Kamis, 17 Oktober 2013

Mahar Politik Pembusuk Demokrasi

Mahar Politik Pembusuk Demokrasi
Tasroh  ;   Pegiat Banyumas Policy Watch,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
SUARA MERDEKA, 16 Oktober 2013


SUNGGUH terasa memprihatinkan memaknai pernyataan Presiden PKS Anis Matta yang menganggap wajar mahar politik Rp 8 miliar. Uang itu untuk menggerakkan tim kampanye guna memenangkan Ilham Arief Sirajuddin (Wali Kota Makassar) dalam Pilgub Sulawesi Selatan pada akhir 2012 (SM, 27/9/13).
Itu diperkuat oleh rekaman di persidangan perkara impor daging sapi dengan terdakwa Ahmad Fathanah yang menguak banyak kebusukan praktik politik. Tak hanya berkait suap, gratifikasi, dan pencucian uang, skandal Fathanah mengungkap praktik yang selama ini jadi bahan pergunjingan: mahar politik dalam pilkada.

Semua itu membuat politik berbiaya tinggi, merusak kaderisasi partai dan tradisi bersih berpolitik. Fathanah ikut mengatur pencalonan Ilham, melalui PKS, dalam Pilgub Sulawesi Selatan. Dalam persidangan terungkap Ilham yang waktu itu menjabat Wali Kota Makassar dimintai Rp 10 miliar tapi hanya menyanggupi Rp 8 miliar, itu pun dicicil dua kali melalui Fathanah.

Setelah itu, barulah ia memperoleh dukungan yang diteken Presiden (waktu itu) PKS Luthfi Hasan Ishaaq. (Koran Tempo, 23/9/13). Dalam dokumen persidangan terungkap Fathanah juga menjajakan rekomendasi dalam pilkada lain. Itu senapas dengan pernyataan Yusuf Supendi, yang pernah mengungkapkan penarikan mahar oleh petinggi PKS dalam Pilgub DKI Jakarta 2007. Praktik seperti itu memang tidak hanya dilakukan oleh PKS.

Tradisi saling memberi dan menerima diikuti sejumlah janji dan komitmen di antara para pelaku lapangan, master mindhingga jejaring para decision maker dalam berbagai jenjang, sudah dianggap lumrah, keniscayaan. Misal seperti diungkapkan Anis Matta, yang menyebutkan mahar politik Rp 8 miliar dalam jual beli dukungan untuk cagub usulan DPW partainya adalah hal wajar. Ungkapan seorang politikus dari partai yang mengklaim partai dakwah tidak hanya mengacak-acak syariat dan nilai Islam.
Praktik itu sekaligus memberi konfirmasi kebenaran sangkaan publik bahwa praktik politik dan demokrasi yang hari-hari ini dibanggakan sebagai the third wave of modernization ternyata pembusukan belaka. Ada dua hal mendasar yang menguatkan hal itu.

Pertama; asal-usul mahar politik. Seandainya itu memang jadi salah satu media kekinian ”silaturahmi” dan dari duit halal, mungkin ceritanya lain. Tetapi kita paham bahwa duit mahar itu dari uang negara lewat proyek-proyek di kementerian yang dipimpin menteri kader partai, atau sumber ilegal yang diharamkan oleh syariat. Kedua; merusak citra dan kredibilitas umat dan keyakinan beragama.

Sepak-terjang Fathanah kini menjadi bahan olok-olok publik secara sosial keagamaan. Hal ini tidak sekadar berbau politik tetapi sekaligus ekspresi gugatan kebencian sosial. Seandainya dibiarkan menggelinding liar, bukan tidak mungkin merusak sendi-sendi ajaran agama itu sendiri.

Padahal bila sudah sampai titik itu, perpecahan dan destruksi sosial menjadi ancaman serius kehidupan beragama dan bermasyarakat secara keseluruhan. Karena itu, upaya pengungkapan secara terang-benderang dengan menyeret semua pihak, perlu dilakukan. Upaya itu bertujuan untuk menyetop tabiat, mental, dan perilaku busuk: mahar politik.

Sanksi Sosial

Untuk alasan tersebut, praktik bersih berpolitik ala Jepang layak menjadi rujukan. Semasa kepemimpinannya, PM Kakuei Tanaka mengatakan bahwa yang dapat menyetop perilaku korup hanyalah dua pihak. Pertama; parpol dan elite pengambil kebijakan politik, dan kedua; pemerintah berkuasa dalam menerapkan hukuman menjerakan.

Untuk yang disebut terakhir, pemerintah Jepang menerapkan sanksi sosial ketat dan hukuman berat bagi pelanggar. Politikus dan siapa pun yang terlibat perselingkuhan politik, apalagi korupsi, akan dikucilkan dari kehidupan sosial dan dipecat dari jabatan publik. Untuk menuju arah tersebut, masyarakat mengharapkan peran dan kerja keras parpol dan jejaringnya untuk menjadi pelopor perubahan menghapus mahar politik.

Partai dan elite perlu didorong untuk mengajukan kader berkualitas. Bahkan mereka wajib mengajukan calon yang bersih, cerdas, dengan rekam jejak dan prestasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Tak kalah strategis adalah tugas dan tanggung jawab hukum dan moral parlemen. Pemerintah bersama DPR bisa menyetop permainan itu lewat UU Pemda, UU Pilpres, UU Parpol, dan UU Pemilu.

Calon yang terbukti memberikan mahar politik harus didiskualifikasi dari pemilihan. Parpol dan elite yang terkait dengan permainan itu pun harus mendapat sanksi hukum tegas. Tanpa perubahan aturan main, pembiaran percaloan politik ala Fathanah dan jejaringnya maka tradisi mahar politik makin mengecambah. Bahkan melahirkan ”generasi baru Fathanah” yang terus menjajakan dukungan partai melalui ikatan mahar politik bibit pembusuk demokrasi.


Padahal modus semacam itu terbukti menghancurkan moral dan adab politik nasional kita. Menjelang Pemilu 2014, banyak pihak sejak dini menyinyalir permainan mahar politik bakal berkembang-biak. Rakyat pun makin muak dengan perilaku dan moral politik busuk demikian. Bagaimana kita bisa berharap partisipasi politik rakyat secara maksimal dalam pemilu? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar