GANJIL nian ketika
membaca berita "Sehari tanpa Dokter Kandungan" di Jawa Pos
(27/11) terkait rencana aksi protes (dan mogok) para dokter. Aksi protes
dokter itu mendapat dukungan dari Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI
(Dirjen BUKK) Akmal Taher dengan menerbitkan surat edaran. Padahal, konstitusi
kita UUD 1945 pasal 32 ayat (3) mengamanatkan: Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak.
Demo dan mogok akhirnya terjadi. Banyak insiden akibat tak terlayaninya
pasien dengan baik ini. Ketelantaran pasien ini akhirnya mengundang banyak
kritik.
Dengan demikian, tindakan Dirjen BUKK dengan menerbitkan surat edaran dalam
bentuk dukungan protes, yang bisa menggangu kelayakan pelayanan kesehatan,
patut dikualifikasikan tak sejalan konstitusi. Apalagi, solidaritas dalam
bentuk aksi demo dokter kandungan mogok 24 jam terhadap kasus dokter Dewa
Ayu Sasiary Prawani alias dr Ayu dkk, telah melahirkan sikap tidak
simpatik. Sebab, sebagai kelompok terdidik mereka diharapkan mampu
melakukan upaya-upaya lain tanpa mengurangi tanggung jawab profesi.
Manakala Dirjen BUKK Akmal Taher dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (PB IDI) Zaenal Abidin meyakini bahwa dr Ayu dkk tidak
bersalah dan tidak sepatutnya mendapatkan putusan Mahkamah Agung (MA)
dengan hukuman 10 bulan penjara, tidak ada salahnya memberikan penghargaan
atas dedikasi mereka dalam melaksanakan tugas profesional kedokteran
sebagai para dokter teladan. Siapa tahu masyarakat bisa mengerti bahwa
kebenaran dari sisi medis mungkin berbeda dengan kebenaran dari sisi hukum.
Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan sembarang
orang. Dirjen BUKK dan Ketum IDI tentu lebih tahu bahwa Undang-Undang No
29/2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) diundangkan
untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter, dan dokter gigi. UU tersebut juga bertujuan memberikan
perlindungan kepada pasien.
Pertama, UU Praktik Kedoteran itu mengatur persyaratan dokter untuk dapat
berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat
kompetensi kedokteran yang diperoleh dari kolegium, selain ijazah dokter
yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh surat tanda registrasi dari
Konsil Kedokteran Indonesia, dan memperoleh surat izin praktik dari dinas
kesehatan kota/kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan
sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.
Kedua, UU Praktik Kedoteran juga mengatur organisasi konsil kedokteran,
standar pendidikan profesi kedokteran serta pendidikan dan pelatihannya,
dan proses registrasi tenaga dokter. Selanjutnya, UU Praktik Kedoteran
mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran. Bahkan, di bagian ini diatur
tentang perizinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat
memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik, dan rekomendasi organisasi
profesi), batas maksimal tiga tempat praktik, dan keharusan memasang papan
praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter rumah sakit.
Ketiga, pada aturan tentang pelaksanaan praktik, UU Praktik Kedoteran
mengatur agar dokter memberi tahu apabila berhalangan atau memperoleh
pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan,
memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan
tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta
mengendalikan mutu dan biaya.
Keempat, dalam hubungannya dengan pasien, UU Praktik Kedoteran mengatur hak
dokter yang salah satunya memperoleh perlindungan hukum. Syaratnya, dokter
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional. Adapun salah satu hak pasien adalah memperoleh penjelasan tentang
penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya,
serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis.
Undang-Undang No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga mengatur
hak-hak seperti itu bagi konsumen, termasuk pasien dokter. Jika terjadi
dugaan malapraktik, pembuktiannya berupa pembuktian terbalik yang
dibebankan kepada pelaku usaha. Dalam kasus malapraktik dr Ayu dkk, beban
pembuktian terbaliknya menurut UUPK adalah manajemen rumah sakit. (Baca
juga opini kemarin "Momen Introspeksi Kedokteran" di halaman ini,
Red.)
Nah, pertanyaannya: bagaimana peran manajemen rumah sakit, Dirjen BUKK, dan
PB IDI untuk membuktikan secara terbalik bahwa dr Ayu dkk tidak salah dalam
melaksanakan tugas profesional kedokterannya? Itulah yang tampaknya tidak
mampu mereka buktikan sehingga MA menghukumnya dengan kurungan penjara 10
bulan.
Apakah aksi demo mogok 24 jam itu juga untuk menutupi isu yang membesar
akibat ketidakmampuan "pembuktian terbalik" itu? Masyarakat sudah
cerdas menilai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar