli dua kapal selam Kilo buatan Rusia mandek di
tengah jalan. Indonesia akhirnya memutuskan membeli tiga kapal selam
Changbogo dari Korea Selatan. Alasannya, Rusia tak mau melakukan transfer
teknologi, sementara Korea Selatan bersedia. Alasan berikut, kita tak bisa
menyiapkan dana membangun dermaga baru yang pas dengan kapal selam Kilo.
Tambahan lagi, Selat Makassar sulit dilewati kapal selam Rusia ini karena
selat tersebut dangkal. Saya sama sekali tak memiliki pengetahuan teknis
mengenai alasan teknis ini.
Lalu, mengapa
Australia harus menyadap telepon Presiden SBY? Beliau pemegang keputusan
tertinggi di Republik Indonesia. Sementara itu, Jusuf Kalla, yang saat itu
masih menjabat wakil presiden, dikenal juga sebagai orang yang tegas dalam
mengambil keputusan: yes or not.
Bagaimana dengan
Boediono? Ia mantan Menko Perekonomian dan sedang menjabat Gubernur BI saat
penyadapan berlangsung. Kedua jabatan itu memang menyangkut masalah
kemampuan ekonomi kita yang berkaitan langsung dengan kemampuan membeli
kedua kapal selam tersebut.
Begitu juga
penyadapan Sri Mulyani yang sedang menjabat sebagai Menteri Keuangan,
bendahara negara. Ini adalah posisi yang menentukan kapan dan teknis
pembayaran. Sofyan Djalil adalah Menteri Negara BUMN, yang mungkin
dipersepsikan Australia adalah pihak yang bisa memobilisasi dana dari BUMN
besar untuk urunan mendanai infrastruktur pelengkap kedua kapal selam Kilo
itu, yang tidak dicakup dalam state credit yang disiapkan Rusia.
Widodo AS adalah
Menko Polhukam yang mengoordinasi masalah pertahanan keamanan. Menyadap
Menko Polhukham sudah merepresentasikan keinginan Panglima TNI dan Kepala
Staf Angkatan Laut sebagai pengguna. Hatta Rajasa adalah Mensesneg ketika
itu, yang memang beralasan disadap karena lalu lintas pengambilan keputusan
pemerintahan banyak berkaitan dengan portofolio Mensesneg.
Mengapa Ibu Negara?
Lantas apa urusannya
dengan Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng? Keduanya juru bicara
presiden yang pasti banyak terlibat dengan urusan lalu lintas komunikasi
presiden. Namun, mengapa harus menyadap Ibu Negara Ny Kristiani Herawati
Yudhoyono? Ini menyangkut persepsi. Australia mungkin menganggap bahwa di
Indonesia, pintu belakang adakalanya lebih efektif untuk sebuah keputusan
dan penyelesaian masalah dibandingkan pintu depan. Sebuah dugaan yang masih
butuh pengujian lapangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar