Jumat, 18 Oktober 2013

Kinerja DPR Menjelang Pemilu 2014

Kinerja DPR Menjelang Pemilu 2014
Iwan Fauzi  ;  Praktisi Politik dan Mahasiswa Program Doktoral UI
SINAR HARAPAN, 17 Oktober 2013


Kinerja DPR terutama di bidang legislasi dinilai buruk. Pasalnya, sekitar 90,5 persen anggota DPR periode 2019-2014 kembali mencalonkan dirinya pada Pemilu 2014. Target yang mereka susun tidak mencapai target sesuai Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Selain itu, tingkat kehadiran DPR rendah saat membahas RUU.

Artinya, wakil rakyat mulai diam-diam sibuk menyosialisasikan dirinya di masyarakat menjelang Pemilu 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi dan sering meninggalkan tugas pentingnya di gedung parlemen.
Tampaknya masyarakat tidak begitu kaget tatkala mendengar kabar wakil rakyat menjadi topik hangat soal kemalasan kerja. Maklum saja, wakil rakyat sering menimbulkan stigma buruk. Perilaku mereka suka menyimpang dari norma tanggung jawab sebagai pejabat publik. Tingkah mereka selalu menjadi sorotan, bahkan cenderung mengecewakan, baik di dalam maupun di luar gedung parlemen.

Sebagai contoh, pembahasan RUU Pilpres 2014 berbulan-bulan tak kunjung tuntas akibat kepentingan politik, sehingga kesan yang ditunjukkan lebih mementingkan diri dan golongan mereka sendiri ketimbang kepentingan publik.

Bahkan bila ditelusuri, tak jarang kebijakan yang mereka buat acap kali mencengangkan, bahkan ada yang bertentangan dengan keinginan rakyat. Selain itu, DPR akrab dengan kasus korupsi, sejumlah lainnya terlibat skandal seks, perceraian, kunjungan kerja tak jelas, dan bolos kerja.

Sebenarnya, wakil rakyat suka bolos bukan cerita baru. Masyarakat yang merasa dirinya “diwakilkan” kecewa bila melihat wakil rakyatnya bolos kerja. Akibat banyak yang bolos, kinerja akan amburadul maka dampaknya masyarakat luas juga yang dirugikan.

Memang menjadi wakil rakyat adalah impian banyak orang. Di samping gaji yang cukup menggiurkan, ia juga mendapat duit tunjangan, dan fasilitas lainnya. Wakil rakyat merupakan pejabat negara, suka diberi privilege yang tidak tersurat mendapat kemudahan VIP (very important person).

Jangan heran para birokrat juga sungkan berselisih paham dengan DPR. Jangan-jangan kedekatan wakil rakyat dengan atasan bisa berimbas sang birokrat dapat “ganjaran”. Bahkan, tak jarang Pak Polisi pun sungkan menilang!

Namun sebaliknya, keistimewaan yang diperoleh itu sungguh tidak sebanding dengan kinerja wakil rakyat. Padahal UU No 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, bertugas fungsi legislasi (membuat peraturan/UU), anggaran, dan pengawasan.

Ketiga fungsi tersebut memiliki implikasi serius. Di dalamnya terdapat kepentingan masyarakat luas, misalnya tidak pantas tatkala membahas RUU hanya dihadiri sebagian kecil wakil rakyat. Dikhawatirkan, individu atau kelompok tertentu yang berinisiatif memainkan RUU tersebut sesuai kepentingannya.

Selayaknya pula RUU dibahas lintas fraksi serta mengundang pakar dan pemangku kepentingan (stakeholder). Jadi agak aneh bila penuhnya kehadiran wakil rakyat “Yang Terhormat” semata-mata urusan kunjungan kerja, sehingga kesan pelesir lebih mencuat dan ketika perdebatan pembahasan RUU banyak yang bolos.

Perilaku yang sama juga ditunjukkan waktu penyusunan anggaran (APBN). Uniknya, gedung dewan mendadak ramai. Kontradiktif dengan kehadiran dewan seperti biasanya.

Selain stakeholder, beberapa orang “tak dikenal” tiba-tiba muncul memegang map dan beberapa wakil rakyat yang tidak terlibat dalam urusan anggaran juga hadir di luar ruang. Entahlah, mungkin maksudnya “mengawal aspirasi” atau iktikad lainnya. Yang jelas, bicara anggaran berarti urusan duit!

Jika dicermati, ada beberapa penyebab bolosnya wakil rakyat, di antaranya tidak siapnya seorang wakil rakyat dengan iklim kerja yang terjadi di gedung dewan. Di samping itu, mesti tanggap dengan perkembangan masyarakat yang terjadi, ia juga harus mau belajar, tidak boleh malas membaca perubahan peraturan dan/atau undang-undang.

Kepintaran dalam politik praktis tidak selalu berbanding lurus dengan piawai menyalurkan aspirasi rakyat dan meregulasi peraturan atau undang-undang. Rangkap jabatan sebagai pengurus partai juga faktor perancu (confounding factor). Menjadi pengurus partai juga repot, apalagi ditambah beban legislatif. Bila keduanya sekaligus dijalankan, memang perlu pengaturan waktu ekstra agar tidak bolos kerja.

Sayangnya, acap kali kita memergoki wakil rakyat ongkang-ongkang kaki di kafe atau mal ketika jam kerja sibuk dengan urusan pribadinya, sehingga keadaan yang sulit dimaafkan adalah soal malas.

Kalau sudah begini, memang perlu diterapkan mesin absen dan secara periodik Badan Kehormatan mengumumkan tingkat kehadiran wakil rakyat ke publik. Tujuannya agar masyarakat tidak lagi memilih wakilnya yang pemalas dalam Pemilu 2014 mendatang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar