Banyak orang pergi merantau meninggalkan kampung halaman
dan orang tua, pergi merantau untuk meraih cita-cita. Suka dan duka anak
rantau begitu banyak. Salah satu hal yang mendalam di benak anak rantau
adalah rindu kampung halaman dan keluarga, khususnya orang tua.
Waktu terus berjalan, umur terus bertambah. Dalam titik
tertentu muncul masalah yang tidak dapat dihindari, yaitu ketika orang tua
yang ditinggalkan sakit karena usia uzur.
Anak rantau diperhadapkan kepada berbagai persoalan.
Persoalan utama adalah siapa yang merawat orang tua ketika sakit di usia
tua di kampung halaman? Anak rantau diperhadapkan kepada kecintaan kepada
orang tua dan pekerjaan di perantauan. Mengurus orang tua dan keluarga di
perantauan. Hidup di antara orang tua, istri/suami dan anak-anak, apalagi
jika diperhadapkan dengan keadaan ekonomi yang lemah.
Beberapa waktu lalu, seorang ibu yang usianya sudah uzur
bersusah payah datang dari Pulau Samosir, Sumatera Utara, untuk menjumpai
anak dan menantunya ke Tangerang, Banten. Ketika tiba di Tangerang, ibu
yang sudah uzur ini sakit dan dilarikan ke rumah sakit.
Warga sudah sangat waspada agar ibu ini tidak meninggal
di tempat perantauan anaknya karena anaknya bekerja sebagai tukang bengkel,
istilahnya tukang tempel ban. Mereka pucat karena apa yang dikhawatirkan
terjadi, tetapi kekhawatiran mereka tidak lama karena Tuhan menolong
mereka.
Mayat si ibu itu dapat dibawa ke Pulau Samosir dan pesta
adat berjalan dengan baik di Pulau Samosir. Tuhan tidak membiarkan mereka
dalam kekhawatirannya yang sangat dalam.
Persoalan yang amat sulit muncul ketika si orang tua
sakit di usia uzur dan orang tua tersebut tidak mau tinggal bersama anaknya
di tempat perantauan. Alasan tidak mau tinggal berbagai macam.
Pertama, tidak merasa nyaman karena menantu dianggap
tidak ikhlas atau dianggap menimbulkan konflik karena merawat orang tua
yang sakit tidak mudah. Ada orang berkurang nafsu makannya ketika ada orang
lain sakit di sekitarnya. Orang semacam ini disebut jijikan.
Kedua, dia tidak memiliki teman berbincang-bincang.
Ketiga, tidak betah karena bukan habitatnya atau tempat yang terbiasa dia
tinggali. Keempat, tidak ada yang mengurusi hewan ternaknya di kampung
halaman, dan lain sebagainya. Alasan-alasan semacam ini membuat orang tua
berjauhan tinggal dengan kita anak rantau.
Ketika muncul masalah orang tua yang sudah uzur memilih
harus tinggal di kampungnya dan anak-anaknya harus bertanggung jawab atas
keluarganya di perantauan, sikap seperti apa yang harus dilakukan?
Pertanyaan inilah yang harus dijawab. Tidak sedikit orang gamang untuk
menjawabnya, apalagi, jika suami istri tidak seia-sekata dalam mengambil
keputusan.
Keluarga yang tidak memiliki kehangatan akan pusing
tujuh keliling. Mereka akan kehilangan arah dalam mengambil keputusan.
Ditambah lagi jika anak-anak orang tua yang sakit tersebut menghindar untuk
merawatnya. Berbagai alasan muncul untuk menghindar.
Tidak sedikit kasus yang demikian. Mungkin hal semacam
itulah latar belakang munculnya lagu yang mengatakan, “Kristen daku tetapi daku melanggar perintah-perintah-Mu”.
Dua puluh tahun lalu, saya meninggalkan ayah dan ibu
untuk pergi kuliah. Tahun 1994 ketika saya di bangku kuliah semester 5,
ayah saya meninggal.
Kini ibu saya dirawat di sebuah klinik di Laguboti Toba
Samosir, Sumatera Utara. Bersyukur kepada Tuhan, ada seorang dokter membuka
klinik yang sangat menolong, khususnya menolong kita yang mengalami
persoalan keluarga yang anak-anaknya di rantau, sementara orang tuanya di
kampung halaman.
Dokter Jumala Marpaung, namanya. Dia bersedia
mengunjungi orang tua yang sakit ke rumah-rumah dan juga dapat merawatnya
di klinik yang dia dirikan. Kita anak rantau bisa mengetahui perkembangan
kesehatan orang tua kita setiap saat.
Satu bulan terakhir, saya sudah dua kali pulang.
Seminggu berselang-seling. Kampung halaman saya itu sekitar tujuh jam
perjalanan dari Bandara Kuala Namu, Sumatera Utara. Ada orang yang
mengatakan hal ini saya lakukan karena saya banyak uang, padahal menurut
saya, persoalannya bukanlah ada uang atau tidak.
Pertanyaannya adalah seberapa pentingkah kita merawat
orang tua kita di masa tuanya? Banyak orang membiarkan orang tuanya tanpa
perawatan yang optimal di akhir hidupnya karena orang tua itu menuju
kematiannya. Tidak sedikit orang begitu tersiksa ketika masalah semacam ini
muncul dalam hidup mereka.
Beberapa kendala mengapa orang mengalami kesulitan.
Kesulitan yang sering kali muncul adalah kesehatian anak-anaknya untuk
membiayai perawatannya, apalagi dalam persepsi mereka toh juga menuju
kematian.
Dirawat atau tidak juga menuju kematian. Ditambah pula
ketika anak-anaknya tidak memiliki keterampilan khusus untuk membersihkan
orang tua yang sakit. Kejadian semacam ini rentan menimbulkan konflik jika
tidak memiliki keterampilan khusus.
Persoalan ini akan terjawab jikalau orang tua kita
dirawat di klinik atau di rumah sakit. Jika hanya dijaga di rumah,
ceritanya sangat menyedihkan. Lain halnya, jika dirawat dengan sukacita
oleh anak-anaknya. Dalam peristiwa inilah ujian siapa kita sebenarnya
terhadap orang tua.
Saya bersyukur sekali kepada Tuhan, Dokter Jumala
Marpaung membuka kliniknya di Laguboti. Saya bisa membagi waktu antara
orang tua, istri, dan anak-anak saya di perantauan. Istri saya juga datang
melihat ibu saya di kampung halaman ketika sakit.
Kami bisa pulang bersama ke perantauan dan menitipkan
ibu saya di klinik yang dipimpin Dokter Jumala Marpaung. Kami bisa
berkomunikasi dari Tangerang ke Dokter Jumala yang merawat ibu saya. Kami
bersukacita atas gagasan pendirian klinik semacam ini. Klinik ini sangat
menolong kami.
Hal yang membuat saya sangat bersyukur adalah istri
Dokter Jumala Marpaung sangat fasih bermain organ. Istri Dokter Jumala
Marpaung, yaitu Ibu Sitorus. Ibu Sitorus ini memainkan organnya dan
melantunkan lagu-lagu rohani bernuansa Batak.
Walaupun ibu saya sekarat, kelihatan sekali wajahnya
riang gembira jika mendengarkan lagu-lagu rohani dan lagu nostalgia yang
menggembirakan, terutama yang memancing badannya untuk manortor (menari).
Pernah secara spontan meminta saya untuk mendirikan dia agar bisa manortor.
Betapa sukacitanya saya melihat ibu saya begitu
bersemangat di akhir hidupnya ini. Dia membutuhkan badannya bersih, harum,
dicium, dan dipeluk. Ibu saya selalu menginginkan ciuman dan pelukan saya.
Ketika saya kembali untuk istri dan anak saya, Ibu Sitorus dan Dokter
Jumala dan perawat merawatnya dengan baik. Mereka dapat menggantikan kasih
sayang kami.
Banyak orang berkata, semoga ibumu lekas sembuh. Dalam
hatiku mengingat surat terakhir Pdt Eka Darma Putra, janganlah doakan agar
umurku bertambah panjang. Doakanlah agar istri dan anakku digendong Tuhan.
Kalau saya meminta sahabatku, doakanlah agar ibu saya yang buta huruf dan
tidak pandai berdoa itu menerima Kristus Yesus sebagai Tuhan dan juru
selamatnya.
Selama ini, dia selalu mengelak untuk memimpin doa,
walaupun dia sangat aktif di gereja, bahkan anggota kumpulan persekutuan
kaum ibu, waktu saya mau kembali ke perantauan, dia minta agar dia memimpin
doa. Dia hanya berkata, ”Berkatilah
anakku ini, jagalah dia.” Betapa bersukacitanya saya ketika dia
menyebut Tuhan Yesus dalam penderitaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar