|
Mewujudkan pemuda yang santun, cerdas, inspiratif dan
berprestasi menjadi semangat ritual Sumpah Pemuda tahun 2003. Apolitisme dan
apatisme yang sedang menyelimuti nalar pemuda, menjadikan ritual ini pelecut
bagi regenerasi pemuda dalam mengawal perubahan di negeri ini.
Patronase kaum tua dan gencarnya pemberitaan korupsi telah
menyulut pemuda (baca : kaum muda) kehilangan rasa afiliasitas, afeksitas,
maupun afinistas terhadap realitas politik tanah. Pemuda akan selalu dihadapkan
pada mandeknya regenerasi, seiring membengkaknya patronase kaum tua dalam
setiap ajang kontestasi politik.
Kuatnya cengkeraman partonase kaum tua, mengindikasikan
terus merebaknya upaya pengkerdilan regenerasi politik kaum muda. Menjadi
renungan kita bersama, apakah benar politik kaum muda masih tetap memiliki
tempat dalam aspek kehidupan politik di Tanah Air? Fenomena gerontokrasi juga
telah sedemikian membuat kejenuhan bagi kaum muda, sebab estafet kepemimpinan
saat ini masih didominasi kaum tua. Keengganan untuk menyerahkan estafet
kepemimpinan pada kaum muda, telah menjadi identitas struktur bahkan kultur
politik kita. Ataukah, mungkin kaum muda belum siap tampil percaya diri guna
menggantikan posisi yang dimiliki kaum tua?
Kultur Politik
Ini menjadi realitas bagi masa depan politik kaum muda ke
depan. Selama ini dominasi kepemimpinan kaum tua, pengkondisiannya seolah hanya
milik kaum tua. Mereka merasa sudah demikian nyaman duduk sebagai petinggi yang
strategis dan memanfaatkan kaum muda untuk menjadi tangga karir politik. Bahkan
iklan politik menjelang Pemilu 2014, terkesan hiper realitas, sebab selalu
menyelipkan pesan bahwa kaum muda belum boleh banyak bicara, apalagi untuk
menjadi pemimpin nasional.
Kaum muda selama ini pun dikenal, terlalu menikmati dan
larut dalam kultur politik yang patronatif. Banyak politisi kaum muda hanya
menjadi kacung kaum tua, bahkan harus rela menjadi tangga politik bagi
pelestarian kultur politik kaum tua. Kaum muda terlalu terbuai dengan bujuk
rayu, sehingga lupa untuk meningkatkan kapabilitas personal bahkan kerap menjadi
aktifis yang lupa diri. Namun, sayangnya gejala ini membuat kita selalu
menyalahkan patronase kaum tua dalam hadirnya realitas gerontokrasi.
Struktur dan kultur politik yang masih terkesan patronatif,
dan menipisnya demokrasi seharusnya menjadikan kaum muda tetap berani tampil di
permukaan. Bila realitas kaum muda benar memiliki kualitas, integritas dan
kapabilitas, apakah mungkin kultur politik kita mau menerima kepemimpinan kaum
muda? Realitas politik sangat sulit menerima regenerasi kaum muda yang cakap,
padahal walaupun demokrasi terkikis, kaum muda yang memiliki kemampuan cakap
harus dapat diterima dalam kultur politik.
Hambatan untuk maju dan berkembang masih terbuka luas,
namun kaum muda yang berpendidikan tinggi dan kreatif luput dari pemberitaan.
Mereka bahkan enggan untuk pulang ke Indonesia, sebab realitas ke-Indonesian
masih banyak yang kurang menghargai karya anak negeri.
Di bidang politik, sesungguhnya regenerasi sudah terjadi,
namun itungannya masih sedikit. Komposisi kepengurusan struktural dan kultur
partai politik, secara umum masih didominasi kaum tua. Secara kultural,
pengaruh budaya Timur masih amat kuat, yang tua selalu dituakan dalam arti
harus dipatuhi tanpa otokritik. Dewan pembina partai politik masih menjadi
milik kaum tua.
Maraknya partai politik yang tidak demokratis secara
internal, menjadikan kaum muda harus berani tumbuh di beberapa peran strategis
secara politik, terutama di daerah. Perekrutan pengurus parpol banyak
melibatkan kaum muda, namun tampak belum optimal dan bahkan terkesan setengah
hati.
Merebaknya apatisme politik kaum muda harus segera
diantisipasi, sebab mereka adalah pilar kaderisasi, terutama bagi partai
politik. Kalau partai politik gagal menarik minat kaum muda terjun dalam kancah
politik, fenomena gerontokrasi akan merebak dalam tubuh parpol. Padahal parpol
merupakan produsen pejabat publik dan pintu masuk regenerasi politik nasional.
Ketika parpol banyak dikuasai oleh kaum tua, maka kepemimpinan nasional akan
didominasi oleh wajah lama yang otomatis menghambat regenerasi kaum muda.
Potret suram ini akan terus menjadi mimpi buruk bagi
politik kaum muda. Ketika partai kehilangan daya tarik, pemuda akan memfokuskan
energi dan pikirannya untuk menarik batas pemisah dengan apa pun yang berbau
politik. Kaum muda pun akhirnya dilanda apatisme politik, apalagi ketika
regenerasi koruptor kini tengah melanda politisi kaum muda yang seharusnya bisa
menjadi pengawal demokrasi.
Partai politik harus segera berbenah dengan menampilkan
program yang pro kaum muda. Visi kepemudaan harus terus ditampilkan secara
terbuka, termasuk menarik ikon kaum muda di pucuk pimpinan partai politik. Hal
ini penting ditegaskan, sebab sistem kaderisasi partai selama ini sering
mengabaikan kapasitas dan kompetensi kader muda, namun lebih mengedepankan atau
mendahulukan kader yang memiliki patronase politik, bahkan oligarkis. Kaum tua
seharusnya memahami dan memberi ruang bagi spasi regenerasi politik kaum muda.
Parpol yang akan berkontestasi pada Pemilu 2014 haruslah
lebih peka menanggapi degenerasi politik pada kaum muda. Sebab, tanpa kaum
muda, regerasi politik akan tersendat. Regenerasi politik layak dikedepankan
guna mengerem krisis kepemimpinan. Kalau demokrasi egaliter, mengapa
meritokrasi tidak dibiarkan berkembang? Caranya, dengan gencar melakukan
pendidikan politik guna memberikan tempat kaum muda untuk tetap berdaya kritis
dalam kultur politik patronatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar