|
Intergovernmental Panel
of Climate Change baru saja menerbitkan hasil kajian kelima mengenai
perkembangan terkini perubahan iklim. Sebagai negara berkembang dan salah satu
pemilik hutan hujan tropis terbesar dunia, kajian ini menjadi krusial.
Juni 2013 lalu, untuk pertama kalinya konsentrasi emisi
CO2 di atmosfer melampaui angka 400 parts per million (ppm) yang
merupakan satuan konsentrasi emisi. Angka tersebut menandakan bahwa kandungan
polusi sebagai hasil aktivitas manusia telah melewati batas yang semestinya.
Pertumbuhannya semakin cepat sejak awal Revolusi Industri
pada 2,5 abad lalu, mengakibatkan konsentrasi hampir mencapai dua kali
lipatnya.
Konsekuensinya, rata-rata suhu dunia pun meningkat sebesar
0,9 derajat celsius sejak tahun 1901. Studi dari Environmental Research Report pada Mei 2013 lalu juga memaparkan
bahwa lebih kurang 2 juta warga dunia tiap tahun meninggal akibat menghirup gas
buang karbon.
Laporan hasil studi Intergovernmental
Panel of Climate Change (IPCC) tersebut mengemukakan beberapa temuan utama,
yakni suhu permukaan Bumi akan meningkat 1-3,7 derajat celsius pada akhir abad
ini, yang berimplikasi terhadap kenaikan permukaan laut antara 40 cm dan 63 cm.
Maka, target yang harus dicapai sejumlah negara secepatnya
adalah menurunkan emisi CO2 agar tidak melebihi angka 450 ppm,
syukur-syukur bisa kembali ke level normal 350 ppm.
Temuan lain yang patut digarisbawahi adalah peranan
penggunaan bahan bakar berbasis fosil yang menjadi alasan utama meningkatnya
emisi karbon.
Temuan ini penting bagi Indonesia karena konsumsi energinya
masih didominasi oleh bahan bakar fosil.
Apalagi sebagai negara berkembang, bersama China dan India,
Indonesia masih akan terus meningkatkan konsumsi energinya. Ini merupakan konsekuensi
logis peningkatan aktivitas ekonomi yang membutuhkan energi sebagai
penunjangnya.
Menurut Kaya (1990), emisi yang dihasilkan dalam setiap
aktivitas ekonomi dan menjadi benih perubahan iklim merupakan hasil interaksi
populasi penduduk dalam suatu wilayah tertentu dengan produk domestik bruto
(GDP) per kapitanya, konsumsi energi per GDP, dan emisi gas rumah kaca dari
proses konsumsi energi. Definisi tersebut kemudian menjadi landasan untuk
mencapai ekonomi rendah
karbon.
karbon.
Parameternya jelas, kebijakan terkait energi dalam jangka
panjang mesti membidik potensi terjadinya skenario tersebut dengan mulai
beralih ke energi alternatif.
Sayangnya, dalam hal ini, kacamata kebijakan yang dikenakan
pemerintah bukan untuk rabun jauh.
Perhatian minim
Isu perubahan iklim sebenarnya bukan barang baru di Indonesia
karena setidaknya mulai mendapat perhatian sejak tahun 2007 ketika pilar
strategi pembangunan sosial-ekonomi bertambah satu poin,
yakni pro-environment.
Salah satu produk turunannya adalah Peraturan Presiden Nomor
61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca. Selain
itu, dibentuk juga skema Reducing
Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+).
Keduanya berperan penting dalam upaya pengurangan emisi,
tetapi hanya bersifat jangka pendek.
Dalam jangka panjang, isu mengenai emisi yang dihasilkan oleh
konsumsi energi akan lebih penting.
Menurut laporan Southeast
Asia Energy Outlook yang dirilis International Energy Agency pada awal
bulan ini, konsumsi energi di Asia Tenggara akan meningkat hingga mencapai 80
persen pada tahun 2035.
Dari studi IPCC sebelumnya juga dikatakan bahwa kawasan Asia
Tenggara akan mengalami kenaikan temperatur 0,4-1 derajat celsius.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ada kebijakan yang
berfokus pada penanggulangan perubahan iklim dalam jangka panjang?
Jawabannya bisa ya dan tidak. Jawaban bisa ya karena
sebenarnya pemerintah sudah membuat kebijakan tersebut berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 5 Tahun 2006, yang disebut juga dengan Energy Mix (Bauran Energi).
Namun, jawaban tidak segera menyusul sebab substansi
kebijakan cenderung miopik.
Komposisi bauran energi dalam kebijakan tersebut didominasi
oleh energi berbasis fosil, yakni batubara (33 persen), gas alam (30 persen),
dan minyak bumi (20 persen). Sementara energi baru dan terbarukan (EBT) hanya
mengisi 17 persen dari total komposisi.
Prioritasnya bisa dikatakan oksimoron. Sebab, batubara yang
menjadi sumber energi dominan merupakan sumber energi terkotor.
Faktor emisi yang dikandung dalam 1 terajoule batubara adalah
sebesar 94,6 juta metrik ton CO2. Sementara EBT yang tidak menghasilkan emisi
malah mendapatkan proporsi kecil.
Meski demikian, belum terlambat untuk mengubah kebijakan dan
fokus pada bauran energi yang lebih bersahabat dengan lingkungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar