Jumat, 18 Oktober 2013

Menghindari Krisis Pangan

Menghindari Krisis Pangan
Posman Sibuea  ;   Guru Besar Tetap di Departemen Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumut, Ketua PATPI Cabang Sumut
MEDIA INDONESIA, 17 Oktober 2013


DALAM memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) setiap 16 Oktober, tahun ini Food and Agriculture Organization (FAO) mengangkat tema Sustainable food systems for food security and nutrition. Secara nasional pemerintah meng usung tema Optimalisasi sumber daya lokal menuju kemandirian pangan.

Kedua tema itu saling melengkapi. Rohnya ialah untuk menghindari bom waktu krisis pangan. Ketika pasokan pangan tak lagi mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk, krisis pangan akan menjalar dari satu negara ke negara lain, dan ancamannya ibarat bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Data PBB menyebutkan penghuni bumi terus bertambah 200 ribu jiwa per hari. Pada 2050, jumlahnya diprediksi mencapai 9 miliar jiwa atau bertambah 2 miliar dari kondisi saat ini, terutama pada populasi urban, khususnya Asia, dengan pertambahan jumlah penduduk 1,4 miliar. Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dunia mendorong peningkatan kebutuhan pangan. 

Persoalannya, bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, sedangkan luas lahan pertanian pangan yang selama ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan makin menyusut.

Alih fungsi lahan

Krisis pangan digambarkan sebagai the silent tsunami, gelombang mematikan yang secara diam-diam membunuh jutaan penduduk miskin karena tidak mampu mengakses pangan yang harganya kian melonjak, dan membuat banyak negara kerepotan. Menurut perhitungan para ahli ekonomi, sampai akhir 2012 kenaikan harga pangan mencapai 40%-60%. Dampak kenaikan itu sangat dirasakan masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung. Sekitar 70% pendapatan mereka terkuras untuk membeli makanan.

Booming harga komoditas pangan sekarang ini, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), dipicu sejumlah faktor, baik yang sifatnya permanen maupun temporer. Faktor tersebut yakni penggalakan program biofuel, perubahan iklim global, pesatnya alih fungsi lahan, dan lambatnya penganekaragaman konsumsi pangan. Alih fungsi lahan pertanian belakangan ini berlangsung semakin cepat. Pada periode 1992-2002, laju tahunan konversi masih seputar 110 ribu hektare, tetapi 10 tahun terakhir melonjak secara signifi kan menjadi 150 ribu ha per tahun.

Saat ini lahan perkebunan kelapa sawit sudah lebih luas daripada lahan pertanian pangan, mencapai 9 juta ha. Sementara itu, luas sawah, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN), hanya 8,9 juta ha. Itu terdiri dari 7,3 juta ha beririgasi dan 1,6 juta ha nonirigasi. Sejumlah pemerintah daerah masih berniat mengonversi lahan pertanian yang masih ada. Jika keinginan itu terealisasi, akan menjadi ancaman serius bagi masa depan ketahanan pangan. Laju konversi lahan yang kian pesat menjadi persoalan besar bangsa ini karena dapat memicu defi sit bahan pangan, dan ujung-ujungnya menambah jumlah angka kelaparan dan gizi buruk.

Regulasi peruntukan lahan sudah banyak dibuat. Tetapi, seperti biasa, peraturan seperti ini mandul ketika harus berhadapan dengan pemilik modal untuk konversi lahan pertanian menjadi keperluan komersial lain seperti perumahan, industri perkebunan, dan pertambangan. Usaha pertanian dinilai kalah profit ketimbang sektor perkebunan dan pertambangan. Patut disadari, berkurangnya lahan pertanian tentu akan mereduksi aktivitas di sektor pertanian. Kebutuhan tenaga kerja akan menyusut secara bermakna dan menetaskan penganggur-penganggur baru di perdesaan yang mendorong laju urbanisasi.

Langkah Solusi

Guna menghindari bom waktu krisis pangan, dua langkah solusi berikut paling tidak patut dipertimbangkan untuk dilakukan. Pertama, penyediaan lahan abadi pertanian. Pemerintah harus segera menyiapkan dan menambah luas lahan pertanian sehingga bisa mendukung pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Ketersediaan lahan pertanian merupakan keniscayaan serta dibutuhkan untuk mencapai dan mempertahankan target swasembada komoditas pangan, terutama beras, jagung, dan kedelai.

Berdasarkan perkiraan, jumlah penduduk Indonesia pada 2030 mencapai 425 juta jiwa. Dengan konsumsi beras per kapita 139,15 kg, dibutuhkan sedikitnya 59 juta ton beras atau setara dengan 96 juta ton gabah kering giling (GKG). Untuk mencapai produksi sebanyak itu, dengan rata-rata produktivitas lahan nasional 4,7 ton per ha dan indeks pertanaman saat ini 1,6 (frekuensi penanaman 1,6 kali dalam setahun), dibutuhkan lahan sawah 12,8 juta ha. Belum lagi kebutuhan jagung, kedelai, singkong, dan ubi jalar yang juga dipastikan terus meningkat. Sedikitnya harus ada 15 juta ha lahan yang tidak boleh diutakatik atau dialihfungsikan ke nonpertanian pangan.

Selain itu, pertambahan lahan pertanian pangan harus seiring dengan perlindungan terhadap petani. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi selama ini disebabkan sistem ekonomi nasional yang mendudukkan sektor pertanian pangan pada posisi yang kurang menguntungkan jika disandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Langkah kedua yaitu percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, perlu langkah kebijakan untuk jaminan ketersediaan suplai pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman dikonsumsi. Sumber pangan itu harus kompetitif dan mudah diakses serta dapat memperbaiki kualitas lingkungan. Tuntutan itu dapat dipenuhi dengan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal.

Penciptaan dan penyediaan lahan pertanian pangan abadi harus didukung dengan kegiatan penganekaragaman konsumsi pangan berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis bahan pangan. Meskipun program penganekaragaman konsumsi pangan sudah dimulai sejak era Orde Lama dan hingga kini masih tetap dilaksanakan, keberhasilan program itu masih lambat. 

Belakangan ini terjadi penurunan konsumsi beras sebanyak 1,5% per tahun, tetapi perubahan itu diduga karena konsumen beralih ke pangan berbahan baku terigu, seperti mi instan dan roti.

Minimnya penguasaan teknologi dan inovasi pengolahan pangan lokal nonberas menjadikan produk olahan umbi-umbian, sagu, dan pisang kalah bersaing dengan produk pangan berbasis terigu. Mesin percepatan penganekaragaman konsumsi pangan patut terus dihidupkan. Hal itu bisa dimulai dengan sebuah upaya sederhana, misalnya, dalam seminggu ada satu hari warga tidak makan nasi sama sekali (one day no rice). Program itu perlu dikampanyekan lebih konkret di lapangan, yakni mengajak dan menyapa publik bahwa makan pagi, siang, atau malam tak selalu harus dengan nasi atau roti dari terigu. Biar disambut positif, gerakan ini harus persuasif dan bijak sehingga seluruh masyarakat mau diajak terlibat untuk menghindari bom waktu krisis pangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar