Rabu, 02 Oktober 2013

Pancasila dan Liberalisme Kedurjanaan

Pancasila dan Liberalisme Kedurjanaan
Siti Marwiyah  ;  Dekan FH Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 01 Oktober 2013


Dalam hidup bernegara, kita perlu sering bertanya, benarkah kebijakan pemerintah (negara) senyatanya memang membebaskan atau menyejahterakan orang miskin, ataukah justru sebaliknya memiskinkan orang miskin? Atau, benarkah negara ini benar-benar sudah mengamalkan salah satu sila Pancasila bertajuk 'kemanusiaan yang adil dan beradab'? Tidakkah sila kedua ideologi negara ini hanya dijadikan aksesoris kultural dan structural kehidupan kenegaraan?

Ada pepatah berbunyi sesuatu yang buruk terjadi di masyarakat disebabkan oleh kondisi buruk yang mempengaruhinya (evil causis evil vallacy). Penyakit sosial tidak akan sampai marak atau tumbuh subur di masyarakat kalau tidak dipengaruhi oleh kondisi buruk. Berbagai bentuk kejahatan tidak akan sampai merebak di mana-mana kalau di masyarakat tidak tersedia atau 'disediakan' akar kriminogen yang menyebabkannya. Mereka tak akan jadi pemarak kriminalisasi 'kemanusiaan yang adil dan beradab' kalau mereka tak sering ditumbalkan oleh kaum pintar yang hanya suka jadi penghafal sila kedua.

Sikap dan perilaku patologis tidaklah berdiri sendiri, melainkan ditentukan oleh aspek lainnya. Sikap dan perilaku demikian bukan disebabkan faktor hereditas, tetapi oleh lingkungan atau keadaan buruk yang membuatnya atau mendidiknya agar menjatuhkan pilihan-pilihan yang kontra produktif, irasional, disobjektivitas, dan tidak menghormati harkat manusia lainnya.

Komunitas akar rumput yang kehilangan pondasi ekonominya itu masuk dalam babakan baru kehidupan yang menyakitkan atau menafikan keberdayaannya, yakni kondisi kehidupan serba marjinal, kehilangan pengharapan kelayakan kesejahteraan, dan terpuruk dalam kemiskinan.

Kondisi itu jelas paradoksal dengan doktrin keadaban dan pemanusiaan manusia yang digariskan Pancasila. Atmosfer rentan, terpinggirkan, dan dikalahkan ini membuatnya dan memaksanya melakukan aktivitas nekad, berbahaya, dan krimialistik. Masalahnya, siapakah yang sejatinya kehilangan keadaban dan prinsip pemartabatan manusia?

Ketika aparat yang berwajib dan pemerintah berkali-kali mengajak kita berjihad melawan preman konvensional, kita mesti dihadapkan pada kesulitan melawan, apalagi mengalahkannya. Pasalnya, problem kemiskinan dan pengangguran, semakin komplikatif menghegemoni masyarakat negeri ini.

Pilar-pilar negara tidak akan mampu mencegahnya dari kemungkinan ketersesatan opsi yang dijatuhkannya (orang miskin) ke dalam wilayah abu-abu atau kriminalitas baru, bilamana mereka terbiarkan terpuruk dalam ketidakberdayaan sistemik dan berlanjut ini. Realitas ini mengindikasikan kegagalan negara dalam membumikan kesaktian Pancasila yang berorientasi membebaskan. Ketidakberdayaan itu dapat dibaca sebagai kondisi buruk yang dapat menggiring seseorang terjerumus dalam perbuatan kriminalitas. Seseorang bisa terbentuk dirinya menjadi preman akibat lingkaran sosial laten bercorak defek, memiskinkan, tidak berkeadilan, dan tidak berkeadaban. Kata Sosiolog A Halim Mahfudz (2007), orang miskin jadi preman atau pembunuh berdarah dingin bukan karena kemauannya, tetapi karena 'digiring' oleh kondisi buruk yang bernama disparitas, ketidak-adilan kebijakan, dan arogansi pemerintah yang lebih memanjakan kaum kaya.

Langkah khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sufis ini, barangkali perlu dicontoh oleh pemerintah Indonesia. Umar memang tidak kenal Pancasila, namun ia menunjukkan kepemimpinan Pancasilais. Ia misalnya selalu melarang anak buahnya hendak memboroskan anggaran belanja negara untuk kepentingan pembangunan benteng dengan kalimat, "Apalah gunanya membangun benteng kota, kalau kebutuhan masyarakat belum dipenuhi. Bentengilah kehidupan masyarakat dengan keadilan (pemenuhan hak-haknya)."

Belajar dari peringatan tersebut, menggencarkan pembangunan fisik perkotaan atau memboroskan anggaran demi mendisain gedung-gedung pemerintahan supaya wajahnya menjadi lebih menarik dalam pandangan mata, apalagi sekedar untuk dijadikan investasi kepentingan politik atau menaikkan gengsi elite pejabatnya, jelaslah bukan sebagai model pembangunan dan perilaku elite yang seirama atau sebahasa dengan kepentingan riil masyarakat yang sedang hidup susah dan bersahabat dengan beragam ketidakberdayaan.

Masyarakat tidak akan sering, terus menerus, atau secara rutin (sistemik dan terstruktur) menjadi korban dan tumbal hingga menjadi sosok dan komunitas preman, kalau saja pemerintah menunjukkan kemauan dan kemampuannya dalam melakukan aksi-aksi cerdas atau menggalakkan pola manajemen bernegara berbasis sufisme sosial terhadap derita empirik masyarakat.

Selama pemerintah belum juga memperkaya pola praksis sufisme (penyucian diri) kenegaraan atau masih meliberalismekan kedurjanaan dalam pengambilan kebijakan, niscaya sulit problem riil masyarakat berhasil diatasinya, termasuk mengakomodsi macam derita orang miskin. Memberi solusi tepat sararan kepada masyarakat yang terhimpit masalah penderitaan dan ketidakberdayaan haruslah diawali dengan pembacaan dan pembedahan objek secara adil dan berkeadaban.

Kalau negara (pemerintah) memang punya political will mempancasilaisasi secara empirik ke ranah masyarakat, negara tidak akan kesulitan mencari dan menemukan orang miskin. Sayangnya, selama ini masyarakat miskin lebih sering berada dalam atmosfer 'horor' dan penindasan berlapis yang diproduksi sang rezim yang kehilangan nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, dan keadilan yang sudah digariskan Pancasila.


Masyarakat miskin itu telah jadi korban kebijakan dan elemen rezim yang sudah lama mematikan ruh Pancasila. Mereka tidak memerintah dengan jiwa populis dan mental akuntabel, dan sebaliknya bangga mengidap penyakit malversasi, yang mengakibatkan masyarakat miskin menjalani kehidupan keseharian dalam ketidakberdayaan dan keterpurukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar