Rabu, 23 Oktober 2013

Myanmar Tak Pantas Jadi Ketua ASEAN

Myanmar Tak Pantas Jadi Ketua ASEAN
Ardi Winangun  ;   Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
OKEZONENEWS, 21 Oktober 2013



Dalam KTT ASEAN XXIII di Brunai Darussalam, 9 sampai 10 Oktober 2013, terjadi peralihan Ketua ASEAN dari Sultan Brunai Hassanal Bolkiah kepada Presiden Myanmar Jenderal (Purn) Thein Sein. Dengan peralihan ketua organisasi yang menghimpun negara-negara di Asia Tenggara itu maka ke depannya Thein Sein ‘bertanggung jawab’ terhadap stabilitas kawasan, baik ekonomi, politik, maupun militer di ASEAN.

Peralihan Ketua ASEAN ini bukan suatu yang istimewa, bukan sesuatu yang harus diperebutkan, namun peralihan yang terjadi digilir satu-persatu di antara kepala pemerintahan. Sehingga semua kepala pemerintah negara anggota ASEAN pernah menjadi Ketua ASEAN.

Menjadi pertanyaan, apakah Thein Sein pantas menjadi Ketua ASEAN? Bagi para kepala pemerintahan ASEAN, itu tak menjadi soal dan memang hak dia. Namun bagi kelompok HAM, terpilihnya Thein Sein menduduki posisi itu tentu sebuah malapetaka. Malapetaka sebab di negerinya saat ini banyak terjadinya pelanggaran HAM. Seperti konflik etnis Rohingya dan etnis Rakhine.
 
Konflik etnis itu baranya menjadi lebih besar ketika dibumbui dengan unsur agama. Di mana etnis Rohingya masyoritas beragama Islam sedang etnis Rakhine beragam Budha. Adanya unsur agama dalam konflik itu tak bisa dinafikkan sebab salah seorang pendeta Budha fundamentalis, Wirathu, mengobarkan kebencian kepada etnis Rohingya yang beragama Islam.

Akibat konflik yang berkepanjangan itu membuat etnis Rohingnya mengalami penderitaan, ratusan orang meninggal, ribuan orang menjadi manusia perahu, dan ribuan orang lainnya kehilangan tempat tinggal.

Konflik ini berkepanjangan sebab pemerintah Myanmar sendiri selain lepas tangan bahkan juga ikut memperkeruh keadaan, memprovokasi etnis Rakhine. Provokasi itu seperti mengatakan etnis Rohingya dituduh sebagai etnis pendatang sehingga layak diusir dari Myanmar. Padahal secara fakta wilayah itu sejak dahulu adalah wilayah etnis Rohingya yang selanjutnya diklaim oleh Myanmar sebagai bagian dari negaranya. 

Provokasi lainnya adalah, produktivitas kelahiran penduduk di Rohingya yang cepat membuat kekhawatiran bangsa Myanmar yang mayoritas beragama Budha. Bila produktivitas itu tidak dicegah maka bangsa Myanmar khawatir beberapa tahun ke depan komposisi etnis dan agama di negeri itu berubah. Bangsa Myanmar trauma dengan peristiwa di Indonesia dan Afghanistan beberapa abad silam di mana di dua negara tersebut ummat Budha pernah menjadi mayoritas namun entah kenapa ummat Budha di Indonesia dan Afghanistan menjadi minoritas.
 
Untuk mengatasi produktivitas etnis Rohingya maka pemerintah Myanmar mengeluarkan aturan pembatasan jumlah penduduk dengan cara membatasi kelahiran etnis Rohingya. Aturan itu tentu saja diskriminatif dan menimbulkan protes temasuk dari Aung San Suu Kyi. 

Pelanggaran HAM di negeri yang sebelumnya bernama Burma itu tak hanya terjadi di Rohingya namun juga terjadi di Kachin. Dirasa tidak diperlakukan secara adil maka masyarakat di wilayah itu ingin memisahkan diri namun protes dari orang Kachin itu bukan mereka dirangkul oleh pemerintah pusat dengan baik-baik namun mereka dilawan dengan militer. Akibatnya seperti yang terjadi di Rohingnya, ribuan orang mengungsi meninggalkan wilayah itu.

Para pemimpin negara di wilayah ASEAN tak mempermasalahkan Myanmar menjadi Ketua ASEAN sebab dalam kesepakatan ASEAN, sejak ASEAN berdiri tahun 1967, bahwa masalah dalam negeri masing-masing anggota haram untuk diintervensi atau dicampuri negara Lainnya. Dalam kesepakatan itu masalah dalam negeri adalah masalahmu sehingga apapun yang terjadi di negara lain, entah itu pelanggaran HAM, konflik kekuasaan, atau masalah-masalah malapetaka yang ada kaitannya dengan kekuasaan pemerintah, pemimpin ASEAN lainnya tutup mata, tutup telinga, dan tutup mulut. Prinsip responsibility to protect bukan sebuah hak, tindakan, dan wewenang pemimpin ASEAN lainnya. 

Ketika pemimpin prodemokrasi Aung San Suu Kyi dan pengikutnya dinistakan oleh junta militer Myanmar, para pemimpin ASEAN pun tak bersikap. Justru Amerika Serikat, PBB, dan Uni Eropa-lah yang peduli pada Myanmar. 

Bila tak dijadikan masalah pelanggaran-pelanggaran HAM di Myanmar oleh pemimpin ASEAN maka apa yang terjadi di Rohingya dan Kachin akan terus terjadi. Untuk itu di sini ada kesepakatan ASEAN yang perlu diluruskan. Kesepakatan yang tak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain tidak boleh dipandang sebagai harga mati atau ditafsirkan secara kaku. Bila ditafsirkan secara kaku maka bila ada pelanggaran HAM di sebuah negara maka pemimpin ASEAN lainnya membiarkan bahkan secara tak langsung juga merestui masalah itu.

Dalam pertemuan di Brunai seharusnya para pemimpin ASEAN memberi catatan kepada Thein Sein untuk segera menuntaskan masalah-masalah pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun rakyatnya sendiri. Ini sangat penting sebab bila kepala pemerintah ‘tak ditegur’ soal pelanggaran HAM oleh pemimpin ASEAN lainnya maka hal demikian akan menjadi sebuah kesempatan kepada pemimpin pemerintahan lainnya untuk melakukan hal yang sama. Bisa saja nanti Presiden Filipina akan melakukan kekerasan terhadap kaum minoritas di Filipina bagian selatan. Demikian pula Perdana Menteri Thailand juga akan melakukan hal yang sama di wilayahnya yang juga di wilayah selatan. Tak menutup kemungkinan Presiden Indonesia juga akan melakukan hal yang sama di beberapa wilayah Indonesia. 

Sudah waktunya ASEAN tidak hanya mengurusi masalah ekonomi dan keamanan kawasan, namun juga harus memberi perlindungan dan kesejahteraan bagi masyarakat secara luas. Para pemimpin ASEAN harus komitmen menegakkan HAM secara lintas batas di wilayah Asia Tenggara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar