|
Dari
sebuah peristiwa historis dan heroik, kita telah mengenal kurban sebagai
perintah Allah SWT yang cukup tua. Ia hadir juga secara filosofis sebagai
bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya, kesabaran, dan pengujian iman. Namun,
makna tersebut belum seluruhnya menjadi pemahaman masyarakat secara umum. Seringkali
orang justru memahami ibadah rutin ini berhenti pada kebiasaan semata, atau
pencapaian kesalehan pribadi, sementara unsur kesalehan yang lebih besar
menjadi terlupakan. Apa itu kesalehan yang lebih besar? Tentu, kesalehan yang
memiliki daya jangkau dan daya tangkap lebih luas, lebih dari sekadar unjuk
ketaatan pribadi di mata Tuhan. Meminjam bahasa Mohammad Sobary (Kesalehan
Sosial, LKiS, 2007) ada dua jenis kesalehan yang sering dipahami dalam Islam,
yaitu kesalehan individu dan kesalehan sosial.
Kesalehan
individu terlihat dari keseriusan seseorang dalam menjalankan ibadah keagamaan
yang bersifat individual seperti shalat, zikir, wiridan, haji. Sementara
kesalehan sosial adalah semua jenis kebajikan yang ditujukan kepada
(kemanfaatan) manusia, misalnya, bekerja untuk memperoleh nafkah bagi keluarga.
Dalam bahasa Sobary lainnya, kesalehan adalah orang yang menyeimbangkan ushalli
(shalat) dengan usaha.
Secara
etimologis, kurban diartikan sebagai pendekatan atau mendekatkan. Sedangkan
secara terminologis adalah penyerahan diri kepada Allah SWT demi mencapai
derajat keridlaan-Nya. Dasar ibadah kurban telah termaktub dalam Al-Qur'an,
"Sesunggguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka
dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah..." (QS. Al Kautsar:
1-2). Merunut sejarah, kita mengenal ibadah kurban sebagai perintah Allah SWT
kepada Nabi Ibrahim AS (melalui mimpi yang berulang-ulang sampai tiga kali)
agar menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. "Wahai, Anakku!" Ibrahim
berkata pada Ismail, "Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka, pikirkan apa pendapatmu!" (QS Ash-Shaaffat: 102).
Akhir
cerita, Tuhan menggantikan Ismail dengan seekor gibas (domba) untuk
dikorbankan. Kemudian, dalam konteks keagamaan (baca: fiqih), kurban diwujudkan
dengan menyembelih hewan tertentu saat tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah
dan kemudian dagingnya dibagikan kepada orang lain untuk dimanfaatkan dalam
keadaan belum dimasak.
Di
sinilah relasi hamba dan Tuhannya terjalin lewat makna pendekatan diri paling
puncak (kurban) dan dialog dengan Tuhan dalam menangkap nilai dan sifat-sifat
ketuhanan. Ini jelas sesuai dengan logika bahasa kurban, yang berasal dari
Qaraba dengan bentuk isim mashdar 'qurbanan', yang berarti dekat. Karena itu,
tujuan berkurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah).
Sementara
dalam hubungan sesama manusia (horizontal), ritual yang telah berusia cukup tua
ini mengajarkan manusia untuk saling berbagi, merontokkan sifat-sifat buruk
seperti pelit, kikir, tamak, serakah, dan bathil dalam kehidupan sosial.
Sifat-sifat tersebut harus diganti dengan sifat dermawan, peduli, saling
menolong, dan berkasih sayang terhadap orang lain. Namun pertanyaannya,
benarkah semangat ritualitas kurban betul-betul mendarah daging dalam nurani
dan jiwa kita? Jangan-jangan, peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di sekitar
kita betul-betul menjawab pertanyaan tersebut, di mana sifat kikir, tamak,
serakah, dan perilaku korup justru bertambah menjadi penyakit yang akut.
Ketamakan
terhadap harta dan kebendaaan yang bersifat materi semakin menjadi cermin
kehidupan sebagian orang. Sehingga idealitas ibadah kurban semakin jauh dari
harapan. Jika kemudian mereka membalas kerakusan harta itu dengan mendermakan
harta mereka, hanya untuk menutupi sifat korup-nya dengan sikap berkorban atas
harta yang dimilikinya. Mencermati realitas tersebut, penulis merujuk pada
pemikiran budayawan Ahmad Tohari yang dalam tulisannya mengutip Almarhum Cak
Nur bahwa keberagamaan kita masih sangat didominasi oleh penghayatan
simbolistik tak terkecuali terhadap ritus pemotongan hewan kurban. Jelasnya,
ritus ini yang seharusnya dihayati hanya sebagai simbol, malah dianggap sebagai
makna alias tujuan. Maka ketika orang sudah menjalankan perintah potong hewan
kurban, selesailah semuanya. Karena menganggap sebagai tujuan, dia tidak merasa
perlu mencari makna yang tersembunyi di balik simbol potong hewan kurban itu.
"Tidak
ada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Hari Nahr (Idul
Adha) yang lebih dicintai Allah selain mengalirkan darah (menyembelih hewan
kurban). Maka berbahagialah kamu karenanya." (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah
dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih). Dengan demikian, berkurban adalah salah
satu bukti kecintaan kita kepada Allah SWT sebagaimana hadits di atas. Cinta
dalam hal ini tentu membutuhkan bukti dan pengorbanan. Allah SWT berfirman,
"...adapun orang yang beriman, maka ia sangat cinta kepada
Allah..."(QS. Al Baqarah 165). Jadi, kurban yang makna dasarnya persembahan
untuk mendekatkan diri (kepada Allah) itu merupakan upaya kita untuk menggapai
kasih sayang-Nya.
Sampai
di sini, kurban tentu tidak berhenti pada ritualitas penyembelihan daging hewan
yang kemudian dibagikan kepada orang lain. Status "Ismail" saat itu
adalah anak Ibrahim yang diperintahkan untuk disembelih. Namun saat ini
"Ismail-Ismail" itu ada pada wujud kepemilikan jabatan, kedudukan,
harta, harga diri, profesi, termasuk mental keserakahan dan korup yang
menguasai manusia. Kiasan "Ismail" bisa jadi merupakan perilaku yang
seringkali menutup mata hati manusia, membutakan mata dan pikiran mereka
terhadap hidayah dari Allah SWT. Oleh karenanya, kehadiran kurban (Idul Adha)
ini penting dalam melihat seberapa jauh kita telah mengorbankan
"Ismail" demi mempertahankan nilai-nilai keilahian. Bukankah itu
sebenar-benarnya Kurban? Wallahua'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar