Minggu, 03 November 2013

Tafsir atas Topeng Monyet

Tafsir atas Topeng Monyet
Toeti Prahas Adhitama  ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 01 November 2013


KEPUTUSAN Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menghentikan tontonan topeng monyet menunjukkan nurani yang bertambah peka. Pencabutan tradisi hiburan jalanan, yang mungkin berusia lebih tua daripada masa kemerdekaan bangsa ini, menjawab salah satu tantangan atas rasa kemanusiaan. Banyak yang mempertanyakan, sebagian menyayangkan, tetapi yang sayang binatang pasti lega; lebih-lebih setelah melihat tayangan televisi tentang pemaksaan terhadap mamalia itu untuk menirukan tindak-tanduk manusia.

Perlakuan tidak manusiawi itu hasilnya memang membuat penonton senang bisa menyaksikan kelucuan primata ini. Lebih-lebih sorot mata hewan-hewan kecil itu pun tidak menunjukkan penderitaan. Sebaliknya mereka malahan kelihatan senang membuat penonton riang. Namun, apa yang sebenarnya mereka rasakan ketika bunyi gamelan memerintahkan mereka untuk melakukan gerak-gerik berjalan sambil menjinjing keranjang kecil, diiringi kata-kata majikannya, `Sarimin pergi ke pasar'?

Menurut hasil penelitian atas kesehatan hewan-hewan kecil yang diselamatkan itu, banyak di antara mereka mengalami stres dan akan dirawat sebelum dilepas ke habitatnya. Kepergian mereka sudah pasti mematikan sumber penghidupan para majikan. Namun, sisi positif program pembebasan itu, selain akan memberikan kehidupan baru yang diharapkan akan membahagiakan mamalia yang bersangkutan, mantan pemiliknya pun akan mendapat santunan cukup besar untuk memulai bisnis baru.

Reformasi untuk koreksi

Sekalipun peristiwanya kelihatan sederhana, hilangnya tradisi topeng monyet, yang di tanah Jawa disebut kethek ogleng, membuktikan dilakukannya suatu koreksi dalam tingkah laku manusia. Yang dikoreksi kali ini ialah perlakuan terhadap suatu makhluk yang hidup di ling kungannya dan ini menjadi suatu pembelajaran. Memang beritanya tidak sehebat dan seheboh pemberitaan korupsi yang merusak martabat dan kekuatan bangsa dan negara. Tetapi, bila wabah korupsi secara negatif menunjukkan demoralisasi, topeng monyet mencerminkan ketidakpekaan kita terhadap kehidupan di lingkungan, termasuk fauna dan fl oranya. Berbagai jenis fauna menjadi mangsa kita. Berbagai jenis flora kita babat yang sekaligus merusak habitat manusia dan makhluk lainnya.

Siapa tahu, semakin tinggi peradaban manusia, dan semakin luas dan dalam ilmu pengetahuannya, nantinya manusia tidak akan lagi bersikap primitif dan menjadikan fauna dan flora sebagai korbannya. Selama ini kita bersantai di atas penderitaan mereka. Berbicara secara spiritual, bukankah agama melarang segenap bentuk pembunuhan, apa pun yang kita jadikan alasan?

Masyarakat manusia beritikad mengurangi segala bentuk penderitaan di dunia. Untuk itu dibentuk berbagai perhimpunan di berbagai kalangan demi kemaslahatan bersama. Gemanya dirasakan boleh dikata di semua negara. Maka rasanya ganjil bila seluruh dunia sedang bergerak ke tujuan itu, kita masih saja berkutat pada kesulitan-kesulitan sosial elementer seperti bagaimana menumbuhkan kesadaran agar jurang antara yang amat maju dan yang amat terbelakang tidak begitu terjal; dan agar kita tidak buta terhadap keadaan lingkungan di seputar kita. Diharapkan, pendidikan bisa mengatasi kelemahan ini. Mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan.

Keteladanan pemimpin

Lagi-lagi Jokowi mendapat angin dengan berkembangnya drama topeng monyet, walaupun dalam soal ini bukan dia sendiri yang memunculkan gagasan perubahan. Banyak pihak lain yang mendorongnya sehingga terjadi kristalisasi perhatian terhadap fenomena yang memprihatinkan itu. Ke mana arah fenomena ini, kita yang harus mengembangkannya. Kisah topeng monyet, misalnya, bisa saja dikembangkan menjadi drama panggung yang memberikan pembelajaran sederhana tentang cinta lingkungan, termasuk membangkitkan rasa sayang pada binatang. Kalau kisahkisah wayang berhasil sebagai alat kampanye, kisah topeng monyet pun bisa.

Ini tentu bukan dimaksudkan untuk mengampanyekan Jokowi sebagai calon presiden (capres), mengingat dia sendiri berulang kali menyatakan belum memikirkan untuk itu. Jokowi juga berulang kali menegaskan fokusnya lebih kepada merombak Jakarta menjadi ibu kota yang lebih ideal. Yang dilakukan Jokowi dan Ahok baru satu tahun, baru pada tahap awal, sekalipun arahnya sudah kelihatan. Ibaratnya masyarakat Jakarta sedang diajak menuju bianglala; menuju ke harapan untuk yang lebih baik.

Menuju bianglala. Ajakan seperti itulah yang kita harapkan pula dari para pemimpin masa depan. Apakah Pemilu 2014 akan menghasilkan jajaran pemimpin seperti itu? Saat-saat ini sedang ramai dikampanyekan sosok-sosok pemimpin yang ideal. Yang menarik adalah dipertentangkannya calon-calon tua versus yang muda-muda. Sering dikemukakan bahwa para pemimpin di masa Orde Lama dan Orde Baru mulai pada usia muda. Pada akhirnya mereka toh tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh yang berhasil membawa kemajuan bagi bangsa ini. Sebaliknya masa reformasi masih menimbulkan tanda tanya. Yang sering menjadi wacana, partai-partai politik sekarang terkesan mengabaikan kaderisasi. Yang berkembang tampaknya politik dinasti. Pendidikan politik untuk para konstituen maupun para kader partai dianggap kurang. Apakah koreksi masih bisa dilakukan mengingat makin dekatnya saat pemilu?

Kasus topeng monyet bisa memberi inspirasi tentang pertajaman kepekaan atas situasi politik kita. Misalnya, para konstituen perlu kepekaan nurani agar tidak naif memilih berdasarkan pertimbangan sederhana seperti stok lama dan stok baru. Memang stok lama lebih berpengalaman dan stok alternatif belum jelas; kecuali bila para calon tua atau muda, baru atau lama, mau dan mampu membuktikan prestasi kerja mereka. Rekam jejak prestasi kerja memang perlu juga diperhatikan, bukan sekadar citra, janji, dan retorika. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar