|
"Inovasi
bibit dan sarana produksi yang mengarah pada peningkatan produksi juga perlu
dilakukan"
HINGGA saat ini, kondisi kelaparan di dunia masih terus
terjadi. Beberapa negara Afrika dan Asia masuk dalam kategori kekurangan pangan
sehingga memerlukan bantuan dari organisasi pangan dunia, FAO. Jaringan media
dunia mengeksploitasi gambaran kelaparan itu untuk mencari dana. Bagi negara
yang tidak mengalami kekurangan pangan, keadaan seperti itu seharusnya menjadi
bahan introspeksi, apakah arah kebijakan pembangunan pertanian (pangan) telah
sesuai dan dapat mencapai sasaran.
Mendasarkan kondisi dunia akhir-akhir ini, FAO memilih tema
Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini, yaitu ’Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition’. Tema
ini memberikan fokus untuk membantu meningkatkan pemahaman masalah dan
pemecahannya dalam memerangi kelaparan.
Data menjelang HPS 2013 menunjukkan, 870 juta penduduk
dunia kekurangan pangan atau mengonsumsi tak cukup makanan guna menopang hidup normal
(FAO, 2013), sekitar 4% di antaranya penduduk Indonesia. Krisis pangan, sangat
mungkin terjadi antara lain karena perhitungan penyediaan pangan didasarkan
pada jumlah kebutuhan pangan penduduk.
Sebaliknya, sebagian penduduk tak mampu lagi membeli bahan
pangan. Hal inilah yang terjadi di beberapa daerah, simpanan pangan musim lalu
habis dan harta (ternak) telah dijual untuk membeli bahan pangan, termasuk air.
Krisis pangan semacam itu terjadi karena perubahan ekstrem iklim sehingga
terjadi kegagalan panen ataupun keterlambatan tanam. Kemahalan harga pangan,
pertambahan penduduk, dan jumlah keberadaan miskin bisa jadi memperparah krisis
tersebut. Penstabilan harga dengan cara apa pun tak akan berpengaruh terhadap
penduduk berkondisi seperti ini, tanpa memperhatikan daya beli mereka.
Kemandirian
Penstabilan harga dengan kebijakan impor bahan pangan
(antara lain beras 8,2%, kedelai 72%, gula 60%, susu 67%: BPS 2012) harus
terencana dengan semangat kemandirian pangan. Bahan pangan pokok yang
dapat secara optimal diproduksi sendiri harus difokuskan menjadi komoditas
mandiri, semisal beras, jagung, kedelai, daging sapi. Jenis pangan yang
berasal dari hewan, tanaman lokal, atau nonlokal namun telah beradaptasi,
seharusnya menjadi pilihan komoditas pangan mandiri karena bisa diproduksi
secara maksimal.
Karena itu, kebijakan impor bahan pangan hanya untuk
penstabilan harga komoditas tertentu yang berasal dari hewan atau tanaman yang
belum dapat diproduksi optimal di Indonesia, seperti terigu. Hal ini sejalan dengan
tema nasional peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini, yaitu ”Optimalisasi
Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”, yang akan diperingati di Padang
Sumbar pada 24-27 Oktober 2013.
Sistem pangan berkelanjutan bisa tercipta apabila seluruh
pemangku kepentingan taat dan peduli akan akibat yang ditimbulkan, utamanya
penyediaan pangan. Praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan mengakibatkan
terdegradasinya lingkungan yang mengancam ekosistem dan keragaman hayati yang
sangat dibutuhkan untuk penyediaan pangan.
Sistem pangan terbangun atas aspek lingkungan, manusia
(sosial, budaya, dan ekonomi), kelembagaan, dan cara bagaimana hasil pertanian
diproduksi, diolah dan didistribusi ke konsumen. Tiap aspek seharusnya
disinergikan untuk mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan. Aspek
distribusi misalnya, keterbatasan jenis pangan di suatu daerah akan
mengakibatkan keterbatasan pilihan pangan sehingga keterjaminan pemenuhan gizi
tidak terpenuhi. Distribusi itu juga sangat ditentukan oleh kondisi
ekonomi konsumen, walaupun banyak jenis bahan pangan tersedia, realitasnya
sebagian konsumen tak mampu mendapatkan.
Komitmen pelaksanaan pembangunan pertanian sangat
bergantung pada kepala daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
yang turut serta mengakibatkan perencanaan pembangunan pertanian tidak
berkesinambungan. Perencanaan dan pelaksanaan dalam kebijakan pertanian
masa lalu belum tentu lebih buruk, sehingga aktivitas masa lalu yang baik, saat
ini perlu dikaji ulang dalam reimplentasinya.
Inventarisasi, pembangunan, dan perbaikan irigasi mungkin
perlu kembali diperhatikan. Inovasi bibit dan sarana produksi yang
mengarah pada peningkatan produksi juga perlu dilakukan. Pengetatan alih fungsi
lahan produktif menjadi kawasan industri dan perumahan (sekitar 100 ribu
ha/tahun) harus menjadi harga mati, kalau perlu diprogramkan pembukaan lahan
pertanian baru, melebihi luas alih fungsi lahan.
Perlu menyimak pernyataan FAO bahwa tahun 2005-2008 terjadi
krisis pangan pada lebih dari 20 negara, yang bakal terulang pada tahun-tahun
mendatang. Krisis pangan di beberapa daerah di Indonesia (seperti di Yahukimo
Papua tahun 2005) hendaklah jadi kajian objektif untuk mengetahui akar
permasalahannya. Dengan demikian, ke depan kita dapat menskenario sistem pangan
berkelanjutan, yang dapat menyediakan cukup gizi tanpa meninggalkan aspek utama
keamanan pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar