Jumat, 18 Oktober 2013

Optimalkan Pangan Tradisional

Optimalkan Pangan Tradisional
Harjoko Sangganagara; Dosen STIA Bagasasi, Doktor Administrasi UPI, Bandung
KORAN JAKARTA, 17 Oktober 2013


Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober sebaiknya dijadikan momentum untuk menata produksi pangan nasional dengan berbagai terobosan. Peringatan itu dimulai sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB No 1/1979 di Roma, Italia. Sejak 1981, disepakati seluruh negara anggota FAO untuk memperingati HPS dengan berbagai aksi nyata terkait dengan masalah pangan.

Peringatan HPS di Indonesia tahun ini menekankan pentingnya kepedulian masyarakat terhadap penyediaan pangan yang cukup dan bergizi. Di samping itu, juga perlunya membentuk ketahanan pangan nasional yang berbasis sumber daya lokal.

Keanekaragaman pangan bisa menjadi katup pengaman krisis pangan dunia dengan substitusi pengganti gandum dari tanaman umbi-umbian yang jenisnya sangat banyak. Jika sukses, Indonesia tidak perlu terus-menerus tersandera masalah produk pangan impor. Pada saat ini, pangan tradisional menemukan momentum emas untuk unjuk gigi. Banyak orang merindukan pangan atau makanan tradisional. Kondisi tersebut mestinya dimanfaatkan untuk memperbaiki mutu dan kemasan makanan tradisional sehingga lebih adaptif dengan selera pasar.

Selama ini, industri makanan tradisional secara nyata telah memperkuat ketahanan pangan nasional serta berkontribusi yang berarti bagi ekonomi kerakyatan. Makanan tradisional juga mewarnai wisata kuliner yang menjadi pesona berbagai daerah. Sayangnya, produsen makanan tradisional masih sarat masalah, di antaranya kurangnya insentif dan pembinaan agar konsumen terlindungi.

Perhatian pemerintah daerah terhadap produsen makanan tradisional masih sebatas seremonial dan belum ada insentif yang berkelanjutan. Secara harfiah, pengertian tradisional adalah makanan, minuman, dan bahan campuran yang digunakan dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah. Biasanya, makanan tradisional diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat lokal dengan bahan-bahan yang juga diperoleh dari sumber setempat.

Selama ini, usaha untuk menerapkan manajemen mutu bagi usaha makanan tradisional belum optimal sehingga kerap ditolak hanya karena alasan kotor. Penting membangkitkan kesadaran mutu dimulai dengan identifikasi selera konsumen, gagasan konsep produk, bahkan setelah pengiriman pada pembeli. Kesadaran membangun mutu termasuk pula mendengarkan harapan konsumen sehingga terciptanya interaksi dalam sistem manajemen mutu.

Dunia mulai diadang masalah pangan. Meski begitu, belum ada kebijakan luar biasa untuk mengantisipasi krisis pangan. Harusnya ada terobosan esensial, yakni membagikan berbagai macam benih tanaman pangan secara gratis kepada seluruh lapisan rakyat dalam jumlah yang cukup.

Terobosan ini juga untuk mengatasi kesenjangan produktivitas sebab produktivitas pertanian di negara maju dan negara berkembang sangat timpang. Pola pertanian di negara-negara maju memiliki efisiensi tinggi. Kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja juga tinggi, sedangkan di negara-negara berkembang tidak efisien. Tingkat produktivitasnya sangat rendah sehingga hasil yang diperoleh acap kali tidak dapat memenuhi kebutuhan para petaninya sendiri. Maka, antara negara maju dan berkembang muncul kesenjangan produktivitas. Sejak tahun 2000, kesenjangan produktivitas tersebut berkisar 50 banding 1. 

Program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang selama ini dilakukan pemerintah mestinya menyangkut kebijakan untuk membagikan benih secara gratis kepada masyarakat. Apalagi, dana yang terkumpul dari Program GP3K cukup besar. Dari pihak BUMN saja, pada 2011/2012 bersedia mengucurkan hingga 1,5 triliun rupiah. Sebagian dana tersebut mestinya bisa dipakai untuk membangun infrastruktur memproduksi benih bermutu.

Farming

Untuk mengatasi krisis pangan, negeri ini jangan terlalu menggantungkan diri kepada megaproyek yang membutuhkan dana sangat besar, seperti rencana mendirikan BUMN pangan dan membuat food estate. Pembangunan megaproyek tersebut perlu waktu cukup lama dan belum tentu sukses. Sementara itu, kebutuhan rakyat tidak bisa menunggu. Apalagi pembangunan megaproyek bila tanpa penataan corporate farming yang baik justru akan gagal.

Bangsa hendaknya belajar berbagai aspek corporate farming dari negara Brasil yang telah sukses menjadi pengekspor produk pangan terkemuka. Brasil mengekspor kedelai sekitar 40 juta ton setiap tahun ke China. Teknologi pertanian di Brasil juga masih menjunjung tinggi kearifan organik dan lepas dari kebergantungan pada pupuk kimia serta obat-obatan pertanian sejenis insektisida. Brasil berhasil melintasi krisis kapitalisme global karena mampu mewujudkan tata kelola corporate farming sebaik-baiknya. Antara lain menjadikan lembaga koperasi pertanian berperan besar. Pemerintah Brasil juga telah membangun infrastruktur pertanian, pengairan, perhubungan, dan lain-lain guna menunjang kebutuhan corporate farming. 

Dalam mengantisipasi krisis pangan, ada faktor penting yang tidak boleh diabaikan seperti budaya dan usaha pemuliaan benih tanaman. Sayang, budaya dan usaha itu kini semakin tergilas kebijakan impor benih tanaman pangan dari luar negeri. Usaha pemuliaan dan produksi benih mestinya digenjot, mengingat banyak lahan kritis dan terbengkalai. Pekarangan rakyat mestinya bisa menjadi lumbung pangan jika ada cukup benih. Hanya, maukah pemerintah menyediakan benih unggul.

Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya maju dalam rekayasa perbenihan sehingga pemerintah mampu menyediakan benih unggul secara gratis kepada rakyat luas, setidaknya dengan harga murah. Dengan langkah itu, program ketahanan pangan keluarga akan terwujud. Sayangnya, hingga kini, benih belum menjadi prioritas utama. Buktinya, hingga kini, Indonesia masih sangat bergantung pada impor seperti padi hibrida dari China. 

Sudah waktunya pemerintah daerah menggalakkan program optimalisasi atau pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan gizi serta memperkuat ketahanan pangan keluarga. Masih banyak pekarangan rumah rakyat yang dibiarkan kosong karena kesulitan benih tanaman pangan. Dengan tersedianya aneka benih yang dibagikan secara gratis kepada rakyat maka setiap jengkal pekarangan akan produktif. 
Pentingnya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa perkara benih sebenarnya bukan hanya urusan lembaga riset pemerintah atau perguruan tinggi, masyarakat harus pula dilibatkan secara aktif. Tata kelola dan program pemuliaan benih masih memprihatinkan. Akibatnya, ketersediaan benih unggul secara nasional sering kedodoran pada musim tanam. 

Kondisinya semakin runyam karena kini banyak balai benih milik pemerintah tidak berfungsi secara normal karena salah urus. Mestinya beberapa balai benih yang tersebar di daerah, seperti Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, bisa menjadi solusi pengadaan benih unggul. Hasilnya disebarkan kepada masyarakat. 

Namun kenyataannya, balai semacam itu kurang produktif. Mestinya ada insentif dan injeksi permodalan untuk investasi di industri perbenihan. Seperti di Brasil, dari hulu hingga hilir industri benih diberi insentif besar secara kontinu. Apalagi kemajuan teknologi benih transgenik berkembang pesat. Sementara itu, usaha benih secara konvensional berjalan lambat karena biaya produksi tinggi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar