|
“WE don't need no education. We don't need
no thought control. No dark sarcasm in the classroom. Teacher leave them kids
alone. Hey! Teacher! Leave those kids alone! All in all you're just another
brick in the wall.“
Penggalan pedas dari lirik lagu
Pink Floyd di atas ialah gambaran suram tentang suasana pendidikan di sekolah
yang memperlakukan anak laksana robot. Sekolah seolah merupakan penjara bagi
ruang imajinasi anak-anak karena kontrol guru yang cenderung melakukan
pemaksaan prakonsepsi secara terstruktur terhadap cara berpikir siswa. Selain
itu, sekolah juga dikritik karena baik guru maupun birokrasi pendidikan seolah
hanya membangun dindingdinding kejumudan tanpa menghargai kreativitas anak.
Di era 80-an, lagu dari Pink
Floyd itu bahkan dilarang diputar di Afrika Selatan karena dianggap telah
memprovokasi masyarakat untuk berdaya dan mau terlibat mengurusi sekolah.
Gambaran suram pendidikan melalui perilaku guru dan manajemen sekolah yang
tidak sehat merupakan fenomena umum dari waktu ke waktu, bahkan terjadi hingga saat
ini. Untuk kasus di Indonesia, keterputusan relasi sekolah dan masyarakat
terjadi setidaknya sejak 1973 ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang
inpres di bidang pendidikan.
Dengan keluarnya Inpres SDN No
10/1973, titik awal keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem
persekolahan di Tanah Air dimulai. Dengan inpres itu pemerintah telah mengambil
alih ‘kepemilikan’ sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik
pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratis bahkan sentralistis.
Mengembalikan kepemilikan sekolah
kepada masyarakat merupakan agenda yang harus terus digulirkan melalui beragam
skenario. Salah satunya seperti diusulkan oleh Gerry Stahl (2004), yakni
praktik community-based learning (CBL) yang merujuk pada beragam bentuk
pembelajaran, baik secara individual maupun kelompok dalam rangka melibatkan
kembali peran masyarakat terhadap pendidikan secara aktif. Hal itu karena
secara ekstrem CBL merupakan konsepsi sosial terhadap bentuk pembelajaran yang
berlangsung di bawah kontrol masyarakat.
Masyarakat apatis
Jika pendidikan
diartikan secara sederhana dalam bentuk kelembagaan, sekolah adalah
penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat bergantung setiap anggota
masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Dengan sekolah yang
memperoleh dukungan dari masyarakat yang berkehendak untuk berubah,
sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang benar. Tetapi jika yang
terjadi ialah sebaliknya, ketika masyarakat apatis dan tidak peduli dengan
sekolah, bisa jadi peran sekolah yang laksana pabrik akan terus bertahan dalam
memproduksi robot-robot yang tak punya hati.
Pada tingkat tertentu, kondisi
persekolahan kita akan menjelma menjadi beban bagi masyarakat. Karena seperti
disebutkan oleh Geneva Gay (2000), school
cannot solve society's problems. In fact, school could affect much more rapid
reforms if society changed fi rst. If society really stopped being racist, it
would insist (and enforce the expectation) that all its institutions, including
school, do likewise. Ini artinya harus ada kemauan yang secara positif dan
aktif tumbuh dari kesadaran masyarakat untuk mengambil alih peran pemerintah
dalam mengelola pendidikan secara tunggal.
Di tengah sikap mental masyarakat
kita yang saat ini sangat permisif dari segi budaya dan mudah mengambil
kesimpulan karena belum terbiasa dengan perbedaan pendapat, jelas posisi
sekolah sebagai katalisator kehidupan bermasyarakat bagi anak-anak di masa
depan menjadi dipertanyakan. Sekolah dengan struktur manajemen yang sehat dan
dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang tepat untuk mengatasi
berbagai masalah yang muncul saat ini di tengah masyarakat.
Jika sekolah dipercayai sebagai
tempat untuk menempa seseorang dalam mengembangkan kapasitas intelektual, di
saat ribuan teks dan buku diajarkan dan dibaca secara reguler dan inspiratif
melalui serangkaian proses belajar mengajar yang baik, tak mengherankan bila
sampai saat ini masih banyak orang menaruh harapan terhadap eksistensi sekolah.
Meskipun sekolah kerap dikritik sebagai tempat atau karantina yang mungkin saja
membelenggu kebebasan manusia dalam berekspresi (deschooling society), hingga saat ini hanya lembaga itulah
(sekolah) yang di luar keluarga (family)
masih memiliki kekuatan melakukan perubahan, baik terhadap perorangan
maupun kelompok.
Pentingnya mengembalikan peran
masyarakat agar bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan di tingkat
sekolah/lokal melalui sebuah program pemberdayaan yang terstruktur dan
sistematis adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Jika masyarakat
paham tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan
sekolah, mengerti meski sedikit tentang performance
indicators baik yang berkaitan dengan siswa maupun guru, serta paham
tentang arah pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan memperoleh dukungan
yang baik (Boyd and Claycomb, 1994).
Bentuk pemberdayaan terhadap
masyarakat paling tidak mencakup program pemberdayaan orangtua (parent empowerment) dan kemitraan
masyarakat dan sekolah (partnership/communal
parents and teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian
tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan
sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal
partnership) merupakan strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh
besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch
and Goldring, 1998).
Dari program pemberdayaan itu
akan muncul kesimpulan, apakah misalnya sebuah sekolah harus dikelola
berdasarkan prinsip-prinsip pembiayaan yang berorientasi pasar atau dibangun
berdasarkan kemampuan masyarakat itu sendiri. Di tengah desakan liberalisasi
ekonomi yang merambah hingga ke jantung sekolah, pola partnership sekolah dan masyarakat adalah pilihan strategis dan
fundamental untuk menentukan posisi masyarakat dan sekolah secara bersamaan.
Posisi tawar masyarakat terhadap kualitas sekolah, dengan demikian, harus terus
digiring ke arah pertumbuhan yang sesuai dengan tingkat kemampuan pembiayaan
masyarakat itu sendiri, sehingga hal itu diharapkan akan menjadi pertanda
bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak kasus ditemukan bahwa
semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan kebijakan sekolah, maka akan
semakin baik kualitas sebuah proses pendidikan akan berlangsung (Resnick, 2000). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar