|
Sebagai
seorang Presiden Republik Indonesia, sebuah negara besar, sudah sepatutnya SBY
memiliki kapasitas diri dan tim yang tidak hanya mampu merespon pesan,
melainkan juga mengelola dan merekayasa pesan itu sendiri. Dengan kata lain,
seorang presiden seyogyanya mampu mengatur pesan apa yang ingin disampaikan ke
publik dan menghambat pesan yang dinilai kurang layak.
Namun faktanya justru sebaliknya, SBY seringkali terjebak pada berbagai blunder. Akibatnya, legitimasi institusi kepresidenan menurun dan membuka kesempatan bagi publik untuk menjadikan orang nomor satu di Indonesia ini sebagai sasaran bulan-bulanan melalui berbagai media sosial.
Sejak Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, SBY juga lebih banyak merespon isu terkait dirinya dan partai politiknya. Ini sangat memprihatinkan, mengingat SBY dipilih untuk memimpin negeri, bukan untuk memikirkan dirinya dan fans-clubnya (baca: parpolnya). SBY pernah menginstruksikan para menteri untuk fokus mengerjakan tugas kenegaraan dan mengesampingkan aktivitas parpol. Tapi justru SBY yang melanggar titahnya sendiri dengan melakukan tindakan penyelamatan parpol Demokrat, bahkan akhirnya malah merangkap posisi Ketua Umum, menyusul kemelut yang membelit parpolnya itu.
Secara konstitusi mungkin tidak masalah SBY sebagai Presiden RI merangkap Ketua Umum parpol, tetapi saya miris melihat kenyataan kalau fasilitas negara dicampuradukkan untuk kepentingan non-kenegaraan atau non-kedinasan. SBY beberapa kali melakukan konferensi persuntuk keperluan parpol dan dirinyadengan menggunakan fasilitas negara. Terbaru adalah konferensi pers untuk merespon ‘tuduhan dekat dengan Bunda Putri’ dan ‘isu penculikan Prof Subur Budhisantoso oleh badan intelijen bertepatan dengan acara ormas asuhan Anas Urbaningrum’.
Terkait dengan kasus Prof. Subur, buat apa presiden mengurusi hal-hal sepele seperti itu. Sudah sepatutnya SBY bisa membedakan kapan menggunakan dan tidak menggunakan perangkat dan fasilitas negara. SBY perlu lebih cermat kapan menjadi Presiden, Ketua Parpol, Kepala Keluarga, dan pribadi. SBY beberapa kali juga menjadikan jurubicara kepresidenannya sebagai corong untuk urusan parpol. Kurang elok dilihat bila seakan-akan terjadi identifikasi antara semua peran tersebut. Bila Raja Louis XIV pernah mengatakan ‘negara adalah aku’, saya sangat tidak berharap SBY menyiratkan pesan senada.
Dalam kasus Bunda Putri, noraknya, presiden yang telah mengucapkan akan mengungkap identitas Bunda Putri kembali harus menjilat ludahnya sendiri ketika beberapa hari kemudian jurubicaranya mengatakan, "... Presiden tidak pernah berjanji untuk membuka (identitas Bunda Putri) ke publik,". Jadi lucu dan sulit untuk percaya, betapa kredibilitas presiden dan lembaganya terkesan begitu murah dipertaruhkan. Padahal pernyataan presiden tersebut disaksikan publik luas dan terekam di berbagai media di era digital ini.
SBY juga beberapa kali terlihat gagal mengendalikan emosi dan pilihan diksi di depan publik. Intonasinya tidak sistemik di konferensi ‘Bunda Putri’ dan pengakuan kalau dia sering disudutkan oleh media merupakan salah satu contohnya. Hal ini seperti diperparah dengan bocornya pesan pendek (SMS) berisi instruksi tentang respon terhadap lawan politik, yang akhirnya jatuh ke ranah publik dan lawan politiknya itu. Saya melihat SBY seperti tidak punya tim komunikasi yang solid dan mampu menjadi spindoctor bagi dirinya, bukan sekadar tim komunikasi yang ABS, asal bapak senang.
Kinerja komunikasi SBY yang buruk ini bisa semakin berbahaya jika tidak segera dilakukan perbaikan di sisa setahun kepemimpinannya, sebab bisa berdampak pula pada delegitimasi institusi kepresidenan RI. SBY dan tim komunikasinya perlu bekerja lebih cermat untuk bisa membuat presiden memiliki pakem dalam komunikasi politiknya. Presiden seharusnya bisa efektif menarik ulur opini yang beredar di media dan publik. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, Presiden menjadi bahan permainan di berbagai macam media, publik merasa sangat gemas dan akhirnya tidak tahan ikut mengomentari sepak terjang presiden. ●
Namun faktanya justru sebaliknya, SBY seringkali terjebak pada berbagai blunder. Akibatnya, legitimasi institusi kepresidenan menurun dan membuka kesempatan bagi publik untuk menjadikan orang nomor satu di Indonesia ini sebagai sasaran bulan-bulanan melalui berbagai media sosial.
Sejak Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, SBY juga lebih banyak merespon isu terkait dirinya dan partai politiknya. Ini sangat memprihatinkan, mengingat SBY dipilih untuk memimpin negeri, bukan untuk memikirkan dirinya dan fans-clubnya (baca: parpolnya). SBY pernah menginstruksikan para menteri untuk fokus mengerjakan tugas kenegaraan dan mengesampingkan aktivitas parpol. Tapi justru SBY yang melanggar titahnya sendiri dengan melakukan tindakan penyelamatan parpol Demokrat, bahkan akhirnya malah merangkap posisi Ketua Umum, menyusul kemelut yang membelit parpolnya itu.
Secara konstitusi mungkin tidak masalah SBY sebagai Presiden RI merangkap Ketua Umum parpol, tetapi saya miris melihat kenyataan kalau fasilitas negara dicampuradukkan untuk kepentingan non-kenegaraan atau non-kedinasan. SBY beberapa kali melakukan konferensi persuntuk keperluan parpol dan dirinyadengan menggunakan fasilitas negara. Terbaru adalah konferensi pers untuk merespon ‘tuduhan dekat dengan Bunda Putri’ dan ‘isu penculikan Prof Subur Budhisantoso oleh badan intelijen bertepatan dengan acara ormas asuhan Anas Urbaningrum’.
Terkait dengan kasus Prof. Subur, buat apa presiden mengurusi hal-hal sepele seperti itu. Sudah sepatutnya SBY bisa membedakan kapan menggunakan dan tidak menggunakan perangkat dan fasilitas negara. SBY perlu lebih cermat kapan menjadi Presiden, Ketua Parpol, Kepala Keluarga, dan pribadi. SBY beberapa kali juga menjadikan jurubicara kepresidenannya sebagai corong untuk urusan parpol. Kurang elok dilihat bila seakan-akan terjadi identifikasi antara semua peran tersebut. Bila Raja Louis XIV pernah mengatakan ‘negara adalah aku’, saya sangat tidak berharap SBY menyiratkan pesan senada.
Dalam kasus Bunda Putri, noraknya, presiden yang telah mengucapkan akan mengungkap identitas Bunda Putri kembali harus menjilat ludahnya sendiri ketika beberapa hari kemudian jurubicaranya mengatakan, "... Presiden tidak pernah berjanji untuk membuka (identitas Bunda Putri) ke publik,". Jadi lucu dan sulit untuk percaya, betapa kredibilitas presiden dan lembaganya terkesan begitu murah dipertaruhkan. Padahal pernyataan presiden tersebut disaksikan publik luas dan terekam di berbagai media di era digital ini.
SBY juga beberapa kali terlihat gagal mengendalikan emosi dan pilihan diksi di depan publik. Intonasinya tidak sistemik di konferensi ‘Bunda Putri’ dan pengakuan kalau dia sering disudutkan oleh media merupakan salah satu contohnya. Hal ini seperti diperparah dengan bocornya pesan pendek (SMS) berisi instruksi tentang respon terhadap lawan politik, yang akhirnya jatuh ke ranah publik dan lawan politiknya itu. Saya melihat SBY seperti tidak punya tim komunikasi yang solid dan mampu menjadi spindoctor bagi dirinya, bukan sekadar tim komunikasi yang ABS, asal bapak senang.
Kinerja komunikasi SBY yang buruk ini bisa semakin berbahaya jika tidak segera dilakukan perbaikan di sisa setahun kepemimpinannya, sebab bisa berdampak pula pada delegitimasi institusi kepresidenan RI. SBY dan tim komunikasinya perlu bekerja lebih cermat untuk bisa membuat presiden memiliki pakem dalam komunikasi politiknya. Presiden seharusnya bisa efektif menarik ulur opini yang beredar di media dan publik. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, Presiden menjadi bahan permainan di berbagai macam media, publik merasa sangat gemas dan akhirnya tidak tahan ikut mengomentari sepak terjang presiden. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar