Menurut Saswinadi Sasmojo, pembangunan adalah suatu proses
(atau suatu fenomena) perubahan. Pembangunan nasional berarti proses-proses
perubahan yang ditempuh dan dilakukan atas dasar keinginan suatu masyarakat
bangsa.
Masyarakat bangsa menjadi subjek pembangunan. Maksudnya,
masyarakat bangsa memiliki peran utama dalam menentukan pembangunan apa
yang ingin dilakukan, bagaimana upayanya, dan evaluasi serta
rencana-rencana pengembangan pembangunan tersebut.
Namun, dalam proses perjalanannya, pemerintah diberikan
wewenang untuk mengawal pembangunan nasional tersebut agar sesuai dengan
keinginan bersama.
Dalam konteks Indonesia, rakyat Indonesia menjadi subjek
utama dari pembangunan. Dalam pembukaan UUD 1945, tertulis “Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.” Jelas
tugas pemerintah adalah melindungi serta melakukan pembangunan bagi segenap
bangsa Indonesia.
Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa menjadi roh pembangunan Indonesia.
Pembangunan nasional tidak boleh pandang bulu dan harus
dirasakan “segenap bangsa Indonesia” dan “seluruh tumpah darah Indonesia”.
Tugas ini semakin dipertegas pada sila kelima Pancasila yakni keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah
pembangunan nasional saat ini sudah berkeadilan sosial? Apakah pemerintah
yang diberikan wewenang untuk mengawal pembangunan Indonesia sudah
melakukan tanggung jawabnya bagi “segenap bangsa Indonesia” dan “seluruh
tumpah darah Indonesia”?
Kesenjangan
Faktanya, pembangunan Indonesia masih belum sesuai
dengan cita-cita founding fathers. Pembangunan nasional yang
berkeadilan sosial masih menjadi mimpi bagi jutaan rakyat Indonesia yang
tinggal di pedesaan dan jauh dari gemerlap pembangunan di kota-kota besar.
Kesenjangan pembangunan dirasakan antara perkotaan dan
pedesaan sehingga mendorong ribuan warga desa melakukan urbanisasi ke kota
demi kehidupan yang lebih layak.
Desa-desa yang menjadi ujung tombak pertanian dan
peternakan akhirnya hanya ditempati penduduk yang sudah berumur tua,
sedangkan para pemudanya memilih mengadu nasib di kota. Wajarlah saat ini
banyak komoditas pertanian dan peternakan yang tidak mampu lagi dipenuhi
petani dan peternak Indonesia sehingga harus diimpor.
Pembangunan yang tidak berkeadilan sosial juga dirasakan
masyarakat di Indonesia bagian tengah dan timur. Sumber daya alam wilayah
ini dieksploitasi secara besar-besaran, namun hanya sedikit hasilnya yang
dapat dirasakan penduduk lokal. Perindustrian dipusatkan di Pulau Jawa
sehingga mendorong rakyat dari luar Jawa untuk berlomba-lomba pindah dan
bekerja di Jawa.
Pembangunan yang sangat jauh tertinggal bahkan sangat
dirasakan di pulau-pulau kecil Indonesia ataupun daerah-daerah perbatasan
yang notabene merupakan halaman depan rumah besar bernama Indonesia.
Ini berbanding terbalik dengan salah satu negara jiran
kita, Malaysia.
Pemerintah Malaysia justru memoles pulau-pulau ataupun daerah
perbatasannya menjadi halaman depan yang menarik sehingga mengundang banyak
wisatawan asing singgah ke sana. Sayang, visi ini masih sangat susah dicari
dari pemerintah negara kita.
Ketimbang memikirkan pembangunan nasional yang adil bagi
segenap rakyat, pemerintah Indonesia justru sibuk dengan
kebijakan-kebijakan yang tidak pro segenap rakyat. Kebijakan mobil murah,
investasi sumber daya alam Indonesia bagi pemodal asing, peraturan
perundang-undangan yang intoleran, dan banyak kebijakan lainnya.
Belum lagi aksi dari oknum-oknum pemerintahan yang
justru sibuk memperkaya diri sendiri ataupun golongannya semakin
mengembangkan rasa pesimistis rakyat Indonesia kepada pemerintah yang
dipilihnya.
Penyakit KKN yang sudah akut dan menyebar dari pusat
hingga daerah, dinasti pemerintahan di berbagai daerah, dan aksi kekerasan
demi memperjuangkan kursi kepemimpinan seperti yang baru saja terjadi di
persidangan Mahkamah Konstitusi seakan menunjukkan ketidaksiapan Indonesia
dalam hidup bernegara dan berbangsa.
Menjelang pemilihan umum yang tinggal hitungan bulan,
masyarakat diberi kenyataan yang pelik. Memilih tidak menggunakan hak
suaranya karena sudah pesimistis akan hadirnya pembangunan yang ideal,
ataukah tetap menggunakan hak suaranya, namun kembali harus tertipu dan
tidak mendapatkan pembangunan yang sesuai harapannya selama lima tahun ke
depan.
Layaknya buah simalakama, kedua pilihan tersebut tidak
akan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai
dengan roh pembangunan nasional. Apakah rakyat hanya akan menjadi penonton
di tengah pertarungan oknum-oknum yang ingin memperebutkan kekayaan
Indonesia?
Butuh Negarawan
Sesuai definisi yang disampaikan Saswinadi Sasmojo,
pembangunan nasional harus sesuai dengan keinginan suatu masyarakat bangsa.
Dalam konteks keindonesiaan, masyarakat yang beraneka ragam suku, agama,
ras, dan golongan dipersatukan oleh satu kebangsaan, yakni bangsa
Indonesia. Satu kebangsaan disumpahkan pada 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Salah satu poin Sumpah Pemuda menyatakan, “Kami putra
dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.” Sejak saat
itu, ragam bangsa di Nusantara; Jawa, Sunda, Melayu, Batak, Flores, Ambon,
Dayak, Toraja, Bugis, Asmat, dan lainnya, membaur menjadi satu bangsa,
bangsa Indonesia.
Kenyataan satu bangsa ini harus dipahami pemerintah
Indonesia sebagai pengawal pembangunan bagi “segenap bangsa Indonesia”.
Pemerintahan baik pusat maupun daerah dipilih dan ditentukan oleh rakyat.
Oleh karena itu, rakyat memiliki peranan penting dalam menentukan siapa
saja yang diberi wewenang untuk menjadi pemerintah.
Menjadi waktu yang tepat bagi rakyat karena pemilihan
umum akan dilakukan beberapa waktu mendatang. Namun, ada hal-hal yang harus
dituntaskan di tengah masyarakat Indonesia sehingga saat pemilihan umum
nanti, dapat ditempatkan negarawan-negarawan yang berkeadilan sosial, baik
di bangku legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun perangkat-perangkat
pemerintah lainnya.
Isu-isu primordial harus dihapuskan dari pemikiran
segenap bangsa Indonesia. Dengan semangat kebersamaan dan kebinekaan,
setiap rakyat Indonesia harus berpikir untuk membangun seluruh tumpah darah
Indonesia, tidak hanya suku, etnis, agama, ataupun golongannya.
Apabila setiap rakyat Indonesia sudah memiliki kesadaran
yang sama, rakyat tersebut tentu akan memilih wakil yang tepat untuk
ditempatkan di bangku pemerintahan. Rakyat harus memilih negarawan yang
berkeadilan sosial, yang siap membangun Indonesia dari Sabang sampai
Merauke.
Tidak lepas dari itu, setiap rakyat Indonesia harus
diajak merefleksi ke belakang dan melihat jauh ke depan. Memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa bukanlah tugas
satu-dua hari. Tugas tersebut juga tidak dapat tuntas hanya dengan
janji-janji saat kampanye ataupun lembaran uang kertas yang dibagikan
menjelang pemilihan.
Tugas pembangunan tersebut harus dilakukan
bertahun-tahun dan hanya bisa dilakukan orang-orang yang memiliki track
record yang baik; berintegritas, jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan
yang paling utama mencintai Indonesia.
Rakyat Indonesia harus bisa menilai dengan kritis dan
tidak mudah dipengaruhi janji dan lembaran uang semata. Nasib pembangunan
bagi rakyat Indonesia bukanlah berada di tangan pemerintah, melainkan
justru ada di atas tangan rakyat itu sendiri. Kekritisan rakyat adalah
jawaban dalam menentukan pemimpin yang tepat, pemimpin yang memiliki
karakter negarawan yang berkeadilan sosial.
Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan kekritisan dari
rakyat Indonesia dalam menentukan pemimpin yang akan mengisi pemerintahan,
bukanlah impian jika beberapa tahun mendatang kita akan merasakan
kebijakan-kebijakan yang adil bagi “segenap bangsa Indonesia” dan “seluruh
tumpah darah Indonesia”.
Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa bukanlah pekerjaan rumah yang mudah. Namun, pemerintah yang adil
serta didukung rakyat yang kritis dan menjunjung kebinekaan pasti akan bisa
mencapai pembangunan nasional yang berkeadilan sosial. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar