Jumat, 18 Oktober 2013

Politik Dinasti Adalah Politik Munafik

Politik Dinasti Adalah Politik Munafik
Ichsanuddin Noorsy  ; Pakar Ekonomi dan Kebijakan publik
MEDIA INDONESIA, 16 Oktober 2013


MENCUATNYA isu politik dinasti melalui Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mendorong banyak kalangan melihat politik dinasti yang dibangun elite politik lainnya. Walaupun dinasti Ratu Atut dibangun melalui kejawaraan ayahnya, Tubagus Hasan Shohib yang wafat beberapa tahun lalu, ‘hasilnya’ bisa dilihat masyarakat. Misalnya 200 sertifikat tanah di berbagai lokasi dan 11 mobil mewah yang tersimpan di garasi di Jalan Denpasar, Kuningan, rumah Tubagus Chaery Wardhana, adik Atut. Atau tersebarnya kekayaan Ratu Atut di beberapa tempat, termasuk di Bandung. Masyarakat sudah lama tahu akan hal ini. Lalu, prasangka yang terbangun ialah kekayaan yang didapat itu dicapai melalui runtunan dinasti politik.
Jika Tubagus Hasan Shohib sukses membangun dinasti politik melalui pemilu, beberapa elite lain membangun dinasti melalui kekuasaannya di partai. Orang kemudian melihat Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, SBY, dan Prabowo Subianto.

Saya teringat peristiwa 19971998, ketika Soeharto dijatuhkan oleh isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Orang menyebutnya dengan dinasti Cendana. Bukankah isu itu sekarang menjadi lebih dahsyat dan meluas? Lalu kita pun teringat bagaimana keluarga Rothschild membangun dinasti bisnis di Inggris dan kemudian memengaruhi kerajaan serta pemerintahan Inggris.

Demikian juga di AS dengan keluarga Rockefeller, dinasti Kennedy, dinasti Bush, atau kelompok usaha Halliburton (Dick Cheney). Hal yang sama bisa dilihat di Singapura, bagaimana Lee Kuan Yew membangun dinasti walau dengan pendekatan ‘kompetensi’. Apalagi di China atau di negara-negara yang berbasis kerajaan. Lantas, kenapa banyak kalangan terpelajar saat reformasi begitu renyah mengunyah isu KKN? Jawabannya karena mainstream ekonomi, politik, media massa, dan dunia pendidikan berkiblat ke Barat, khususnya ke AS. Kiblat itu meyakini isu KKN yang disajikan Barat bahwa Soeharto dengan keluarga dan kekuatan politiknya telah melakukan KKN dan mengakibatkan kerusakan negeri adalah benar.

Sebagai wartawan era 19821989, saya melihat dan menyaksikan betapa banyak penyimpangan kekuasaan yang dilakukan Soeharto. Namun, menudingnya dengan kolusi dan nepotisme justru merupakan tindakan yang naif, kalau tidak mau dikatakan bodoh. Tidak ada panggung ekonomi dan politik yang bebas dari kolusi dan nepotisme. Persoalannya ialah cara dan hasilnya. Jika kolusi dan nepotisme merupakan sebuah sistem, analisis persoalannya terletak pada sistem apa dan sarana apa yang dipakai para pelaku.

Posisi patron

Dari era Yunani kuno hingga kehadiran ajaran Islam, dan kemudian manggungnya peradaban Barat, sistem ekonomi dan politik merupakan pemicu kelahiran kolusi dan nepotisme yang kemudian memberi ruang korupsi atau memperkaya diri dan kalangan sendiri. Di era Yunani kuno, kolusi dan nepotisme digunakan untuk mempertahankan posisi patron (pemegang) kekuasaan dan kekayaan sehingga klien (kaum marginal dan rakyat jelata) tetap dalam posisinya. Kalaupun terjadi mobilitas vertikal atau kenaikan kelas dari kalangan bawah, baik karena kekayaan maupun karena jabatan, hal itu tetap dalam ruang persetujuan atau sepengetahuan kalangan patron sebagai kelas atas. Pada saat ajaran Islam datang, kolusi dan nepotisme dipatahkan oleh kejujuran, sikap baik atas keinginan menegakkan ajaran, keterampilan, kecerdasan, dan perilaku tegas dan tangguh terhadap musuh.

Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan anaknya mengembalikan keuntungan yang diraih dari perniagaan hanya disebabkan pembeli mengetahui bahwa si penjual merupakan anak khalifah, sekaligus sang anak menyebutkan siapa dirinya. Di peradaban Barat, yang lebih diutamakan ialah kekuatan, kecerdasan, dan keterampilan. Itu disebabkan hampir semua model berpikir gaya Barat menyisakan masalah informasi asimetri demi memenuhi hasrat materi. Dalam kajian epistemologi spiritualisme, informasi asimetri dekat sekali dengan ketidakjujuran. Maka, hingga kini model Barat gagal mengatasi korupsi, terutama dalam konteks ketidakjujuran dan keserakahan.

Di Indonesia, soal ini sudah muncul sejak era kerajaan di Jawa, Sulawesi, dan tersebar di kepulauan Nusantara. Oleh Mochtar Lubis, masalah itu disebut sebagai bangsa munafik. Inilah yang sedang kita saksikan sekarang. Dari soal Bank Century, kasus Hambalang, hingga masalah Bunda Putri, yang katanya orang Cilimus, menunjukkan bahwa problem KKN sudah menggurita dan membudaya.

Yang tidak habis pikir ialah bagaimana mungkin mereka para pejuang reformasi dan menyebut diri sebagai reformis, justru sekarang berperilaku politik munafik. Jika hal demikian dituding karena orangnya, dan mereka masih membela diri bahwa sistem demokrasi tidak demikian dan kondisi sekarang, merupakan bukti tidak murninya penerapan pemikiran demokrasi Barat.

Perhatikan, bagaimana informasi asimetri atas sistem demokrasi yang kita terapkan. Pada artikel `Lima Skenario 2014', saya menyebutkan bahwa selain seluruh kegiatan politik adalah transaksional material dan nyaris menihilkan bangun kepercayaan sosial dan politik yang berpijak pada modal sosial dan modal kultural, maka sistem ekonomi pun membenarkan informasi asimetri dalam basis persaingan (pertempuran informasi dan modal).

Penggantian sasaran

Pada kasus Atut, posisi Tubagus Hasan Shohib yang jawara merupakan modal untuk masuk ke panggung pemilu. Hasil pemilu melahirkan kekuatan ekonomi baik di sek tor pemerintahan ataupun di level pengusaha. Akumulasinya ialah dinasti politik pada pendayagunaan modal sosial ke suprastruktur politik lalu ke ekonomi. Sementara itu, SBY dan elite politik lainnya mendayagunakan infrastruktur politik yang merasuk ke suprastruktur politik. Di jalan raya, hal itu dipertontonkan dengan vulgar oleh polisi, kaum politisi yang berkuasa, atau kaum berpunya yang membayar polisi untuk pengawalan.

Saya bisa mengerti kenapa kemudian Raffles penulis buku Java mengatakan bahwa kaum bangsawan dan para petinggi istana di tanah Jawa mudah ditundukkan, dan itu tidak perlu dengan senjata. Cukup memberikan hadiah kepada pemegang kekuasaan. Kalau pemegang kekuasaan tidak bisa disuap atau diberi gratifikasi, istri, anak, keponakan, sepupu, ipar, dan kerabat lainnya akan menjadi sasaran penerima hadi ah. Bukankah sekarang ini hal itu pun terjadi ?


Ini menunjukkan kita belum beranjak dari persoalan mendasar; politik munafik. Yang berganti cuma pelakunya, sedangkan nilai-nilai dasarnya tetap sama. Itu sebabnya pemimpin bangsa ini begitu mudah menyerahkan harkat dan martabat bangsa ke tangan pemodal asing. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar