|
KEBIJAKAN mobil murah ramah
lingkungan terus menuai kontroversi. Kebanyakan memperdebatkan efeknya pada
kemacetan, industrialisasi hilir, dan penggunaan BBM. Tak satu pun menyinggung
tentang risiko pembangunan infrastruktur pendukungnya. Apalagi menyinggung
logam, bahan penyusun utama mobil murah serta jejak ekologi pengerukannya.
Mobil membutuhkan
banyak sekali logam. The World Steel
Association menyebutkan, sebanyak 55 persen dari berat mobil berasal dari
baja, lalu aluminium dan tembaga. Bahan dasar baja adalah besi ditambah karbon,
mangan, dan nikel untuk meningkatkan kekerasan dan kekuatannya.
Logam lainnya
timbal dalam baterai, timah untuk solder, dan seng untuk pelapis logam. Jika
berkendaraan hibrida, kobalt dalam baterai bisa mencapai 2,5 kilogram.
Rata-rata mobil di Amerika Serikat (2007) beratnya 1,8 ton dan sekitar 1,2 ton
baja dan aluminium.
Jejak perusakan global
Logam-logam itu
ditambang dan diekstrak dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tanah
Air kita dibongkar dan dijual untuk memasok bahan mentah negara-negara
industri.
Pengerukan ini
telah melahirkan beragam masalah karena sifatnya yang rakus lahan, air dan
energi, serta menghasilkan limbah beracun dalam skala gigantik.
Celakanya,
pengurusan industri yang berisiko besar ini seperti tanpa rencana. Buktinya,
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengumumkan, 75 persen dari lebih
8.000 izin tambang tumpang tindih dengan peruntukan lainnya (2011). Akibatnya,
tak hanya konflik lahan, pemiskinan, perusakan lingkungan, tetapi juga
pelanggaran HAM.
Salah satunya
penambangan pasir besi yang membongkar pesisir Jawa hingga Sumatera. Di Jawa
Barat hingga Jawa Timur, pasir besi digali sepanjang pesisir Sukabumi, Garut,
Tasikmalaya, hingga Lumajang dan Jember.
Pada Juli lalu,
setidaknya lima warga ditembak Brimob saat ratusan warga beraksi menolak
penambangan di Cianjur selatan.
Di Sulawesi
Tengah, Bupati Morowali justru memberikan izin usaha pertambangan nikel seluas
145 hektar kepada PT Gema Ripah Pratama yang mengupas hutan Cagar Alam
Morowali.
Pulau-pulau
kecil juga dibongkar untuk memenuhi pasokan 80 persen timah dunia. Walhi
memperkirakan 72 juta meter kubik limbah tailing dihasilkan dari sekitar 73 kapal
isap yang beroperasi di perairan Pulau Bangka.
Setelah kawasan
daratnya bertebaran lubang tambang yang menganga, kini giliran lautnya yang
dirusak.
Separuh terumbu
karang Provinsi Bangka Belitung rusak karena memasok kebutuhan timah dunia.
Jelas mobil ini
”murah” karena dibuat dari bahan tambang dan pabrik yang merampok dan mencemari
wilayah hidup rakyat, dengan keringat para buruh berupah murah.
Perubahan iklim
Tentu saja
mobil murah tak berhenti pada kebutuhan logam. Ia butuh pabrik pengolahan
logam, pabrik mobil, jalan tol, tempat parkir, dan bahan bakar fosil. Perlu
infrastruktur pendukung.
Tidak kebetulan
jika Pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali yang baru
berakhir, topik utamanya infrastruktur dan pendanaannya. Pertemuan Menteri
Keuangan APEC 2013 pada bulan lalu bahkan menyepakati Indonesia menjadi pilot project Public Private
Partnerships (PPP).
Para Menteri itu
juga menolak segala bentuk proteksi dan terus menjaga terbukanya pasar.
Artinya, hambatan terhadap investasi harus dihilangkan.
Indonesia telah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Kepentingan Umum. Komnas HAM menyebut UU ini berorientasi penggusuran lahan
rakyat dan berpotensi melanggar HAM.
Belum lagi
deretan infrastruktur yang dibutuhkan mobil murah itu berbasis energi fosil.
Penggunaan BBM tentu akan meningkat. Padahal, minyak bumi dan batubara menjadi
kontributor utama pemanasan global dan perubahan iklim.
Para menteri
dan wakil rakyat pendukung mobil murah ini lupa, Indonesia terikat janji
menurunkan emisi karbon hingga 26 persen pada 2020.
APEC lebih
parah. Buat mereka, perubahan iklim hanyalah pupur. Meski mengakui bahwa
perubahan iklim berdampak yang signifikan terhadap lingkungan, kesejahteraan
sosial, dan ekonomi, APEC tak mengagendakan penurunan emisi karbon.
Tak heran,
kontributor utama gas rumah kaca pada 2010 dan 2011 adalah negara-negara yang
mendominasi APEC, macam Jepang, Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Dalam
bukunya, Soil Not Oil, Vandana
Shiva (2011) mengingatkan kita tentang India yang telah memulai program mobil
murah sejak 2006, jauh sebelum pasar mobil di Eropa, Jepang, dan Amerika Utara,
stagnan dan akhirnya menggeser mobil murah dan infrastruktur pendukungnya ke
Asia.
Maka, jika para
pengurus negeri ini tak segera mempertegas komitmen melindungi rakyat dan
berhenti menyediakan segala persyaratan bagi akumulasi modal lewat berbagai
kebijakan dan kerja sama luar negeri macam APEC, cerita ”mobil murah ramah lingkungan” ini bisa menjadi bumerang.
Mobil murah
seolah untuk rakyat, padahal sejatinya mencederai komitmen bangsa terhadap
pembangunan berwawasan lingkungan dan penurunan emisi global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar