|
Belum
lama ini kita dikejutkan lagi dengan berita video mesum pelajar SMP. Seorang
ibu melaporkan anaknya dipaksa melakukan adegan tersebut oleh teman-temannya,
tetapi polisi kemudian menduga bahwa tidak ada unsur pemaksaan.
Pemeriksaan
masih berlangsung, dan apa pun hasilnya, banyak dari kita merasa miris. Apabila
itu bullying, betapa mengerikan bahwa remaja (perempuan) dapat secara
ringan memaksakan hal itu pada temannya. Jika itu adegan iseng, juga sangat
memprihatinkan betapa pelajar SMP melakukan tanpa sungkan, ditonton santai oleh
teman-teman.
Hidup
yang kosong
Mendadak
saya teringat percakapan dengan seorang lelaki muda di lembaga pemasyarakatan.
Ia dipidana beberapa tahun atas tindakan pencabulan pada perempuan kecil
tetangganya. Ia bercerita bahwa ia pindah dari kampung ke Jakarta, menumpang di
rumah kakaknya, berusaha mencari kerja. Bulan demi bulan berlalu ia tidak
memperoleh petunjuk positif akan segera mendapat yang diimpikan. Ia menunggu,
tidak tahu harus berbuat apa, merasa kosong dan sangat bosan. Suatu pagi gadis
cilik tetangganya yang biasa bermain bersama keponakannya masuk rumah dan
tiba-tiba terpikir di otaknya, ”Aku kerjain aja nih anak.” Pikiran
demikian sebelumnya sama sekali tidak pernah ada.
Saya
merasa heran dan mencoba menggali lebih dalam mengenai kemungkinan alasan lain,
tetapi memang tidak terungkap. Yang terungkap adalah tema kekosongan, tidak
ditemukannya makna hidup dan kebosanan yang intens.
Saya
juga ingat sepasang suami-istri yang hubungannya buruk dengan anak-anak yang
sangat ”bandel” dan sulit diatur. Kini saya menduga kebandelan anak-anak itu mungkin
bentuk ”kegelisahan” akibat kejenuhan, kebosanan terkungkung dalam hidup yang
dirasa tidak bermakna. Jika sedang gelisah, anak-anak itu akan melakukan
berbagai tindakan destruktif, misalnya memukuli anak lain, atau menangkap
kucing dan kemudian hidup-hidup membakarnya.
Psikologi
belum tertarik menelaah ”kebosanan” secara serius. Sementara saya menduga,
manusia dapat berperilaku merugikan, bahkan berbahaya, ketika dilanda
kebosanan. Pada remaja khususnya, kebosanan dapat berasosiasi dengan
penyalahgunaan obat, perilaku seks bebas, tawuran dan kekerasan, kecenderungan
bunuh diri, serta perilaku berisiko lain.
Tentu
kita semua pernah dan sering bosan. Kita bisa sekadar ”bosan pasif” (menguap
saat bosan mendengar dosen mengajar), ”bosan aktif” (merasa jenuh lalu mengisi
waktu dengan mengerjakan hobi), atau bosan ”destruktif” (anak-anak remaja yang
jenuh dan gelisah lalu cari-cari masalah dan memancing tawuran).
Ada
pula yang membagi kebosanan dalam kategori lain. Ada bosan situasional (saat
lama menunggu), bosan dalam arti jenuh (tiap hari makan dengan menu sama hingga
yang paling lezat pun jadi terasa biasa), bosan akibat tidak dapat berkreasi,
dan bosan eksistensial. Dua hal terakhir bermakna lebih dalam dari lainnya.
Erich Fromm bilang, manusia adalah makhluk berkarya, jadi dapat dibayangkan
jika tidak dapat bekerja atau berkreasi. Sejalan dengan itu, tokoh-tokoh
psikologi eksistensial bilang, manusia butuh (menciptakan) ”makna” positif akan
hidupnya.
Nilai
hidup
Penelitian
Fahlman dkk (2009) menunjukkan hubungan unik antara makna hidup dan perasaan
bosan. Orang yang kosong makna cenderung lebih dikuasai rasa bosan. Orang yang
dapat mengembangkan tema hidup berarti akan lebih sedikit dicekam rasa bosan
dan akan lebih mampu menanggulangi rasa bosannya. Sebaliknya, individu yang
terus dilanda kebosanan umumnya juga menunjukkan tiadanya penghayatan
tentang
makna hidup.
Adamson
(2003) melakukan penelitian pada remaja pelaku pelanggaran hukum di Inggris,
dan menemukan bahwa salah satu motif paling umum yang disebutkan remaja
mendasari perilaku mereka adalah ”perolehan materi” dan ”rasa bosan”. Jadi
remaja mencari-cari aktivitas untuk dapat menemukan gairah dan kesenangan
sesaat demi membuang kebosanan.
Remaja
yang mengalami kebosanan situasional, bila ada dalam lingkungan keluarga yang
positif, dapat bercerita kepada orangtua atau saudara. Ia memperoleh jalan
keluar konstruktif melalui hobi, aktivitas bersama keluarga, atau obrolan
ringan yang melegakan. Ia juga dapat mengembangkan tingkat toleransi yang baik
sekaligus kreativitas menghadapi stres, frustrasi, konflik, dan kebosanan.
Sebaliknya,
remaja dari keluarga dan lingkungan yang kacau mengalami banyak kebingungan, tidak
mengerti apa yang terjadi, banyak menghayati emosi negatif. Ia tidak mengerti
makna hidupnya: orangtua tidak ada atau hanya menghukum, orang-orang terdekat
tidak memberi rasa aman, dan ia berusaha keras mencintai diri sendiri tetapi
mungkin gagal. Ia meniru lebih banyak pola perilaku negatif dari orang dewasa
di lingkungannya, dan tidak belajar mengenai pentingnya mendasari diri dengan
nilai-nilai hidup yang baik seperti menghormati diri sendiri, menghormati orang
lain, kepedulian, atau pengendalian diri.
Remaja
demikian menghayati kekosongan sekaligus rasa bosan yang intens, yang mungkin
diatasi dengan berbagai cara menurunkan kegelisahan, mencari antusiasme dan
kesenangan sesaat, atau eksperimentasi, tanpa bekal nilai-nilai yang kuat.
Maka, ia akan lebih mudah mem-bully remaja lain, dipengaruhi teman sebaya
untuk melakukan berbagai hal berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Mungkin tergoda melakukan eksperimentasi seksual–yang barangkali bahkan tidak
dimengertinya membawa kenikmatan apa–dan hanya akan mengantarnya masuk dalam
lingkaran persoalan-persoalan baru.
Apabila
kekosongan dan rasa bosan dapat menjadi pencetus tindakan-tindakan merugikan
dan berbahaya, tampaknya satu-satunya cara adalah membekali remaja dengan
teladan nilai-nilai baik yang akan memandu perilaku mereka. Maka, kebosanan
kadang tentu tak terhindarkan, tetapi dapat berubah wujud menjadi berbagai
aktivitas dan kreasi positif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar