Setelah digemparkan video porno siswa SMP di
Jakarta, wajah dunia pendidikan kembali tercoreng aksi tawuran pelajar.
Empat pelajar SMK 1 Cibadak tewas tenggelam di Sungai Cimahi, Cibadak,
Kabupaten Sukabumi, Jabar (9/11) karena menghindari tawuran dengan siswa
SMK Lodaya. Buntutnya, bangunan dan sejumlah fasilitas SMK Lodaya dirusak
massa (16/11).
Kenyataan ini menggambarkan potret paradoksal
pendidikan. Sekolah belum sepenuhnya menjadi medium strategis bagi
pengembangan potensi dan kepribadian pelajar agar memiliki akhlak, moral,
dan budi pekerti tinggi.
Nilai-nilai moral kemanusiaan seperti dialpakan
dalam pergaulan. Hasrat meluapkan jati diri, rasa bangga, dan ingin diakui
keberadaannya disalurkan pada hal yang menyimpang dari tatanan sosial,
lewat aksi tawuran. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang 2012
tercatat 147 kasus tawuran dan menewaskan sedikitnya 82 pelajar.
Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni
128 kasus. Kemeluasan kasus itu menunjukkan kekerasan telah menjadi bagian
dari mass culture yang diwariskan dari generasi ke generasi di sekolah.
Seolah-olah harkat dan martabat kemanusiaan lenyap tanpa menyisakan jejak
makna sosok kaum terpelajar. Sikap insan kecendekiawanan dengan semangat
intelektualitas tak terejawantah dalam perilaku.
Meminjam analisis Erich Fromm (2000) kekerasan
pelajar yang terus berulang lahir dari kondisi yang tidak memungkinkan
mereka berkembang secara positif. Kekerasan terjadi ketika individu
mengalami hambatan tumbuh secara baik. Keterhambatan itu membalikkan
pertumbuhan individu ke arah perilaku agresif.
Gerakan
Kolektif
Terlebih, masa remaja adalah masa transisi dari
masa kanak-kanak menuju dewasa. Seseorang berusaha menyesuaikan diri antara
tuntutan sosial lingkungan dan keinginan pribadinya. Dalam konteks itu,
pelajar mengalami apa yang disebut Erikson (1950) sebagai konflik identitas
versus kekacauan peran.
Kini, saatnya membangun gerakan kolektif dengan
melibatkan pemerintah, sekolah, dan keluarga supaya lebih sensitif
menyikapi tawuran pelajar. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak
mendapat pengaruh yang mendasari sikap dan kemampuan interaksi sosialnya di
masyarakat. Untuk itu, kondisi keluarga di Jateng harus ramah bagi
penanaman nilai-nilai moral, agama, kebiasaan dan pandangan hidup yang
diperlukan anak. Peran orang tua adalah sebagai teladan yang baik.
Keteladanan ini mutlak dipelihara dengan menjaga
komitmen senantiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan
mencegah berlakunya nilai-nilai amoral dalam keluarga. Sekolah juga perlu
lebih serius membangun lingkungan belajar yang aman, nyaman, ramah, sehat
bagi kesejahteraan pelajar.
Guru perlu memahami pelajar sebagai manusia
seutuhnya dengan penilaian positif dan memperlakukannya sebagai insan
bermartabat. Potensi intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas
pelajar harus dikembangkan secara optimal.
Orang tua sebisa mungkin ikut memonitoring
secara intensif perilaku anak. Sebaliknya, sekolah harus transparan dan
akuntabel memberikan laporan ihwal perkembangan mereka. Tak kalah penting,
koordinasi harus berjalan integratif dan simultan. Upaya itu melibatkan
pemerintah untuk mendeteksi bibit yang mengarah kepada aksi tawuran.
Penindakan terhadap pelaku kekerasan harus
benarbenar memenuhi prinsip edukasi, perimbangan, dan keadilan hukum.
Gerakan kolektif ini diharapkan bisa meminimalisasi tawuran di kalangan
pelajar.
Bagaimanapun dan dengan alasan apa pun tidak ada
toleransi bagi tawuran dan aksi kekerasan dalam pendidikan. Pasalnya,
pendidikan sejatinya merupakan sarana pembentuk moralitas kepribadian
pelajar, yakni pribadi yang memiliki kemampuan mengelola hidup sesuai
dengan nilai-nilai moral kemanusiaan sebagai dasar berperilaku dalam
kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar