PADA Sabtu (23/11/13) Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) Salatiga menganugerahkan gelar doktor honoris causa kepada
Dirut Pura Group Kudus, Jacobus Busono.
Pemberian itu wujud penghormatan atas inovasi
teknologi yang dilakukan. Paten itu antara lain mengenai hologram, tanda
air, dan pemanas air tenaga surya.
Pada Kamis (14/11/13), Wilmar Elieser
Simanjorang mengembalikan Satya Lencana Karya Satya kepada Presiden di
Istana Negara. Simanjorang adalah pegiat lingkungan di Sumatera Utara.
Satya Lencana itu dianugerahkan Presiden Gus Dur tahun 2001 sebagai
penghargaan negara atas dedikasi Simanjorang dalam pemeliharaan dan
peningkatan mutu lingkungan.
Pengembalian lencana dan piagam itu dilakukan
Simanjorang untuk mengungkapkan kekecewaannya, dan juga kelompoknya, atas
terus berlanjutnya pembalakan dan perusakan hutan di Sumut. Ada orang
senang menerima penghormatan, tetapi ada yang menolaknya. Gara-gara lumpur
Lapindo, Goenawan Mohamad mengembalikan Achmad Bakrie Award, sedang Arief
Budiman tidak.
Masing-masing mempunyai alasannya. Lain lagi dr
Tjipto Mangoenkoesoemo. Menurut cerita dari ayah saya, dulu dr Tjipto
dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia Belanda. Penghargaan itu
diterimanya, GKR Hemas juga pernah menolak gelar master kehormatan dari
lembaga pendidikan di Australia.
Rupanya, baik Hemas maupun Sultan HB X,
merasatidak pantas menerima pemberian gelar itu. Tidak karena gelar
kehormatan itu terlalu tinggi, tetapi sebaliknya gelar lembaga yang hendak
memberi dinilai “tidak level” dibanding martabat Hemas sebagai permaisuri
raja Ngayogyakarta Hadiningrat. Reputasi lembaga itu mungkin juga dianggap
tidak jelas (dubious).
Mau
dan Emoh
Presiden SBY mempunyai sederetan panjang gelar
kehormatan. Ada gelar doktor, kesatria, dan sebagai negarawan. Semua
diterimanya dengan senang hati. Bahkan ketika sebagian orang berteriak,
“jangan!”, ulama dan cendekiawan Franz Magnis Suseno bahkan sampai
melayangkan imbauan resmi agar rencana pemberian penghargaan dari Yayasan
Panggilan Nurani itu dibatalkan.
Dino Patti Djalal. Sebaliknya, Arab Saudi
menolak posisi terhormat yang diberikan PBB. Negara lain lazimnya berebut
kesempatan jadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, tetapi Arab Saudi
menolak. Ada juga orang Indonesia yang menolak pemberian gelar doktor
honoris causa dari universitas di luar negeri yang berreputasi bagus.
Orang itu adalah Dr Todung Sutan Gunung Mulia,
dan yang hendak memberinya adalah Vrije
Universiteit Amsterdam (VUA). Gelar itu sedianya diberikan pada 1965,
Tetapi Dr TSG Mulia, demikian ia biasa ditulis begitu, sopan meminta
penganugerahan itu ditunda. Dalam telegram kepada rector magnificus VUA, 27
Maret 1964, Mulia menyatakan secara singkat dan tajam bahwa gelar itu
merupakan penghormatan besar, dan ia berterima kasih. Tapi ia minta
penundaan sampai ada “persetujuan kultural” antara Belanda dan Indonesia.
Entahlah apakah Dr TSG Mulia bersikap right or wrong, my country, atau
bagaimana. Tapi waktu itu Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno
memang menunjukkan sikap antineokolonialisme-imperialisme, dan Belanda
tergolong nekolim. Baru-baru ini ada teman bertanya, ’’Bisakah X memperoleh gelar doktor HC dari UKSW? Bagaimana
caranya, dan apa syaratnya?” Saya terkejut, dan saya jawab singkat dan
tajam, “Saya tidak mengurusi itu.”
Yang saya sebut X adalah teman juga.
Ia berdarah Rumania, tetapi warga negara atau
permanent resident di AS. Ia doktor Matematika dan menjadi associate
professor (semacam guru besar madya di Indonesia dulu, dan di Malaysia) di
universitas di bagian selatan Amerika. Orangnya baik dan ramah, lagi pula
pintar di bidangnya. Kami pernah mengundangnya memberi seminar tentang neutrosophy di UKSW.
Saya kaget dan
heran, mengapa orang seperti dia menginginkan gelar Dr HC. Apalagi dari
UKSW, yang ’’tidak ada apa-apanya’’
bila tolok banding (benchmark)-nya
Harvard, Sorbonne, Lomonosov, atau Upssala.
Saya juga heran, mestinya dia tahu bahwa gelar
doktor kehormatan itu diberikan, tidak diminta. Universitas pemberinya
mendasarkan pada penilaian ketat. Tidak ada syarat, apalagi “imbalan” yang
diminta oleh universitas pemberi gelar itu. Kalau gelar doktor kehormatan
bisa diminta, dengan syarat tertentu sebagai imbalan, HC-nya berarti “hororis causa”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar