Jumat, 18 Oktober 2013

Kembalikan Makna Pendidikan

Kembalikan Makna Pendidikan
Asep Saefuddin ;  Rektor Universitas Trilogi, Guru Besar Statistika Terapan IPB
SUARA KARYA, 17 Oktober 2013


Saat ini Indonesia sedang dirundung duka. Berita penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi dan beberapa politisi baru-baru ini pertanda hukum di negeri ini sedang porak-poranda. Kabar pelajar menyiramkan air raksa juga sungguh sangat menyedihkan. Belum lagi informasi seorang ayah menjual anaknya, serta banyak lagi berita lainnya yang sangat menyesakkan dada. Pendek kata, kini negara kita dalam keadaan "sakit".

Memang persoalan ini sangat kompleks dan saling kait-mengkait. Dari perspektif pendidikan, tidak ada yang menyangkal bahwa pendidikan adalah landasan yang sangat vital untuk proses kehidupan manusia selanjutnya. Untuk itu, pemaknaan pendidikan harus didudukkan secara benar. Pendidikan jangan sampai direduksi hanya sekadar peningkatan kepintaran dan keterampilan seseorang. Manusia mempunyai jiwa yang hidup dan tidak sekadar robotik.

Manusia dapat membuat robot dan mesin-mesin pintar, cepat, dan akurat, karena manusia mempunyai jiwa (soul) yang dapat membangkitkan imajinasi, inovasi, dan kreativitas. Robot atau mesin pintar sebagaimana pun canggihnya, sama sekali tidak mempunyai komponen soul itu, sehingga tidak mungkin robot dapat menciptakan apa pun. Robot hanya mempunyai wilayah keterampilan, sedangkan manusia mampu menciptakan keterampilan. Dhus, reduksi pendidikan menjadi pelatihan akan merusak komponen jiwa dan aspek kreativitas yang sangat vital untuk memecahkan berbagai masalah melalui penemuan-penemuan sains dan teknologi.

Manusia bisa membuat berbagai alat canggih, seperti smartphone, tablet, mobil, pesawat, jaringan internet, bioteknologi, dan teknologi menakjubkan lainnya, karena manusia mempunyai soul. Di dalam jiwa inilah ada unsur-unsur kemanusiaan yang tidak dimiliki produk buatan manusia. Jiwa itulah yang menggerakkan manusia hingga dapat berimajinasi, berinovasi, dan berkreasi yang akhirnya mampu menghasilkan konsep dan produk.

Tanpa kekuatan jiwa kemanusiaan yang hakiki, jangan harap seorang manusia dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan alam sekitarnya. Manusia yang sudah kehilangan esensi kemanusiaannya hanya mampu berpikir materialistis, short term, brutal, dan sadistis. Dhus, jangan heran bila manusia seperti ini senang memanfaatkan jabatan, duniawi, memburu harta, dan tahta melalui jalur-jalur yang tidak sehat. Kedudukan dan kepintaran sering dipergunakan untuk mengelabui perilaku bejat yang dilakukannya. Maka, muncullah fenomena suap, korupsi, dan perilaku sadis yang dilakukan oleh orang-orang "cerdik pandai" yang tak bermoral.

Oleh sebab itu, semua komponen bangsa perlu merenungkan kembali makna mendasar pendidikan. Kita sering ribut mempersoalkan Ujian Nasional (UN) dan angka partisipasi pendidikan, tetapi kita jarang menukik ke pembenahan pendidikan secara hakiki dan mendasar. Makna pendidikan pun telah direduksi menjadi pelatihan yang terlalu berorientasi pada kepintaran dan keterampilan saja.

Di lain pihak, aspek moral diajarkan dalam bentuk hafalan, bukan pemaknaan moral yang didukung oleh kondisi wilayah pendidikan yang bermoral. Pola pendidikan yang sangat superfisial ini tidak akan mampu menghasilkan manusia-manusia kreatif dan beradab. Negara ini akan semakin tergantung kepada negara lain, termasuk masalah pangan dan energi. Padahal, kedua sektor itu sumbernya berlimpah, maka jadilah fenomena paradoks yang berkepanjangan.

Akhirnya, bila kita tidak mengembalikan makna pendidikan secara benar, janganlah kita berharap Indonesia menjadi bangsa dan negara yang dihormati bangsa lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar