|
RABU, 2 Oktober 2013, pukul 22.00
WIB, dunia hukum Indonesia diguncang ‘gempa hebat’. Guncangan itu seakan
melebihi gempa bumi berkekuatan 8,9 pada skala Richter. Pusat guncangan itu
terjadi persis di Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Jakarta, tepatnya di rumah
dinas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.
Saat itu, penyidik KPK menangkap tangan sang ketua MK, Akil
Mochtar. Yang bersangkutan diduga kuat menerima suap berkaitan dengan
penyelesaian perkara sengketa pemilu kada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Tengah, yang sedang ditanganinya. Pada saat bersamaan, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) juga berhasil melakukan operasi serupa menyangkut penanganan
perkara sengketa pemilu kada Kabupaten Lebak, Banten, yang diduga juga
melibatkan hakim konstitusi yang sama.
Guncangan itu membuat sebagian besar orang berkerumun dan
membicarakan apa lagi yang akan terjadi menyusul guncangan pertama tersebut.
Sesekali mereka geleng-geleng kepala begitu mengingat kejadian pada Rabu malam
itu. Terlebih kaum praktisi, akademisi, dan profesional hukum terus membahas
kejadian itu untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan apa yang salah dengan MK.
Terutama perilaku hakim konstitusi yang notabene orang terpelajar, bergelar
doktor ilmu hukum, gaji besar, tunjangan cukup, honor sidang mengalir bak banyu mili, toh terjadi juga praktik
menjijikkan itu.
Atas kejadian itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun
angkat bicara tentang penting dan mendesaknya keberadaan lembaga pengawasan MK.
Presiden akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu).
Namun, wacana perppu mendapat penolakan sebagian ahli hukum tata negara dengan
alasan inkonstitusional. Bahkan, bukan tidak mungkin perppu dimaksud akan
berujung pada ranah politik, yaitu impeachment. Terlebih MK pernah membatalkan
lembaga pengawasan yang akan mengawasi mereka. Dalam kondisi delegitimasi dan
proses degradasi integritas MK yang terus menurun tajam demikian ini,
pilihan-pilihan model pengawasan tetap perlu segera dibentuk. Namun, tentu saja
yang tidak menabrak rambu-rambu konstitusi.
Usulan yang terdengar, misalnya, lembaga pengawas yang
ditawarkan ialah sebuah lembaga yang ada di dalam MK. Pilihan dewan kehormatan
yang dibentuk untuk menemukan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua
nonaktif MK Akil Mochtar itu dapat dipilih untuk selanjutnya dilembagakan.
Kelemahannya, dewan kehormatan baru bekerja efektif jika ada dugaan kuat telah
terjadi pelanggaran kode etik. Dikhawatirkan timbul konflik kepentingan sehingga
putusan yang diambil diragukan kualitas dan imparsialitasnya.
Untuk menghindari kelemahan itu, lembaga bersangkutan
disarankan berada di luar MK dengan basis induknya ke Komisi Yudisial. Ini pun,
menurut pandangan saya, belum aman dari keributan dan ketegangan antara yang
diawasi dan yang mengawasi karena berada di posisi berhadapan.
Putusan sabdo pandita ratu
Dalam ketentuan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Pada level UU, hal
sama tersebut pada Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 20003 tentang MK
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 20003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut UU MK) bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final. Antara lain `menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945' memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yakni
`memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilu'.
Pasal-pasal yang menyebutkan putusan bersifat final dan
terakhir itu sebenarnya melampaui batas-batas dirinya, mengingat UUD 1945 yang
memerintahkan kewenangan MK itu saja masih dapat dia mendemen. Sementara itu,
produk putusan MK yang diatur UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sendiri
bersifat final dan terakhir sebagaimana disebut tadi, seolah memosisikan
putusannya itu sejajar dengan pembukaan UUD 1945. Padahal, UU yang mengatur
keberadaan MK itu di bawah UUD 1945, sebuah lompatan jauh ke atas yang tentu
rawan jatuh. Artinya, kekuatan putusan demikian itu tidak jauh berbeda dengan
sabdo pandita ratu bahwa raja diposisikan sebagai penguasa tunggal yang
memiliki kewenangan interpretator penuh dan kedudukan tertinggi dalam struktur
kerajaan.
Dalam posisi itu, ucapannya bersifat final dan jika itu berupa perintah,
harus dilaksanakan dan harus terwujud. Sabdo
pandita ratu yang diucapkan hakim konstitusi membawa lembaga yang lahir di
era reformasi
ini seakan kembali ke zaman
Diningrat sehingga memunculkan semonan (sindiran) bahwa telah lahir
Mahkamah Konstitusidiningrat.
Hakim resi
Mengingat fungsi hakim konstitusi
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji UU terhadap UUD pada level UU, tidak berlebihan jika harapan masyarakat
terhadap hakim konstitusi itu diisi orang-orang bersosok negarawan.
Salah satu ciri negarawan ialah secara materiil mereka
sudah selesai dengan dirinya sendiri, dan secara imateriil substansial sudah madeg dadi resi (menjadi begawan).
Jika hal itu terpenuhi, putusan yang dilahirkan tidak hanya berisikan hal
teknis (menang-kalah), bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD, tetapi
juga putusan yang bijak, tuntas, final, dan terakhir.
Perlu orang-orang bijak yang dalam proses membuat putusan
mampu mempertimbangkan secara mendalam aspek hukum, filosofis, budaya, dan agama.
Sebaiknya struktur hakim konstitusi melibatkan orang bijak secara agamais,
filosofis, sosiologis, dan berkebudayaan, yang putusannya diharapkan memiliki
nilai kenegarawanan sekaligus kebegawanan atau keresian.
Struktur majelis hakim konstitusi saat ini terlihat secara
kasat inderawi terdiri dari tiga orang hakim. Dari segi kualitas, kelemahan
substansialnya ialah meskipun secara personal terdiri dari tiga sosok hakim dan
akan dapat dengan mudah mengakhiri kebuntuan pengambilan keputusan bulat,
secara substansial yang terjadi sejatinya bukan majelis, melainkan hakim
tunggal, mengingat ketiganya satu identitas yaitu sarjana hukum.
Beda halnya jika majelis hakim terdiri dari sosok-sosok
hakim yang memiliki ketokohan sosial, budaya, agama, dan seterusnya. Jalan
keluar yang pernah terdengar, misalnya, pertukaran giliran hakim dari panel
satu ke panel lain sehingga setiap penanganan perkara berbeda sosok hakimnya.
Itu pun tidak menjamin akan meminimalkan kejadian ala Akil Mochtar karena yang
terjadi hanya perubahan permukaan dan fisikal, belum menyentuh akar permasalahan
substansialnya.
Kedua, lembaga pengawas seperti Dewan Kehormatan MK, yang
sekarang ini sedang bekerja jika dilembagakan, apakah membasis ke dalam MK atau
ke KY? Basis dua lembaga pengawas tersebut sangat berpotensi konflik mengingat
mereka merupakan dua entitas berbeda. Ingat saja bagaimana konflik KY dan
Mahkamah Agung beberapa waktu lalu.
Sejatinya masih ada ruang pengawas yang ideal yang
keberadaan entitasnya tidak berada di luar MK atau di dalam MK, tetapi melekat
secara fungsional ke dalam struktur majelis atau panel hakim konstitusi.
Potensi konflik dari model pengawasan fungsional tersebut dipandang sangat
minim. Majelis hakim yang biasanya terdiri dari tiga hakim bergelar sarjana
hukum perlu diubah menjadi terdiri dari orang-orang sarjana (dua di antaranya
bukan sarjana hukum) yang sudah tidak memikirkan identitas apa pun kecuali
amanah kenegarawanan.
Mungkin model hakim resi dan pengawasan fungsional demikian
ini yang tidak menabrak konstitusi, minim konflik kepentingan, konflik
antarlembaga, dan sebaliknya, sifat kenegarawanan mengemuka. Mari kita berpikir
bersama dengan tenang tentang hal ini. Semoga.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar