Rabu, 21 Agustus 2013

Teror dan Tata Kelola Senpi

Teror dan Tata Kelola Senpi
Hendardi  ;   Ketua Setara Institute, Jakarta
SUARA KARYA, 21 Agustus 2013

Selama Agustus 2013, setidaknya terjadi 11 kasus penembakan dengan menggunakan senjata api. Apa pun jenis senjata api yang digunakan, airsoft gun ataupun air gun, penembakan itu antara lain telah menimbulkan kematian. Di antara mereka yang menjadi korban meninggal dunia adalah pegawai LP Wirogunan, Yogyakarta, dan dua anggota Polri di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.
Polri telah menunjuk atau setidaknya menemukan indikasi keterlibatan jaringan teroris di balik serangan itu, khususnya dalam peristiwa penembakan terhadap dua anggota kepolisian.

Teror senjata api termasuk penembakan terhadap personel Polri, siapa pun pelakunya, adalah buah tata kelola peredaran dan penggunaan senjata api yang nirakuntabilitas. Tanpa akuntabilitas yang tinggi, teror senpi akan terus berulang. Audit peredaran senjata api secara berkala adalah jawaban untuk mengatasi soal ini, bukan melulu kepada warga pemegang senpi tapi juga personel Polri, TNI, dan lain-lain. Dalam beberapa peristiwa, jaringan teroris juga dikenal mampu merakit senpi. Demikian pula sekelompok masyarakat mudah mengakses alat-alat bersenjata dan berdaya ledak. Tetapi, kontrol utama tetap harus diarahkan kepada institusi keamanan.

Di tengah keterbatasan akuntabilitas, kelompok teroris adalah kambing hitam yang paling mudah dituduh sebagai pelaku. Padahal, tidak sesederhana itu analisis yang mesti dikembangkan. Logika dendam kepada aparat yang terus memburu jaringan teroris dan menimbulkan kebencian mendalam sangat mudah dipatahkan. Perlu dicatat bahwa kelompok teroris juga paham betul siapa musuh mereka sesungguhnya. Polri hanya aparat pelaksana. Penanganan sporadis dan sederhana atas teror senpi telah memutus potensi lain dari teror sistematis ini. Padahal, bukan tidak mungkin ada kekuatan lain yang bekerja menebar teror untuk tujuan menciptakan instabilitas politik dan keamanan.

Teror senjata api sesungguhnya telah mengikis rasa aman warga negara. Apalagi sasarannya justru mereka yang memiliki senjata, seperti anggota Polri. Pemerintah wajib melakukan audit atas peredaran senjata api yang berdasarkan catatan Imparsial (2013) 41.102 pucuk beredar legal di masyarakat. Sebanyak 17.983 pucuk berizin untuk bela diri, 11.869 pucuk untuk polisi khusus), 6.551 pucuk untuk olahraga, dan 4.699 pucuk untuk satpam. Peredaran senjata api tanpa aturan yang jelas, tanpa pengawasan dan evaluasi berkala, hanya menjadi potensi teror berkepanjangan.

Perlu diingat, penyalahgunaan senjata api tidak melulu didominasi aktor non-negara. Justru ironisnya aparat negara juga dengan mudah memuntahkan peluru secara tidak bertanggung jawab. Kasus penyerbuan dan penembakan tahanan di LP Cebongan, Yogyakarta, adalah salah satu contoh. Karena itu, segenap penyelenggara negara, Polri, TNI, BIN, pemerintah dan DPR perlu menyikapi persoalan ini secara holistik. Apakah perlu pembentukan undang-undang yang mengatur soal senpi atau cukupkan diwadahi dengan peraturan pemerintah, misalnya. Sekalipun undang-undang bukan satu-satunya jawaban, paling tidak kehadiran peraturan bisa menjadi landasan bagi Polri dan pemegang otoritas persenjataapian untuk melakukan penataan. Polri dan otoritas persenjataan selalu berargumen bahwa ketiadaaan pengaturan soal senpi menjadi penyebab sulitnya menghadirkan akuntabilitas peredaran dan penggunaan senjata api.


Penyikapan jangka pendek, menemukan pelaku-pelaku teror adalah keharusan. Tetapi, berhenti pada penyikapan sporadis, kasus serupa bakal terjadi lagi di masa mendatang. Baik pengungkapan peristiwa penembakan maupun penyediaan landasan hukum yang kokoh, keduanya sama-sama untuk menunjukkan bahwa negara berwibawa dan mampu menciptakan rasa aman. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar