|
TIM Nasional Sepak Bola U-19 menjadi fenomena. Dari
berbagai aspek, Evan Dimas Darmono dkk dinilai sebagai tim istimewa. Mereka
adalah generasi emas sepak bola Indonesia. Penampilannya telah menggugah
kesadaran nasional bangsa ini. Dari aspek teknis, hampir semua orang sependapat
bahwa permainan mereka berbeda dari timnas yang lain. Perbedaan ini menimbulkan
kebanggaan nasional serta prestasi juara Piala AFF dan lolos ke putaran final
Piala AFC tahun depan di Myanmar.
Penjabaran teknis permainan mereka terwakili oleh
simbol-simbol kelembagaan sebuah tim yang unggul (dream team): semangat, kuat, cepat, akurat, dan bermartabat.
Simbol-simbol itu memenuhi persyaratan dasar dari setiap olahraga modern: speed
and power. Timnas U-19 sudah melewati hampir seluruh ujian untuk menjadi tim
masa depan. Stamina sudah diuji dalam final Piala AFF melawan Vietnam selama
120 menit. Kualitas teknis dan taktis sudah dibuktikan ketika mengalahkan
raksasa sepak bola Asia, Korea Selatan, dalam penyisihan Grup G Piala AFC.
Pelatih Indra Sjafri mulai menjawab pertanyaan klasik,
seberapa sulitkah mencari 11 pemain dari 130 juta lebih penduduk Indonesia yang
mampu mengemban misi bangsa ini di ajang dunia? Dengan blusukan ke 49 kabupaten
dan kota di seluruh penjuru Tanah Air, dia menghimpun 31 remaja berbakat dalam
sebuah tim yang rancak.
Kultur Baru
Misi utama telah tercapai. Indonesia ternyata bisa! Ya,
Indonesia telah menunjukkan cara bermain bola yang benar. Kultur baru ini
mengubur mitos bahwa tim sepak bola kita sulit menang di ajang internasional
karena pemain-pemain kita lemah mental, stamina payah, kerja sama kacau,
gampang kehilangan bola, dan sulit mencetak gol.
Dari aspek kultural ini, Tim Garuda Muda telah mendorong
transformasi mental bangsa. Sekarang publik di negeri ini bisa membandingkan
dan mencemooh timnas senior yang masih belum bisa keluar dari hambatan mental inlander. Meski dimanipulasi dengan
pemain naturalisasi atau dilatih di luar negeri, karakter permainan timnas
senior belum berubah.
Indra Sjafri telah berhasil membentuk karakter Timnas U-19
dengan mengeksploitasi konsep ''nasionalisme kultural''. Pemain mendapat
indoktrinasi tentang nilai-nilai warisan bangsa yang adiluhung, dipadu dengan
doktrin teologis yang dianut kebanyakan pemain. Maka lahirlah semboyan-semboyan
yang jadi spirit mental pemain, seperti ''siapa pun bisa dikalahkan kecuali
Tuhan'' dan ''jangan biarkan bangsa ini diinjak-injak oleh bangsa asing''.
Perilaku dan ekspresi individual ataupun kolektif pemain
juga sangat berbeda dari timnas-timnas sebelumnya. Mereka akan sujud setelah
mencetak gol. Ini bukan semata-mata meniru selebrasi bintang-bintang muslim
pada kompetisi bola Eropa, melainkan simbol perilaku yang rendah hati.
Dalam sejarah negeri ini, terdapat dialektika antara
''nasionalisme kultural'' dan ''nasionalisme politik''. Menurut sejarawan
Taufik Abdullah (2001), pernah muncul episode dalam perjuangan kemerdekaan
ketika ''nasionalisme politik'' yang bertolak dari visi membentuk masa depan
bangsa yang modern berbalik ke ''nasionalisme kultural'' Jawa.
Namun, Tim Garuda Muda justru menciptakan ''nasionalisme
politik'' dari ''nasionalisme kultural'' yang tersebar di seluruh penjuru Tanah
Air. Karakter mereka menciptakan identitas nasional baru bagi negara dan bangsa
Indonesia dari penampilan gemilang Zulfiandi (Aceh) hingga Yabes Roni Malaifani
(NTT) dan Mariando (Papua).
Sentimen Nasional
Identitas nasional bukan masalah yang sederhana dalam dunia
olahraga internasional. Lincoln Allison dalam artikel ''Sport and Nationalism'' (SAGE
Publications, Handbook of Sport Studies, 2000) menulis, Stalin harus
menyusun program nasional peningkatan prestasi olahraga Uni Soviet setelah
Perang Dunia II agar identitas nasional Negeri Beruang Merah itu tetap
bertahan.
Inggris adalah negara dengan persoalan identitas nasional
di dunia olahraga yang paling rumit. Akibat konsep pemisahan antara ''bangsa''
(nation) dan ''negara'' (state),
Inggris menggunakan identitas nasional yang berbeda dalam pertandingan olahraga
antarnegara. Tim sepak bola nasional mereka terdiri atas Inggris (England),
Wales, Skotlandia, dan Irlandia (Republik Irlandia ataupun Irlandia Utara).
Olahraga menjadi ajang perebutan kebanggaan nasional.
Masyarakat Wales, seperti halnya India, menganggap rugby sebagai simbol
identitas nasional mereka. Warga Skotlandia bersatu mendukung timnas sepak bola
mereka dan menyanyikan lagu kebangsaan ''Flower
of Scotland'', ekspresi dari kenangan perang agama dan politik anti-Inggris
pada abad ke-17.
Perang agama pada masa silam mewarnai perbedaan tajam
identitas nasional hingga ke tingkat klub olahraga di Inggris Raya. Republik
Irlandia identik dengan Katolik, sedangkan Irlandia Utara didominasi penganut
Protestan. Di tingkat klub, selalu terjadi pertarungan identitas agama antara Glasgow Celtic (Katolik) dan Glasgow Ranger (Protestan). Indonesia
tidak menghadapi masalah rumit itu. Konsep negara-bangsa (nation-state) sudah menyatu. Hanya penjajahan yang lama menimbulkan
mental rendah diri. Persoalan prestasi olahraga negeri ini kebanyakan bertolak
dari kondisi mental tersebut.
Karena itu, sentimen nasional saja tidak cukup untuk
memperbaiki identitas bangsa ini. Atribut dalam pertandingan internasional,
seperti bendera, lagu kebangsaan, kostum, emblem, dan suporter sebagai sarana
untuk mengekspresikan identitas kolektif bangsa, harus diimbangi dengan
karakter timnas yang unggul. Itulah posisi yang sedang disandang Garuda Muda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar