|
Juni lalu, Menteri Koordinator
Perekonomian Indonesia Hatta Rajasa menerima penghargaan di bidang pangan dari
FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB. Mendapatkan penghargaan tentu menjadi
kebanggaan tersendiri. Namun, sebagai warga negara Indonesia yang berusaha
kritis melihat situasi di Tanah Air, penghargaan atas pencapaian Indonesia dan
37 negara lain memenuhi salah satu poin dari Millennium Development Goal (MDG) memang mengundang keingintahuan
lebih lanjut.
Poin itu
adalah mengurangi tingkat kemiskinan dan kelaparan, selain mencapai amanat World Food Summit (WFS): mengurangi
setengah dari populasi penduduk yang kekurangan gizi. Indonesia bersama tiga
negara ASEAN lainnya, yaitu Kamboja, Thailand, dan Vietnam, berhak menyandang
penghargaan FAO tersebut. Betulkah ketahanan pangan di negeri ini sudah
tercapai?
Tahun 1996,
WFS menghasilkan definisi bahwa ketahanan pangan tercapai ketika seluruh
populasi penduduk dapat mengakses makanan yang cukup, aman, dan bernutrisi guna
menunjang kehidupan yang sehat dan aktif.
Sejak itulah
FAO juga memperkenalkan tiga pilar yang sering digunakan untuk mengevaluasi
ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan (availability), akses pangan (accessibility),
dan kegunaan pangan (use/utility).
Semenjak
munculnya fenomena fluktuasi harga pangan, beberapa pihak yang memfokuskan
riset di bidang pangan memasukkan satu pilar tambahan yang tidak kalah penting,
yaitu stabilitas pangan (stability).
Keempat pilar inilah yang paling tidak menjadi ukuran penting pasca-diterimanya
penghargaan FAO oleh Indonesia.
Ketersediaan
pangan pada periode 2010-2012─ setelah krisis pangan tahun 2008─ sebenarnya
cukup mengkhawatirkan khususnya lima komoditas pertanian, yaitu beras, gula, kacang
kedelai, jagung, dan daging sapi. Padahal, Kementerian Pertanian mencanangkan
swasembada pangan pada lima komoditas tersebut tahun 2014.
Berdasarkan
data dari United Nations Commodity Trade
Statistics Database (UN Comtrade),
selama 2010-2012 Indonesia bergantung pada impor untuk kelima komoditas
tersebut. Indonesia bergantung impor dari negara-negara ASEAN untuk beras,
kacang kedelai, dan daging sapi.
Kondisi ini
diperparah dengan kebijakan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian
yang melarang impor hortikultura sejak awal tahun 2013 dengan penerbitan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor
Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang
Ketentuan Impor Produk Hortikultura.
Dari segi
akses, kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan tidak meratanya
pembangunan mempersulit distribusi pangan.
Kualitas jalan
dan jembatan yang buruk, kemacetan, tidak terintegrasinya rel kereta api, serta
minim dan mahalnya sarana transportasi yang menghubungkan satu pulau dengan
pulau lainnya masih menjadi permasalahan klasik di Indonesia. Meskipun Sistem
Logistik Nasional (Sislognas) dan konsep MP3EI (Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) telah diluncurkan untuk meningkatkan
akses distribusi dan pembangunan, hasilnya belum signifikan.
Dari segi
kegunaan pangan, adanya konsep diversifikasi pangan yang terus-menerus
dipublikasikan dengan dana yang tidak sedikit oleh kementerian yang terkait
memang ada beberapa perubahan. Namun, pangan bukan hanya komoditas ekonomi,
melainkan terkait unsur budaya atau sosial ekonomi yang memengaruhi perilaku
masyarakat dalam mengonsumsi makanan.
Peter Atkins
dan Ian Bowler (2005) dalam bukunya, Food
in Society: Economy, Culture, and Geography, yang juga dikembangkan dari
pemikiran John McKenzie (1979), menegaskan bahwa ada tiga faktor penting yang
memengaruhi pilihan masyarakat dalam mengonsumsi makanan, yaitu lingkungan (geo-environmental), sosial ekonomi, dan
psikologi.
Dari segi
stabilitas, Indonesia masih cenderung lemah menjaga stabilitas harga pangan.
Beberapa kali terjadi kelangkaan dan meroketnya harga komoditas pangan seperti
daging sapi, kacang kedelai, cabai, dan bawang putih yang marak diberitakan
media. Karena ketersediaan pangan dan stabilitas harga pangan berhubungan
sangat erat, larangan impor hortikultura yang diterapkan oleh pemerintah
memperburuk stabilitas harga pangan.
Distorsi yang
terjadi pada keempat pilar ketahanan pangan berpengaruh signifikan terhadap
tingkat kemiskinan dan kelaparan di Indonesia. Maka, kita dapat bertanya kepada
diri kita masing-masing apakah penghargaan FAO di bidang pangan tersebut sudah
layak diterima oleh Pemerintah Indonesia?
Apakah dengan
penghargaan tersebut otomatis ketahanan pangan di Indonesia telah tercapai?
Sungguh suatu pertanyaan yang sulit dijawab mengingat masih banyak hal yang
perlu diperbaiki di negeri ini.
Christian
Anton Smedshaug (2010) dalam bukunya, Feeding
the World in the 21st Century: A Historical Analysis of Agriculture and Society,
menggarisbawahi bahwa perlu adanya perbaikan di tiga elemen dasar guna
meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan dalam bidang pangan,
yaitu structural
reform, developmental reform, dan social reform.
Kesimpulannya,
Indonesia layak mendapat penghargaan semacam itu jika pemerintah sudah memiliki
konsep ketahanan pangan seperti famine
early warning system yang telah terlembaga dengan baik. Selain itu,
ketahanan pangan harus dijauhkan dari campur tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab yang hanya ingin mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi ataupun
golongan tertentu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar