Rabu, 23 Oktober 2013

Rakyat Bukan Barang Dagangan

Rakyat Bukan Barang Dagangan
Rieke Diah Pitaloka  ;   Anggota Komisi IX DPR F-PDIP
KOMPAS, 23 Oktober 2013


SEORANG perempuan muda, dengan potret kemiskinan di wajahnya. Rambut tipis dan kusam.Wajahnya adalah luka yang pedih, tak ada pancaran masa depan di dua bola matanya. Dua tangannya disatukan borgol besi. Tertunduk di bangku pesakitan, bersandal jepit hitam. Bibirnya tak henti lantunkan doa dalam syair lirih yang tak bersuara. ”Yang Arif, perempuan muda ini adalah korban perdagangan manusia. Dia berasal dari daerah termiskin di Indonesia,” begitu kata sang pembela di ruang sidang Mahkamah Kota Bharu, Klantan, Malaysia.

Perempuan muda itu bernama Wilfrida Soik, asal Belu, Nusa Tenggara Timur. Gadis miskin pencari batu, yang hanya sekolah sampai kelas lima sekolah dasar. Dikirim ke Malaysia manakala Indonesia sedang menyatakan moratorium, tak boleh ada pengiriman PRT ke Malaysia. Moratorium itu ditetapkan pemerintah pada 29 Juni 2009. Pada Oktober 2010 Wilfrida diberangkatkan ke Malaysia, usianya masih 17 tahun. Namun, dokumen resmi negara menyatakan saat itu ia berusia 21 tahun. Wilfrida tidak sendiri, pada bulan dan tahun yang sama, data membuka tabir. Tak kurang dari lima ribu PRT baru asal Indonesia datang dan bekerja di Malaysia. Artinya, jalan yang ditempuh bukan jalan resmi meski dokumen seolah resmi. Jalan itu adalah jalur perdagangan manusia.
Bonus atau bencana?
Bonus demografi adalah tingginya angkatan usia produktif. Kabarnya, 20 hingga 30 tahun ke depan Indonesia akan mengalami keuntungan dalam peta ekonomi karena angka usia produktif yang besar. Jika sekarang satu orang pada usia produktif menanggung lima puluh satu orang, tahun 2020 hanya satu berbanding tiga puluh. Pertanyaannya sederhana, peta ekonomi yang dimaksud adakah akan membuka jalan ekonomi mandiri bagi rakyat? Bukankah para korban perdagangan manusia pun dipekerjakan, atau tepatnya dipaksa kerja tanpa jaminan perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial?
Hakikat apa yang ada di balik peta ekonomi seperti ini yang katanya akan memberi keuntungan karena bonus demografi? Jika demikian adanya, apa yang dibanggakan dari bonus demografi tak lebih sebuah fatamorgana. Seolah peta ekonomi yang diciptakan sistem ekonomi pasar adalah hal yang menakjubkan. Teori-teori akademis dari para pakar dihadirkan seolah memberikan harapan karena memberi kesan ilmiah. Membuai, tetapi sesungguhnya menindas.
Apabila sistem yang dijalankan dan dipertahankan di Indonesia adalah sistem yang berlaku pada masa kolonial, saya lebih percaya pada apa yang dikatakan Soekarno dalam Indonesia Menggugat tentang bonus demografi: ” …tambahnya jumlah jiwa yang pesat ialah berkembang biaknya rakyat katulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena…. Lagi pula, tambahnya penduduk tidak selamanya berarti kemakmuran, tambahnya penduduk tidak selamanya berarti kesejahteraan umum....”
Pemikir globalisasi Thomas Friedman mengatakan, di era globalisasi dunia kian rata. The world is flat. Artinya, lalu lintas barang dan manusia berjalan tanpa hambatan. Saya khawatir jalan tol globalisasi justru akan melahirkan bencana-bencana kemanusiaan. Dalam konteks peradaban yang disebut zaman globalisasi, komodifikasi perempuan dianggap hal yang lazim. Lahirnya kemajuan teknologi dan perkembangan kehidupan modern justru melahirkan persepsi yang miris bagi perempuan: komoditas yang bisa diperdagangkan dan diperjualbelikan.
Tahun lalu PBB menyatakan Indonesia berada pada posisi kedua di dunia sebagai negara tempat terjadi tragedi perdagangan manusia. Indonesia dikenal sebagai negara pengirim, negara transit, sekaligus penghasil perdagangan manusia. Sementara dari data yang disampaikan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), Indonesia menempati urutan pertama. Yang teridentifikasi, selama periode 2005-2012 sebanyak 4.668 korban perdagangan manusia berwarga negara Indonesia. Data ini tidak menunjukkan realitas yang sesungguhnya. Jumlahnya bisa berkali-kali lipat karena persoalan perdagangan manusia ibarat gunung es. Tak terungkap seluruhnya ke permukaan.
Mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan (80 persen) dengan tingkat pendidikan mayoritas SD (30,64 persen). Provinsi dengan jumlah korban terbesar Jawa Barat 1.218 orang (26,9 persen), disusul Kalimantan Barat (15,62 persen), Jawa Tengah (12,62 persen), Jawa Timur (11,85 persen), NTB (6,11 persen), Sumatera Utara (5,85 persen), dan NTT (5,29 persen). Penyebab korban terperangkap, paling utama karena masalah ekonomi (87,65 persen). Mereka mengalami ”kerja paksa” dengan berbagai kekerasan: ekonomi, fisik, psikologis, hingga seksual, bahkan tak jarang berujung penghilangan nyawa. Wilayah kerja dan profesi para korban mayoritas sebagai PRT (56,99 persen), prostitusi (16,53 persen), nelayan (5,93 persen), perkebunan (5,15 persen), pelayan (2,38 persen), pabrik (2,22 persen), dan konstruksi (1,99 persen).
Negara yang menampung dan mempekerjakan korban perdagangan manusia asal Indonesia adalah Malaysia serta beberapa negara di Timteng dan ASEAN. Para korban dibawa melalui titik embarkasi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Jakarta, Surabaya, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Para pelaku perdagangan manusia internasional bekerja sama dengan pelaku di Indonesia. Pelaku bisa calo atau broker, oknum di PJTKI, teman sendiri, anggota keluarga, tetangga. Tentu mereka tak bekerja sendiri, perlu ”dokumen negara” untuk membawa korban, di dalam maupun ke luar negeri. Dengan demikian, disinyalir ada keterlibatan oknum aparat pemerintah dari level desa hingga pusat. Dalam beberapa kasus, terindikasi keterlibatan oknum aparat keamanan.
Perangi perdagangan
Tulisan ini sama sekali tidak untuk menyalahkan siapa pun. Tulisan ini sekadar mengajak semua pihak terlibat dalam memerangi perdagangan manusia. Wilfrida sedang menunggu vonis digantung hingga mati karena dakwaan pembunuhan terhadap majikan, tanpa diungkap kekerasan terhadap dirinya yang melatarbelakangi tindakannya. Biarlah proses hukum berjalan, tak boleh intervensi. Tapi, tentu saja, jangan biarkan ia sendiri. Pendampingan hukum dari pemerintah dan dukungan dari semua pihak di Indonesia sangat berarti bagi Wilfrida. Di sisi lain, Wilfrida telah membuka jalan bagi kita semua, khususnya pemerintah, untuk membongkar sindikat perdagangan manusia. Tak cukup retorika, tak cukup UU. Butuh kerja keras untuk menghadapi para pelaku. Beri sanksi berefek jera kepada siapa pun pelakunya.
Tidakkah malu hati? Pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan ternyata menghasilkan kemiskinan yang menjadikan rakyat komoditas. Ini bukan cacian, ini data dan fakta. Perdagangan manusia di Indonesia bukan rekaan belaka. Pilihannya, akhiri gurita sindikat perdagangan manusia atau Wilfrida-Wilfrida lain akan antre menuju tiang gantungan. Jelas, bukan peradaban seperti ini yang kita impikan sebagai bangsa merdeka. Jelas, kita butuh sistem ekonomi yang memberdayakan, bukan memperdaya rakyat! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar