Dalam forum group discussion (FGD) di Surabaya pada 5 November 2013,
Kemendikbud memaparkan kebijakan terbaru tentang hasil sensus kurikulum
2013 dan Ujian Nasional (UN). Seperti diketahui, Kemendikbud telah
memutuskan bahwa UN tetap diselenggarakan tahun depan.
Topik pada forum ini sebenarnya tidak jauh
beda dengan hasil rumusan konvensi UN di Jakarta pada 27 September 2013.
Saat itu Ketua Pelaksana Konvensi UN Bambang
Indrayanto menegaskan, UN tetap dilaksanakan dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan melalui peningkatan mutu lulusan sekolah sehingga mutu
peserta didik bersaing baik di dalam negeri, regional, dan internasional.
Ada 27 poin yang dirumuskan dalam konvensi
UN kala itu untuk meningkatkan mutu tersebut. Poin-poin tersebut, di
antaranya pencapaian mutu sekolah dicapai dengan standar yang telah
ditetapkan dan peningkatan standar secara berkala, keberagaman kualitas
sekolah di Indonesia memerlukan standar yang berlaku secara nasional yang
pencapaiannya diukur melalui UN.
Terkait standar ini, ada yang perlu
digarisbawahi pada dua di antara 27 poin tersebut. Pertama, dalam penentuan
kelulusan penggabungan nilai UN tetap pada komposisi 60-40 persen.
Batas kelulusan standar nasional dari tahun ke tahun dinaikkan secara
bertahap.
Kedua, konstruksi soal UN terus-menerus
ditingkatkan sehingga dapat mengukur kemampuan peserta didik pada ranah
kognitif yang lebih tinggi, kemampuan pada ranah afektif, serta kemampuan
psikomotorik dan interaktif.
Kebijakan soal “standar pendidikan” inilah
yang perlu ditinjau ulang, sebab apabila standar itu dinaikkan, bukan tidak
mungkin kegagalan masiflah yang dituai. Apalagi kelulusan bukan merupakan
jaminan sebuah keberhasilan dan tidak berbanding lurus dengan tingkat
pemahaman siswa kita.
Tingginya Ekspektasi
Praktisi pendidikan dan penulis AS John Holt
pernah menyatakan, kebanyakan siswa di sekolah mengalami kegagalan. Bagi
sebagian besar orang, kegagalan ini diakui dan mutlak.
Ia melakukan riset di beberapa sekolah,
mulai tingkat dasar hingga menengah sampai perguruan tinggi. Pada
sekolah-sekolah menengah, hampir 40 persen siswa yang belajar gagal
menyelesaikan studi mereka. Pada tingkatan kuliah, gambarannya menjadi satu
banding tiga (Holt, 2010 : 8).
Banyak lagi yang lain yang sebutannya saja
lulus, tetapi kenyataannya sebetulnya gagal. Para siswa ini menyelesaikan
studi semata-mata karena kita terpaksa menaikkan dan meluluskan mereka,
tidak peduli apakah mereka memahami segala sesuatu yang diajarkan atau
tidak. Sebenarnya, terdapat lebih banyak lagi siswa seperti demikian dari
yang kita bayangkan.
Jika kita “menaikkan standar pendidikan”
lebih tinggi lagi, seperti yang diinginkan sebagian pihak, kita akan segera
menemukan seberapa besar persentase siswa yang seperti ini. Akibatnya,
ruang-ruang kelas akan dijejali siswa yang tidak lulus ujian kenaikan
kelas.
Akan tetapi, terdapat pemahaman yang lebih
penting yang bisa menjelaskan mengapa hampir semua anak gagal, kecuali
mereka gagal mengembangkan lebih banyak lagi kemampuan yang amat hebat
untuk belajar, memahami, serta menciptakan yang sudah dikaruniakan kepada
mereka sejak lahir, yang sebetulnya sudah sungguh-sungguh mereka manfaatkan
selama periode dua atau tiga tahun pertama kehidupan mereka.
Mengapa ini terjadi? Holt mengemukakan,
kegagalan para siswa tersebut terjadi karena rasa takut, bosan, dan
bingung. Di atas semua hal yang lain, mereka takut mengecewakan banyak
orang dewasa yang cemas di sekitar mereka, yang harapan serta ekspektasinya
yang tak terbatas membayang-bayangi anak-anak ibarat awan tebal menyelimuti
kepala mereka.
Anak-anak menjadi bosan karena semua yang
diberikan dan diperintahkan kepada mereka di sekolah amat sepele,
sederhana, dan menjemukan. Tantangan-tantangannya juga begitu terbatas,
tidak sebanding dengan spektrum intelegensi, kemampuan, serta talenta
mereka.
Mereka bingung karena kebanyakan dari yang
mereka terima di sekolah kurang atau tidak bermakna sama sekali. Kenyataan
yang mereka alami sering bertentangan secara tajam dengan semua yang telah
diajarkan kepada mereka dan hampir-hampir tidak memiliki hubungan apa pun dengan
apa yang sungguh-sungguh mereka ketahui, dengan model mentah realitas yang
tertanam di kepala mereka.
Pemerataan Pendidikan
Tidak bisa dimungkiri, ujian nasional selalu
berhasil menciptakan horor dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kecemasan
yang dirasakan siswa menjelang pelaksanaan UN salah satunya disebabkan
tingginya standar nasional untuk kelulusan yang ditetapkan pemerintah.
Ruang kreativitas dan inovasi pembelajaran
yang selalu didengung-dengungkan –terutama dalam kurikulum 2013- justru
tidak terlihat dalam UN. Yang ada hanya stres karena siswa takut tidak
lulus, stres karena tekanan belajar, dan stres karena tuntutan yang tinggi.
Celakanya, dampak ini juga dirasakan orang tua siswa.
Di sisi lain, Kemendikbud berdalih bahwa
keberagaman kualitas sekolah di Indonesia memerlukan standar yang berlaku
secara nasional, pencapaiannya diukur melalui UN. Kemendikbud juga
selalu berlindung di bawah payung hukum PP Nomor 32 Tahun 2013 pengganti PP
Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi dasar
pelaksanaan UN.
Apabila kita semua sadar bahwa sesungguhnya
UN saat ini telah membuat siswa terdistorsi, mempertebal rasa takut mereka,
dan gagal menciptakan pembelajaran yang nyata (real learning), kita mesti
sepakat agar UN dihentikan.
Kembalikan hakikat UN sebagai pemetaan
pemerataan pendidikan, bukan penentu kualitas pendidikan yang justru
menciptakan keberhasilan semu dan menambah persentase kegagalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar