|
MENCUATNYA isu politik dinasti
melalui Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mendorong banyak kalangan melihat
politik dinasti yang dibangun elite politik lainnya. Walaupun dinasti Ratu Atut
dibangun melalui kejawaraan ayahnya, Tubagus Hasan Shohib yang wafat beberapa
tahun lalu, ‘hasilnya’ bisa dilihat masyarakat. Misalnya 200 sertifikat tanah di
berbagai lokasi dan 11 mobil mewah yang tersimpan di garasi di Jalan Denpasar,
Kuningan, rumah Tubagus Chaery Wardhana, adik Atut. Atau tersebarnya kekayaan
Ratu Atut di beberapa tempat, termasuk di Bandung. Masyarakat sudah lama tahu
akan hal ini. Lalu, prasangka yang terbangun ialah kekayaan yang didapat itu
dicapai melalui runtunan dinasti politik.
Jika Tubagus Hasan Shohib sukses membangun dinasti politik
melalui pemilu, beberapa elite lain membangun dinasti melalui kekuasaannya di
partai. Orang kemudian melihat Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, SBY, dan
Prabowo Subianto.
Saya teringat peristiwa 19971998, ketika Soeharto
dijatuhkan oleh isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Orang menyebutnya
dengan dinasti Cendana. Bukankah isu itu sekarang menjadi lebih dahsyat dan
meluas? Lalu kita pun teringat bagaimana keluarga Rothschild membangun dinasti
bisnis di Inggris dan kemudian memengaruhi kerajaan serta pemerintahan Inggris.
Demikian juga di AS dengan keluarga Rockefeller, dinasti
Kennedy, dinasti Bush, atau kelompok usaha Halliburton (Dick Cheney). Hal yang
sama bisa dilihat di Singapura, bagaimana Lee Kuan Yew membangun dinasti walau
dengan pendekatan ‘kompetensi’. Apalagi di China atau di negara-negara yang
berbasis kerajaan. Lantas, kenapa banyak kalangan terpelajar saat reformasi
begitu renyah mengunyah isu KKN? Jawabannya karena mainstream ekonomi, politik, media massa, dan dunia pendidikan
berkiblat ke Barat, khususnya ke AS. Kiblat itu meyakini isu KKN yang disajikan
Barat bahwa Soeharto dengan keluarga dan kekuatan politiknya telah melakukan
KKN dan mengakibatkan kerusakan negeri adalah benar.
Sebagai wartawan era 19821989, saya melihat dan menyaksikan
betapa banyak penyimpangan kekuasaan yang dilakukan Soeharto. Namun,
menudingnya dengan kolusi dan nepotisme justru merupakan tindakan yang naif,
kalau tidak mau dikatakan bodoh. Tidak ada panggung ekonomi dan politik yang
bebas dari kolusi dan nepotisme. Persoalannya ialah cara dan hasilnya. Jika
kolusi dan nepotisme merupakan sebuah sistem, analisis persoalannya terletak
pada sistem apa dan sarana apa yang dipakai para pelaku.
Posisi patron
Dari era Yunani kuno hingga
kehadiran ajaran Islam, dan kemudian manggungnya peradaban Barat, sistem
ekonomi dan politik merupakan pemicu kelahiran kolusi dan nepotisme yang
kemudian memberi ruang korupsi atau memperkaya diri dan kalangan sendiri. Di
era Yunani kuno, kolusi dan nepotisme digunakan untuk mempertahankan posisi
patron (pemegang) kekuasaan dan kekayaan sehingga klien (kaum marginal dan
rakyat jelata) tetap dalam posisinya. Kalaupun terjadi mobilitas vertikal atau
kenaikan kelas dari kalangan bawah, baik karena kekayaan maupun karena jabatan,
hal itu tetap dalam ruang persetujuan atau sepengetahuan kalangan patron
sebagai kelas atas. Pada saat ajaran Islam datang, kolusi dan nepotisme
dipatahkan oleh kejujuran, sikap baik atas keinginan menegakkan ajaran,
keterampilan, kecerdasan, dan perilaku tegas dan tangguh terhadap musuh.
Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan anaknya
mengembalikan keuntungan yang diraih dari perniagaan hanya disebabkan pembeli
mengetahui bahwa si penjual merupakan anak khalifah, sekaligus sang anak
menyebutkan siapa dirinya. Di peradaban Barat, yang lebih diutamakan ialah
kekuatan, kecerdasan, dan keterampilan. Itu disebabkan hampir semua model
berpikir gaya Barat menyisakan masalah informasi asimetri demi memenuhi hasrat
materi. Dalam kajian epistemologi spiritualisme, informasi asimetri dekat
sekali dengan ketidakjujuran. Maka, hingga kini model Barat gagal mengatasi
korupsi, terutama dalam konteks ketidakjujuran dan keserakahan.
Di Indonesia, soal ini sudah muncul sejak era kerajaan di
Jawa, Sulawesi, dan tersebar di kepulauan Nusantara. Oleh Mochtar Lubis,
masalah itu disebut sebagai bangsa munafik. Inilah yang sedang kita saksikan
sekarang. Dari soal Bank Century, kasus Hambalang, hingga masalah Bunda Putri,
yang katanya orang Cilimus, menunjukkan bahwa problem KKN sudah menggurita dan
membudaya.
Yang tidak habis pikir ialah bagaimana mungkin mereka para
pejuang reformasi dan menyebut diri sebagai reformis, justru sekarang
berperilaku politik munafik. Jika hal demikian dituding karena orangnya, dan
mereka masih membela diri bahwa sistem demokrasi tidak demikian dan kondisi
sekarang, merupakan bukti tidak murninya penerapan pemikiran demokrasi Barat.
Perhatikan, bagaimana informasi asimetri atas sistem
demokrasi yang kita terapkan. Pada artikel `Lima Skenario 2014', saya
menyebutkan bahwa selain seluruh kegiatan politik adalah transaksional material
dan nyaris menihilkan bangun kepercayaan sosial dan politik yang berpijak pada
modal sosial dan modal kultural, maka sistem ekonomi pun membenarkan informasi
asimetri dalam basis persaingan (pertempuran informasi dan modal).
Penggantian sasaran
Pada kasus Atut, posisi Tubagus Hasan Shohib yang jawara
merupakan modal untuk masuk ke panggung pemilu. Hasil pemilu melahirkan
kekuatan ekonomi baik di sek tor pemerintahan ataupun di level pengusaha.
Akumulasinya ialah dinasti politik pada pendayagunaan modal sosial ke
suprastruktur politik lalu ke ekonomi. Sementara itu, SBY dan elite politik
lainnya mendayagunakan infrastruktur politik yang merasuk ke suprastruktur
politik. Di jalan raya, hal itu dipertontonkan dengan vulgar oleh polisi, kaum
politisi yang berkuasa, atau kaum berpunya yang membayar polisi untuk
pengawalan.
Saya bisa mengerti kenapa kemudian Raffles penulis buku Java mengatakan bahwa kaum bangsawan dan
para petinggi istana di tanah Jawa mudah ditundukkan, dan itu tidak perlu
dengan senjata. Cukup memberikan hadiah kepada pemegang kekuasaan. Kalau
pemegang kekuasaan tidak bisa disuap atau diberi gratifikasi, istri, anak,
keponakan, sepupu, ipar, dan kerabat lainnya akan menjadi sasaran penerima hadi
ah. Bukankah sekarang ini hal itu pun terjadi ?
Ini menunjukkan kita belum beranjak dari persoalan
mendasar; politik munafik. Yang berganti cuma pelakunya, sedangkan nilai-nilai
dasarnya tetap sama. Itu sebabnya pemimpin bangsa ini begitu mudah menyerahkan
harkat dan martabat bangsa ke tangan pemodal asing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar