|
SPEKULASI tapering off The Fed sedikit mereda
dengan adanya pengumu man dari Gubernur The
Fed Ben Bernanke sehingga program pembelian obligasi sebesar US$85 miliar
per bulan tetap dilanjutkan. Artinya, dana asing diproyeksikan akan masuk
kembali ke negara-negara emerging market.
Keputusan penundaan itu barangkali memberi ruang bernapas bagi negara-negara emerging market dan negara maju. Namun,
belum ada jaminan seberapa lama penundaannya sehingga risiko dan ketidakpastian
akan terus mengemuka. Ketidakpastian tersebut biasanya bermuara pada spekulasi
baru baik di pasar uang maupun pasar saham.
Keputusan penundaan tersebut
direspons baik oleh pasar. Indeks Dow Jones di New York naik sekitar 0,9%
menjadi 15.709,58. Kondisi serupa juga terjadi di bursa regional Asia seperti
Hang Seng Hong Kong meningkat 1,67% dan Nikkei Jepang 1,8%. Nilai tukar mata
uang beberapa negara juga menguat. Pada 19 September 2013, nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 11.342 dari posisi 11.408 pada 18
September. Rupee India juga mengalami kondisi serupa, yakni per 19 September
pada posisi 62,13 menguat dari 63,27.
Gubernur The Fed menyebutkan beberapa alasan penundaan tersebut. Semua
argumen itu bertujuan menunggu kepastian beberapa indikator makroekonomi
seperti posisi fiskal pemerintah, tingkat inflasi, dan tingkat pengangguran. Jika
ketiga hal tersebut terpenuhi, program stimulus akan diselesaikan pada 2013.
Keputusan penundaan tersebut juga didukung 9 dari 10 anggota Federal Open Market Committee (FOMC).
Defisit fiskal AS per Agustus
ialah US$147,9 mi liar, menurun dari US$191 miliar pada Agustus 2012. Defisit
tersebut menurun hingga 22,56% (year on
year/yoy). Tingkat inflasi AS per Agustus mencapai 1,5% (yoy), menurun dari
2% (yoy) pada Juli 2013. Tingkat pengangguran AS mencapai 7,3%, menurun dari
posisi 7,4% pada Juli 2013 dan menurun signifikan dari 8,1% pada Juli 2012.
Tapering off dan gejolak
ekonomi Indonesia
Penundaan tapering off bagai dua sisi mata uang terhadap perekonomian global.
Pertama, jika eksekusi pengurangan pembelian obligasi dilakukan, secara tidak
langsung mewartakan kepada dunia bahwa perekonomian AS telah pulih dari krisis.
Kondisi tersebut biasanya akan diikuti dengan peningkatan suku bunga di AS
sehingga mendorong capital inflow.
Memang, akan terjadi tekanan bagi negara lain, namun kondisi tersebut cenderung
lebih pasti. Namun, penundaan tapering
off justru menjadi permainan baru bagi spekulan sehingga kembali
mengguncang pasar uang dan pasar modal. Nilai tukar terdepresiasi, yield obligasi meningkat, inflasi
meroket, suku bunga melonjak, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi.
Sisi kedua yang diamati dari
keputusan penyelesaian tapering off
tersebut akan memberikan dampak positif bagi kinerja ekspor negara-negara di
dunia. AS memang menjadi salah satu importir sejumlah komoditas terutama dari
negara-negara berkembang. Bagi Indonesia, ekspor ke AS menyumbang sekitar 10%
dari nilai ekspor nasional. Sejak krisis melanda AS, kinerja ekspor nasional
menurun signifikan. Kondisi tersebut se makin buruk ketika krisis utang melanda
Uni Eropa. Perbaikan ekspor diharapkan dapat mening katkan pasokan valas
melalui de visa hasil ekspor (DHE).
Harus diakui sejak penundaan tapering off, beberapa indikator ekonomi
Indonesia sedikit bergerak membaik. Nilai tukar ru piah terhadap dolar Ameri ka
Serikat menguat. Indeks harga saham gabungan (IHSG) mulai meningkat meninggalkan
level 4.500. Pelaku pasar semakin bergairah karena kepu tusan tersebut serta
langkah langkah antisipasi yang ditempuh pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Peningkatan BI rate menjadi 7,25%
dari sebelumnya 7% diharapkan menahan dana asing di Indonesia. BI juga telah
mengeluarkan paket kebijakan lain di antaranya peluncuran sertifikat deposito
Bank Indonesia maupun kebijakan BI untuk memperpendek jangka waktu kepemilikan
sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6 bulan menjadi 1 bulan. Sertifikat
deposito Bank Indonesia diperhitungkan sebagai komponen giro wajib minimum
(GWM). Pemerintah pun telah memberikan sejumlah stimulus untuk menopang
pemburukan indikator-indikator perekonomian.
Langkah ke depan
Harus diakui masalah penundaan tapering off hanya satu dari beberapa
problematik ekonomi nasional dan sifatnya jangka pendek. Ancaman terhadap nilai
tukar dan pelemahan pertumbuhan ekonomi masih terus menghantui karena masih ada
persoalan inflasi yang berasal dari faktorfaktor nonmoneter, masalah defisit. Indonesia
hingga kini dihadang empat defisit sekaligus, yaitu defisit neraca perdagangan,
defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca pembayaran, dan defisit
neraca primer.
Kedua faktor tersebut menjadi
pemicu depresiasi rupiah yang semakin mendalam. Defisit transaksi berjalan
hingga menyentuh 4,4% dari produk domestik bruto per triwulan II-2013. Inflasi
menyentuh 8,79% sejalan dengan penyesuaian harga BBM menjelang Ramadan dan Hari
Raya Idul Fitri. Perbaikan neraca perdagangan juga semakin sulit karena
memburuknya ekonomi China dan India sebagai penyerap ekspor nasional.
Perbaikan neraca pembayaran
diharapkan dari kontribusi neraca modal dan finansial. Penundaan tapering off akan mengembalikan arus
modal asing ke domestik baik dalam bentuk investasi portofolio maupun investasi
langsung (foreign direct investment/FDI).
Peningkatan imbal hasil surat berharga negara (SBN) menjadi salah satu alasan
lonjakan dana asing ke instrumen ini. Lonjakan FDI diharapkan dari perbaikan
peringkat daya saing Indonesia dari posisi 50 ke 38 dunia. Berbagai skenario
tersebut diharapkan dapat meningkatkan cadangan devisa yang terus menurun.
Sampai Juli, cadangan devisa pada posisi US$92,67 miliar menurun drastis dari
level US$106,56 miliar per Juli 2012 (menurun US$13,88 miliar, yoy).
Pengurangan impor
Upaya menekan defisit transaksi
perdagangan harus dilakukan dengan peningkatan ekspor dan penurunan impor.
Peningkatan ekspor ditempuh dengan mencari pasar baru, terutama di Asia Timur
dan Asia Tengah, tanpa mengabaikan pasar Jepang, ASEAN, China, dan India.
Konsep market way dapat diterapkan
untuk memenuhi hal tersebut melalui pemetaan kebutuhan barang per negara. Upaya
mengurangi impor dapat dilakukan dengan substitusi impor.
Hal itu akan berjalan dengan
topangan penelitian dan pengembangan oleh perusahaan. Dukungan pemerintah pun
sudah ada berupa pembebasan pajak untuk program research and development.
Terkait dengan sektor moneter, BI
diharapkan tidak menaikkan BI rate pada Oktober untuk mengurangi lonjakan suku
bunga simpanan dan pinjaman sehingga tidak menekan pertumbuhan kredit. BI harus
terus waspada terhadap aliran hot money dalam jangka pendek ini sehingga tidak
menekan rupiah secara berkelanjutan.
Koordinasi kebijakan sangat
dibutuhkan untuk mengelola persepsi pasar. Untuk itu, perlu meningkatkan Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan antara Kementerian Keuangan, Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selain itu, perlu
mempercepat regulasi jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) agar pengambil
kebijakan memiliki dasar hukum yang lebih pasti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar