|
DISKUSI
topik di atas digelar di KPK dengan pembicara yang layak dan kredibel tentunya,
dan pernyataan Menteri Hukum dan HAM tegas dan jelas bahwa kedua RUU tersebut
tidak melemahkan pemberantasan korupsi (baca KPK!).
Filosofi perancangan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah, yang
terutama, mengembalikan dan menempatkan posisi asas kodifikasi sebagai sumber
hukum pidana Indonesia pascakemerdekaan tahun 1945. Asas kodifikasi total (total codification) dalam perkembangan
pembentukan perundang-undangan pidana telah ditinggalkan dan telah digunakan
asas kodifikasi parsial (partial
codification). Hal itu terbukti diakui berlaku undang-undang pidana khusus
(lex specialis) selain KUHP (lege generali), seperti UU Pemberantasan
Korupsi, UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, dan UU Pemberantasan Terorisme. Selain
itu, berlaku UU Pidana Administratif seperti UU Tata Cara Perpajakan dan UU
Administratif lain yang diperkuat sanksi pidana (lex specialis systematiche).
Pemerintah
berpendapat kodifikasi total lebih menjamin kepastian hukum, tidak ada overlapping
ketentuan satu sama lain, dan mengem balikan prinsip hukum pidana sebagai
sarana ultimum remedium. Satu pertimbangan lain bahwa dengan asas kodifikasi
total diharapkan terdapat ketepatan dan kedayagunaan penerapan hukum pada
peristiwa konkret yang memenuhi asas kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan. Dalam bahasa sederhana, tidak perlu menembak nyamuk dengan meriam.
Dalam
perkembangan program legislasi nasional sejak era reformasi sampai sekarang,
pembentukan undang-undang pidana khusus merupakan keperluan mendesak dan
relevan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana serius (luar biasa, sic!) karena berdampak
sistemik dan meluas seperti korupsi, terorisme, dan pencu cian uang dan pe
langgaran HAM berat.
Pemerintah
dengan RUU KUHP 2012 tidak lagi mengakui tindak pidana tersebut sebagai tindak
pidana luar biasa (extraordinary crimes),
tetapi dicukupkan dengan istilah `tindak pidana serius' (serious crime) mencontoh sebutan dalam konvensi-konvensi
internasional. Akan tetapi, sebutan tersebut tidak cocok dengan situasi dan kondisi
nasional yang melatarbelakangi tindak pidana dimakk sud serta dampak sistemik
dan meluas terhadap kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di sisi
lain, terdapat kontradiksi ketika perkembangan legislasi dalam bidang hukum
pidana telah jauh melampaui batas keperluannya sehingga telah terjadi
overcriminalization, bahkan terhadap perbuatan pelanggaran administratif yang
ringan tapi objeknya bersifat vital dan strategis seperti perpajakan,
kehutanan, perikanan, dan pertambangan. Di sisi lain harus diakui di dalam masa
transisi sosial dan demokrasi di Indonesia saat ini, terhadap tindak pidana
`serius' dan `luar biasa' itu telah diterima penyimpangan-penyimpangan terhadap
asas-asas hukum dan norma yang bersifat umum (lege generali) sehingga tidak dapat dinafikan begitu saja apalagi
disederhanakan identik dengan tindak pidana konvensional.
Dalam
posisi dan karakter serta dampak sedemikian maka keberadaan undangundang pidana
khusus seharusnya tetap seharusnya tetap dipertahankan. RUU KUHP 2012 (hukum materiil)
tidak mengakui segala karakter kekhususan tersebut sehingga tindak pidana
khusus seperti terorisme, korupsi, pencucian uang, perdagangan orang, dan
pelanggaran HAM berat yang merupakan lex
specialis ditempat kan dalam RUU KUHP sebagai lege generali dan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan
penipuan, penggelapan, dan pembunuhan biasa atau berencana atau tindak pidana
makar.
Konsekuensi
hukum dari penempatan tersebut nanti pascapengesahan berlakunya KUHP 2012,
tidak ada keperluan dan urgensinya lagi mengakui asas lex specialis derogate lege generali yang selama ini telah
terinternalisasi dalam penegakan hukum di Indonesia. Uraian di atas
menyimpulkan bahwa sulit dapat diterima baik secara filosofis, yuridis, dan
sosiologi keterangan Menteri Hukum dan HAM yang mengatakan dengan RUU KUHP 2012
asas lex specialis derogate lege generali
masih dipertahankan sehingga tidak melemahkan pemberantasan korupsi (KPK).
Bangunan
sistem peradilan pidana dalam RUU KUHAP 2012 tidak jauh berbeda dengan RUU KUHP
2012, misalnya ketentuan penyadapan. Dalam RUU KUHP 2012 perbuatan penyadapan
merupakan tindak pidana jika dilakukan secara melawan hukum, dan pengertian
istilah `melawan hukum' dapat diartikan luas atau sempit (hanya melanggar UU) dan
justru bertentangan dengan kepastian hukum; mengapa pemerintah tidak
menggunakan kalimat `dengan sengaja'; pasti dan jelas maknanya.
Ketentuan
hukum acara penyadapan (Bagian Kelima RUU KUHAP) hanya terdapat pada Pasal 83
ayat (3) dan seterusnya, sedangkan norma ayat (1) dan (2) sejatinya norma hukum
materiil yang merupakan kekecualian ketentuan tentang larangan penyadapan (RUU
KUHP 2012).
Dua
ketentuan penyadapan dalam dua RUU tersebut tentu akan menimbulkan
ketidakpastian hukum ketika membaca ketentuan alat bukti (Pasal 175) yang telah
memasukkan `bukti elektronik' sebagai salah satu alat bukti. Namun, untuk
perolehan alat bukti harus tidak dilakukan secara melawan hukum. Dan yang
menentukan melawan hukum atau tidaknya perolehan alat bukti ialah seorang hakim
komisaris dengan segala keterbatasannya, khusus mengenai jangka waktu penetapan
sah/tidak sahnya penyadapan.
Jika dibaca persandingan ketentuan penyadapan baik
dalam RUU KUHP 2012 maupun RUU KUHAP 2012 tampak konflik norma dan inkonsistensi
regulasi yang pada gilirannya berdampak serius terhadap upaya pemberantasan
korupsi pada khususnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar