|
Tidak terasa, sudah 48 tahun
peristiwa yang menggegerkan negeri ini berlangsung ketika PKI dengan Gerakan 30 September (G30S)-nya berusaha mengadakan
kudeta terhadap Pemerintah RI yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Demikian juga untuk merenungkan kembali ketika meletus
pemberontakan G30S tahun 1965 yang didalangi oleh PKI.
Bila kita lihat kembali sejarah semenjak
Republik Indonesia merdeka, berbagai usaha pemberontakan dilakukan oleh mereka
yang tidak puas dengan republik tercinta ini. Demikian juga dengan Partai
Komunis Indonesai (PKI) paling tidak telah dua kali berusaha mengadakan kudeta
terhadap pemerintah yang sah.
Dua pemberontakan dimaksud adalah peristiwa di tahun 1948 di mana PKI melakukan
pemberontakan yang dipusat kan di Kota Madiun, Jawa timur, dengan Muso-nya.
Demikian juga pada 1965, PKI berusaha kembali mengadakan kudeta terhadap
Pemerintah RI yang sah di bawah kepemimpinan DN Aidit.
Tetapi syukurlah, kedua pemberontakan
dimaksud dapat dipatahkan oleh aparat negara dalam waktu yang singkat. Dapat
dibayangkan, manakala pemberontakan tersebut tidak segera dapat ditumpas,
korban pun pasti akan berjatuhan untuk kedua belah pihak. Bantuan pasukan yang cepat dari Jakarta yang dikirimkan
ke kota-kota Jawa Tengah dapat meminimalkan jatuhnya korban akibat keganasan
yang dilakukan oleh para pemberontak.
Kota-kota yang menjadi basis PKI
adalah antara lain Boyolali, Klaten, Semarang, Wonogiri, Solo, serta Sukohardjo.
Tokoh pemberontak PKI, DN Aidit, tertangkap di daerah Sambeng, pinggiran Kota Solo,
pada November 1965. Berbagai macam senjata dan amunisi di berbagai tempat
ditemukan oleh aparat bersenjata dengan dibantu oleh para pendukung Pancasila
yang antara lain meliputi Pemuda Muhamadiyah, Pemuda Marhaennis, Pemuda Anshor,
Pemuda Katholik, dan lain sebagainya. Mereka bahu-membahu siang malam tanpa
mengenal lelah bersama tentara yang didatangkan dari Jawa Barat mengadakan operasi
kepada mereka yang terindikasi menjadi simpatisan anggota PKI.
Hasil dari kerja keras selama
operasi ternyata di luar dugaan serta mencengangkan semua orang yang pada waktu
itu menyaksikan beratus-ratus karung berisi amunisi berupa peluru, granat
tangan, pencukil mata, dan berbagai senjata laras panjang buatan salah satu
negara komunis, yakni RRC.
Selain jumlahnya yang sangat fantastis, peluru yang ditemukan bila untuk
menghabisi rakyat di sekitar Solo yang bukan simpatisan PKI sudah mencukupi.
Ini saking banyaknya peluru yang ditemukan oleh para aparat. Ada yang ditemukan
di kandang ternak, di lereng sungai tepi Bengawan Solo, dan ada pula yang
ditanam atau dimasukkan ke dalam sumur penduduk.
Demikian juga sawah-sawah yang
pemiliknya bukan orang PKI, dengan enaknya dipatoki dan ditulisi bahwa tanah
ini telah menjadi milik nama seseorang yang terindikasi simpatisan PKI. Waktu
itu kita juga tidak berani untuk membuang patok yang terpancang di sawah. Takut
mereka marah dan tidak jarang hingga terjadi pembunuhan hanya karena masalah
sepele.
Tetapi anehnya, begitu PKI
meletus, tanpa ada yang menyuruh patok-patok tersebut telah hilang dengan
sendirinya. Siapa yang mencabuti dan membuangnya kembali tidak ada yang
mengetahui. Berbagai dokumen juga ditemukan yang isinya siapa saja yang akan
jadi sasaran pembantaian seandainya pemberontakan PKI dengan G30S-nya berhasil.
Tetapi anehnya, baik dokumen ataupun
senjata yang ditemukan tersebut berada di lingkungan ataupun sekitar rumah warga
yang sebetulnya tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi ketika itu. Asumsi
kita saat itu, mereka kebanyakan tidak bisa membaca dan menulis apalagi
mengetahui politik. Ini semua akibat kelihaian dari PKI dengan memanfaatkan
rakyat sebagai tamengnya.
Perlu kita ketahui, bahwasanya
pada 1965 kita sedang mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Penduduk yang
kandang ternaknya dijadikan tempat untuk menyimpan berbagai macam amunisi
dengan dalih yang diberikan oleh PKI adalah untuk bersiap-siap melawan penjajah
Malaysia. Padahal, tidaklah demikian apa yang terjadi sebenarnya.
Aparat tidak mau ambil risiko
terlalu panjang. Akibatnya jelas, warga ataupun penduduk yang tempat tinggalnya
ataupun pekarangan ditemukan senjata atau pun sebangsanya, tanpa ampun langsung
saja diamankan oleh aparat pemerintah. Apa yang terjadi setelah itu dapat kita
bayangkan sendiri, yang tidak perlu diceritakan kembali. Walaupun mereka
meronta-ronta minta ampun dan telah tertipu oleh propaganda PKI, aparat tetap
berkeyakinan bahwa mereka itu menjadi simpatisannya. Itulah yang namanya
politik. Masyarakat yang tidak mengetahui apa-apa justru banyak yang menjadi
korbannya.
Akan tetapi sebaliknya, justru para tokoh-tokohnya banyak yang
selamat. Dalam arti mereka hanya ditahan
dalam jangka waktu yang cukup lama, puluhan tahun, tetapi pada akhirnya menghirup hawa bebas kembali.
Mentalitas para tahanan anggota
PKI sangatlah bagus. Bayangkan, dalam kurun yang cukup lama ditahan di Pulau Buru
ataupun Nusakambangan Cilacap, mereka tetap tegar fisiknya. Dan itulah
yang dimiliki para militan PKI terutama Pemuda Rakyatnya. Organisasi yang
menjadi underbow-nya PKI, antara lain Gerwani untuk para wanitanya, BTI untuk
para taninya, Lekra untuk keseniannya, dan lain sebagainya. Walaupun secara
yuridis formal PKI telah dibubarkan, kita jangan lengah sedikit pun.
Bila ada kesempatan, pasti mereka
akan bergerak kembali berusaha menghidupkan ideologi mereka yang telah terpatri
dengan jiwa dan keyakinan mereka. Walaupun tentunya untuk bangkit kembali tidak
mudah, mengingat rakyat sudah tidak dapat dibodohi lagi. Tidak seperti yang
dulu lagi. Bila suatu negara seringkali terjadi usaha kudeta, rakyat kebanyakan
yang akan menderita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar