Rabu, 23 Oktober 2013

Dilema Rakyat Perbatasan Papua

Dilema Rakyat Perbatasan Papua
Bernard Koten  ;   Staf Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan
Ciptaan Fransiskan Papua
KOMPAS, 22 Oktober 2013


SETELAH 68 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih ada saja bagian dari masyarakat yang belum merasakan arti kemerdekaan. Kalau kemerdekaan kita definisikan sebagai kebebasan mendasar, seperti dihargai martabatnya, kemerdekaan berpendapat, berserikat, diperlakukan dengan baik, tidak disiksa, atau mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan terutama menjadi sejahtera, ukuran ini bisa memberikan hasil mengejutkan di wilayah-wilayah republik yang paling pelosok.
Salah satunya adalah warga perbatasan di Distrik Arso Timur dan Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua. Sungguhkah mereka telah merdeka?
Wilayah ini memang tidak banyak dibahas di tingkat nasional. Sebelum 2009, Distrik Arso Timur masih didominasi oleh masyarakat asli. Sesudah itu, hadir perkebunan sawit yang mengelola area sekitar 18.000 hektar. Distrik Arso Timur adalah distrik dengan wilayah paling kecil, 461.16 kilometer persegi atau hanya 4,92 persen dari total luas Kabupaten Keerom. Distrik ini berbatasan langsung dengan Papua Niugini.
Distrik Arso Timur memiliki 11 kampung. Fasilitas umum berupa jalan penghubung antarkampung belum diaspal dan sebagian kampung, seperti Kibay, masih harus ditempuh dengan berjalan kaki. Belum ada penerangan listrik negara dan sarana komunikasi lain. Di kampung-kampung umumnya yang ada adalah sarana ibadah (gereja), sekolah (SD), dan puskesmas. Namun, aparat keamanannya lengkap, mungkin karena masuk wilayah perbatasan. Ada pos tentara, pos Kopassus, dan pos polisi di wilayah ini.
Keterlibatan masyarakat tentu saja sangat dibutuhkan dalam membangun daerah. Mereka harus menjadi pelaku utama pembangunan dengan cara diajak bersama-sama menyusun gagasan pembangunan melalui kesepakatan bersama. Pemerintah dan pihak lain pada posisi sebagai pendorong dari upaya masyarakat mencapai tujuannya.
Meski demikian, realitas di Arso Timur dan beberapa daerah sekitarnya sungguh berbeda. Pembangunan, khususnya investasi, direncanakan dari atas lalu diturunkan tanpa konsultasi kepada masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat secara langsung tidak ada. Konsultasi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah dan perusahaan kepada kepala suku dan orang-orang tertentu. Kelompok perempuan sama sekali diabaikan.
Jika perempuan dan masyarakat umum tidak dilibatkan dalam pembicaraan tentang rencana suatu investasi, lalu untuk siapa pembangunan itu dirancang dan dilaksanakan? Jika investasi di Arso Timur dan wilayah lain di Indonesia hanya demi kepentingan pemerintah, pengusaha, dan pihak-pihak tertentu yang bakal mendapat keuntungan, siapa yang akan peduli terhadap penderitaan yang dialami masyarakat adat?
Pola tidak berubah
Modus pembangunan di Kabupaten Keerom dari pemerintah daerah masih sama sejak 1982-1983 sampai sekarang. Pemerintah mengundang investor dan memberi ”karpet merah” kepada perusahaan untuk segera bisa beroperasi. Janji-janji pemerintah dan perusahaan juga sangat ”wah”, tetapi bisa ditebak pelaksanaannya. Janji tersebut hanya janji palsu. Jika ada persoalan di lapangan, pemerintah menutup mata dan telinga, membiarkan masalah itu berhenti dengan sendirinya.
Salah satu cara untuk memuluskan rencana investasi adalah mengundang sejumlah tokoh untuk studi banding. Mereka diajak ke Jakarta dan mendapat pelayanan selama perjalanan. Tidak ada orang di kampung yang tahu tentang apa yang dilakukan. Beberapa minggu kemudian, alat-alat berat mulai masuk ke Arso Timur dan membabat hutan yang kaya.
Tanah yang dimanfaatkan untuk kelapa sawit mencapai ribuan hektar dan melingkupi tanah ulayat yang diklaim milik delapan kereth (marga). Memang akan ada pembayaran ganti rugi yang disebut ”tali asih” dengan harga Rp 38 per meter persegi. Selain nilainya amat rendah, dana kompensasi ini diberikan dalam empat tahap selama empat tahun dan sudah dibayarkan semua.
Beberapa saat setelah perusahaan beroperasi di Arso Timur, mulai timbul konflik internal dalam masyarakat. Ada kekecewaan di antara kelompok-kelompok yang merasa tidak dilibatkan dalam pembicaraan rencana investasi tersebut. Terjadilah perpecahan.
Setelah hutan dan sumber makanan dihancurkan, kesulitan hidup mulai terbayang. Akhirnya, sebagian besar masyarakat bekerja di perusahaan sawit, baik laki-laki, perempuan, maupun anak sekolah. Mereka menjadi buruh harian lepas. Tidak ada jaminan bagi warga bahwa suatu saat bisa menjadi karyawan tetap.
Sejak 1969, Papua masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1982-1983, kebijakan investasi sawit hadir di Arso, Kabupaten Keerom.
Sampai saat ini, dampak dari kebijakan pemerintah justru menderitakan masyarakat asli di Keerom. Tahun 2008, kebijakan investasi sawit diberlakukan lagi di Arso Timur. Dapat dibayangkan, hasilnya pun tidak akan berbeda, yakni penderitaan. Lalu apa makna kemerdekaan jika selalu berdampak penderitaan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar