|
SIKAP
penolakan sebagian masyarakat Lenteng Agung terha dap posisi Lurah Susan terus
mencuat. Untuk kesekian kalinya, mereka yang menolak kembali berdemonstrasi di
depan Kantor Kelurahan Lenteng Agung. Sekelompok masyarakat tetap menolak Susan
karena dianggap berbeda keyakinan dengan mayoritas masyarakat Lenteng Agung.
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tetap menolak penggantian Lurah Susan
dari jabatannya.
Kedua
pemimpin tersebut berkukuh bahwa penggantian pejabat harus berdasarkan kinerja,
bukan pertimbangan agama atau ras. Mereka juga berpikir konstitusi harus
ditegakkan dalam prinsip penempatan pejabat dan tidak berdasarkan latar
belakang etnik dan agama. Di media sosial, muncul gerakan untuk mendukung
posisi Lurah Susan dengan mengusung hashtag
#Save Susan. Dukungan publik itu bukan semata persoalan personal, me lainkan
bermuara pada prinsip dan etika publik yang harus dibangun di masyarakat, yaitu
menghargai perbedaan yang berkembang.
Jika
dibaca secara lebih jauh, munculnya dukungan publik itu berdasarkan pemikiran
yang sama, untuk merawat kebinekaan sekaligus merawat Indonesia. Polemik ini
juga mengundang debat antara Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok, dengan Mendagri,
Gamawan Fauzi. Gamawan mengatakan kebijakan penempatan Lurah Susan agar
ditinjau ulang. Tentu saja Ahok menolak keras saran itu dan menganggap Gamawan
tidak paham konstitusi. Polemik berkembang menjadi perang terbuka di media
massa, khususnya media sosial.
Melihat
kelompok masyarakat yang menolak Lurah Susan membuat kita prihatin dengan
kesadaran masyarakat dalam menghadapi perbedaan. Dalam konteks kebinekaan
Indonesia, sikap itu sangat membahayakan karena bisa mencederai ikatan
kebangsaan yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia. Jika sikap terus
dipelihara, kita akan itu menghadapi gelombang yang sama di berbagai daerah.
Kemunduran sikap
Secara
historis, Indonesia memiliki pengalaman panjang sebagai bangsa yang
multikultural. Pengalaman kolektif sejarah tersebut mengantarkan kepentingan
yang sama untuk membangun Indonesia sebagai negara yang maju dan modern, tentu
dengan menerima dan menghargai berbagai perbedaan. Pancasila diyakini sebagai
sebuah jembatan (bridging) dari masyarakat
multikultural Indonesia yang sangat beragam. Itulah kapital kultural bangsa
yang harus diikat Pancasila.
Sejarah
juga menunjukkan pengalaman berharga dengan adanya perdebatan antara kelompok
Islam dan nasionalis tentang dasar negara. Kelompok Islam diwakili Mohammad
Natsir, sementara kelompok nasionalis diwakili Soepomo.
Perdebatan terjadi karena perbedaan cara pandang dalam menempatkan Islam
sebagai dasar negara Indonesia. Ketika itu, kelompok Islam sepakat dengan
dihapuskannya tujuh kata `dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya' di belakang sila ketuhanan dalam Piagam Jakarta.
Sikap
Natsir ialah sikap terbaik dalam menerima perbedaan dalam konteks Indonesia. Tokoh
seperti Natsir berjiwa terbuka dalam menerima perbedaan. Justru dengan sikap
sekelompok masyarakat di Lenteng Agung mencerminkan kemunduran berpikir dalam
menghadapi perbedaan. Sikap itu menjadi contoh buruk dalam merayakan perbedaan
yang ada di Indonesia.
Pengalaman Eropa
Sikap
intoleran kelompok masyarakat Lenteng Agung sejatinya bukan pertama kali di
Indonesia. Kasus-kasus lain banyak terjadi di berbagai daerah. Ironisnya, kerap
disertai praktik-praktik kekerasan yang meneteskan darah. Tak sedikit nyawa
juga menjadi korban sikap intoleran. Sikap intoleran selalu terjadi dalam
masyarakat yang plural atau multikultural dan mengarah kepada kelompok
minoritas. Lemahnya kohesi sosial dan integrasi yang muncul di masyarakat
menunjukkan tumbuh suburnya prasangka (prejudice)
yang berakumulasi dalam sikap diskriminasi.
Perilaku
intoleran juga sering terjadi di negara-negara yang dikenal sebagai negara maju
dengan tingkat pendidikan dan peradaban tinggi. Sebuah publikasi yang
diterbitkan Friedrich-Ebert-Stiftung pada 2011 berjudul Intolerance, Prejudice and Discrimination; A European Report
menjelaskan sikap intoleran sering terjadi pada kelompok-kelompok minoritas
seperti orang kulit hitam, masyarakat Yahudi, umat Islam, kalangan perempuan,
dan homoseksual. Kelompok-kelompok tersebut menjadi bulan-bulanan dari propaganda
kelompok populis sayap kanan.
Salah
satu temuan menarik dalam publikasi tersebut ialah survei tentang komparasi
komposisi sosial di delapan negara Eropa, yaitu Prancis, Jerman, Inggris,
Hongaria, Italia, Belanda, Polandia, dan Portugal. Dari berbagai kelompok
minoritas yang sering menjadi korban intoleran, masyarakat Islam ialah kelompok
yang populasinya cukup besar.
Komposisi
masyarakat Islam terbesar di Eropa berada di Prancis, yaitu mencapai 10% dari
total penduduk Prancis. Setelah Prancis, disusul Jerman (7%), Inggris (6%), dan
Belanda (6%). Masyarakat imigran terbesar berada di Jerman dengan angka 12,3%
dari total penduduk. Menyusul berikutnya Prancis sebesar 10,4% dan Belanda
sebesar 10,1%.
Menariknya,
pascakonsolidasi Uni Eropa, sikap intoleran justru berkembang lebih banyak.
Dari berbagai kasus intoleran di Eropa, sikap prasangka terhadap keterikatan
personal menjadi faktor utama. Masyarakat Eropa masih terjebak dalam
mendefinisikan kelompok sosial di luar diri mereka. Mereka sering menganggap
kelompok minoritas sebagai kelompok yang disebut foreign, strange, atau other.
Konstruksi sosial itu perlahan-perlahan terus berkembang dan terlembagakan
dalam struktur kognitif masyarakat asli.
Pada
akhirnya muncul sikap intoleran terhadap warga minoritas karena mereka dianggap
berbeda, aneh, dan marginal dengan realitas sosial budaya masyarakat Eropa.
Eropa akan mengalami tantangan berat dalam merawat multikulturalisme
pascaterbentuknya Uni Eropa. Tantangan itu menjadi masalah berat dan agenda
signifikan pemimpin Uni Eropa dalam menyelesaikan masalah sosial yang kompleks
ini.
Tidak
adanya batas-batas geografis dan sosial-budaya di Eropa sangat memungkinkan
terjadinya konflik sosial di antara negara-negara di Eropa, khususnya
negara-negara di Eropa Timur dengan Eropa Barat atau antara warga
pendatang/keturunan dengan warga asli Eropa. Melihat kasus kelompok masyarakat
Lenteng Agung dan juga kasus-kasus lainnya pun membuat kita kembali berpikir
panjang tentang ikatan kebangsaan yang sudah tertanam kuat dalam realitas
sosial historis kita. Itulah tantangan kebangsaan kita yang bisa mengikis
fondasi kebangsaaan. Tak ada pilihan lain bagi kita untuk merawat Indonesia
dengan melawan apa pun bentuk dan perilaku intoleran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar