|
SEKOLAH (formal) kembali digugat! Sir Ken Robinson, pakar
pendidikan dunia, bernalar bahwa sekolah merupakan institusi paling bertanggung
jawab terhadap ketidaksiapan angkatan pekerja pada dunia kerja saat ini. Lebih
tajam lagi, Sugata Mitra, pakar teknologi pendidikan, mengatakan sekolah
berhasil memenuhi tujuan perancangannya, tetapi tujuan itu saat ini sudah tidak
relevan. Persekolahan ialah solusi yang tepat untuk permasalahan yang sudah
lewat.
Dunia
sudah berubah jauh, tetapi persekolahan dianggap masih memberhalakan model era
industri. Contoh paling gamblang ialah upaya standardisasi siswa bak ban
berjalan di pabrik, misalnya lewat ujian nasional (UN). Ketidaksinkronan
kehidupan era informasi dengan sistem persekolahan ini mendesakkan pertanyaan,
“Apakah sekolah masih dibutuhkan?”
Untuk
menanggapi pertanyaan itu, muncullah dua pandangan berlawanan. Yang pertama
melihat persekolahan sekarang memang tidak menjawab permasalahan kehidupan
modern, tetapi masih diperlukan dan hanya perlu pembenahan serius. Pandangan
kedua mengatakan sistem persekolahan sudah memasuki masa akhirnya dan tidak
lagi relevan dengan kehidupan abad ke-21 sehingga perlu dibongkar sampai ke
akarnya.
Kedua
pandangan itu sebenarnya memiliki dasar pijakan yang sama, yaitu masih
memandang sekolah sebagaimana adanya saat ini. Padahal, kemajuan teknologi dan
potensi pemanfaatannya dalam pendidikan sebenarnya membuka kesempatan diskusi
yang lebih konstruktif, yaitu bila kita melupakan segala asumsi tentang
‘sekolah’ dan merancangnya dari nol dengan segala kondisi yang kita miliki saat
ini untuk memenuhi kebutuhan abad ke-21, akan seperti apa (saja) bentuknya?
Membahas
pertanyaan ini lebih bermanfaat bagi masyarakat luas sekaligus pemerintahan
mendatang.
Masyarakat Pendidik
Pada
1960-an Paul Goodman, kritikus sosial, berujar bahwa pendidikan terbaik yang
dapat dirasakan seorang anak ialah pendidikan insidental, yaitu pendidikan yang
didapat saat anak terlibat aktif dan menyatu dengan semua kegiatan sosial
kemasyarakatan di lingkungannya. Orang dewasa tidak mengisolasi anak-anak di
dalam tembok-tembok sekolah.
Ia
katakan model sekolah saat ini berpotensi menghambat tumbuh kembang alami anak.
Metode dan kurikulum baku serta tunggal hanya akan menyia-nyiakan potensi
manusia untuk belajar dan berkarya. Hanya sebagian kecil anak yang ‘berbakat
akademik’ akan mampu melewati persekolahan tanpa merasa bosan atau dihambat.
Kemampuan
akademik memang memerlukan kecerdasan tinggi, tetapi tentu salah apabila kita
menganggap kecerdasan tinggi hanya terwakili oleh kemampuan akademik. Sayangnya
kita telanjur percaya bahwa model persekolahan formal yang kita lihat saat ini
ialah satu-satunya jalan menjadi terdidik. Sebaliknya, Goodman malah mengusulkan
agar pendidikan disebar dan dilebur
ke kampung, pabrik, museum, taman, perkantoran, pasar, dan berbagai tempat aktivitas
harian masyarakat lainnya.
Anak nelayan di lingkungan bahari,
misalnya, harus tetap diupayakan menyatukan kebaharian ke dalam pendidikan mereka.
Para nelayan di lingkungan mereka turut berperan sebagai mentor dan guru bagi
si anak. Singkat kata, masyarakat ikut menjadi pendidik.
Masyarakat pendidik akan menemukan
dan menciptakan peluang pembelajaran di dalam masyarakat serta membawa anak-anak
mereka memasuki proses pembelajaran tersebut. Konsep itu sejalan dengan gagasan
pengajaran terdistribusi oleh Yung Tae-kim yang mengangankan semua warga negara
dewasa wajib terlibat aktif dalam pendidikan dengan menyumbangkan sebagian waktu,
tenaga, dan pikiran mereka untuk menjadi ‘guru’, dengan memberikan pengalaman
nyata mereka.
Dalam model pendidikan itu,
paradigma tentang apa itu sekolah dibongkar dan dibangun ulang. Sekolah beserta
guru-gurunya bertugas menjadi kurator sekaligus pendamping siswa (dan juga
orangtuanya) dalam menemukan pembelajaran di masyarakat sesuai dengan kebutuhan
si anak dan kebutuhan masyarakat di lingkungan sekolah berada.
Sekolah seperti ini mungkin cukup
memiliki dua jenis tenaga kependidikan, yaitu staf administrasi yang bertugas mengelola
operasional sekolah, lalu guru bimbingan dan konseling yang bertugas menjadi
wali, kurator, dan mentor bagi siswa. Semua guru lain ialah praktisi (baca:
masyarakat).
Konsep
itu sudah mulai mewujud di negara kita. Contohnya bisa kita lihat pada gerakan
Akademi Berbagi dan Kelas Inspirasi yang telah menyebar di seluruh Indonesia
dan ikut menyadarkan masyarakat agar terlibat aktif menyumbangkan
sebagian waktu mereka untuk berbagi ilmu dan inspirasi. Ada juga gerakan
seperti Komunitas Sahabat Kota di Bandung, Jaringan Rumah Usaha di Semarang, School of Life Lebah Putih dan Qaryah Thayyibah
di Salatiga, Sokola Rimba di Jambi serta Panti Asuhan Rosling di Kupang yang
menjembatani pendidikan insidental di
dalam masyarakat.
Pendidikan 3.0
Model-model
pendidikan insidental saat ini semakin
dimungkinkan dengan kemajuan serta ketersediaan teknologi informasi sesuai
dengan apa yang diramalkan oleh John Moravec tentang gelombang Pendidikan 3.0. Bila
Pendidikan 1.0 hanya terjadi di dalam kelas dari guru kepada murid, lalu pada
Pendidikan 2.0 guru dan murid mulai memanfaatkan internet untuk menjadi
koprodusen, Pendidikan 3.0 membawa mereka selangkah lebih maju.
Ciri
gelombang Pendidikan 3.0 antara lain terinfusinya persekolahan kembali ke dalam
masyarakat, runtuhnya sekat ruang dan waktu persekolahan, sekolah ikut
melibatkan dan mendidik orangtua, serta keterlibatan semua warga sebagai guru
dan murid sekaligus.
Konsep
masyarakat belajar sebagai motor pembangunan sebuah negara menjadi alamiah.
Teknologi saat ini membantu mewujudkan masyarakat belajar secara mandiri. Jika
hendak belajar membuat dan berbisnis rujak cingur atau pasta bersaus jamur
Italia, misalnya, dapat langsung dikerjakan saat ini dan di tempat ini juga.
Masyarakat yang hidup dan meyakini untuk saling mengajar dan belajar itu ialah
ciri masyarakat yang terdidik (well educated).
Diramalkan,
masa depan teknologi dalam pendidikan bukan pada kecanggihan peranti keras,
tetapi justru pada penciptaan jejaring dan awan belajar. Masyarakat yang
berbagi pengetahuan akan menyebarkan dan menyimpan dengan teknologi awan
sehingga semua warga dapat belajar secara murah atau gratis. Secara konsep, hal
ini justru semakin mewujudkan model guru yang bukan sebagai sumber pengetahuan
tunggal lagi. Guru dalam model ini fokus mengembangkan budaya belajar dan
kecakapan bernalar siswa. Juga, model itu tidak memisahkan siswa dari
masyarakatnya.
Dalam Pendidikan 3.0 dengan masyarakat ikut menjadi
koprodusen pendidikan, pemerintah tidaklah lagi bisa ataupun perlu seberkuasa
dulu. Pemerintah cukup berperan menjadi fasilitator yang memberikan ruang bagi
inisiatif pendidikan lokal dalam memberdayakan dan mendorong transformasi
sosial masyarakat sekitar.
Ada
tiga fungsi utama yang bisa dilakukan pemerintah dalam Pendidikan 3.0. Yang
pertama dan utama ialah fungsi administrasi yang mengelola dan memastikan
ketersediaan infrastruktur melalui pemanfaatan uang rakyat yang dititipkan
kepadanya. Fungsi berikutnya ialah regulasi yang memastikan tidak ada
pelanggaran hak anak dalam pelaksanaan pendidikan oleh masyarakat. Serta yang
terakhir, fungsi arbitrase yang mendamaikan pihak yang bertikai.
Apabila
pemerintah justru berusaha mengembalikan dan melestarikan Pendidikan 1.0 dengan
segalanya serbatunggal, distandarkan, dan terpusat, sesungguhnya pemerintah
sedang berjalan melawan arus perubahan yang tak terbendung. Bila kengototan itu
dipertahankan, masyarakat bukan tidak mungkin akan berpikir melakukan instalasi
Pendidikan 3.1 yang menganggap penguasa sebagai kesalahan kode program yang
perlu dijadikan tidak relevan, atau diisolasi agar tidak mengganggu.
Akhirnya,
kita ingat kalimat Ki Hadjar Dewantara puluhan tahun lalu yang semakin terasa
relevansinya saat ini, “Marilah kita
beralih kepada pembicaraan pengajaran nasional, sebagai yang dipahami dan
dibuat oleh rakyat sendiri.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar