Rabu, 21 Agustus 2013

Budaya Urbanisasi

Budaya Urbanisasi
Udin Sichaini  ;   Pegawai di bagian Pengolahan
Subdirektorat Statistik Ketahanan Wilayah, BPS RI
SUARA KARYA, 21 Agustus 2013

Arus balik pasca Lebaran selalu memunculkan masalah yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Jumlah pendatang baru yang mengadu nasib ke kota cenderung melinjak. Konsisten dengan pemikiran pemerintah, perlu dicarikan solusinya bagaimana cara membendung arus lonjakan pendatang baru tersebut?

Permasalahan meningkatnya kaum urban, tidak hanya dialami di Jakarta. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tangerang Selatan, misalnya, tahun ini memprediksi jumlah pendatang akan meningkat hingga 12.000 orang, meningkat 1 persen dari jumlah penduduk 1,2 juta jiwa. Sedangkan jumlah penduduk Kota Bekasi bertambah 157.000 jiwa per tahun atau 430 jiwa per hari. Sementara Pemprov DKI Jakarta sendiri memprediksi jumlah pendatang baru mencapai 50 ribu jiwa.

Pendatang baru sebenarnya bukan menjadi masalah bagi pemerintah kota tujuan selama mereka memiliki pendidikan yang cukup dan mampu bersaing. Lonjakan jumlah pendatang baru menjadi masalah serius apabila di antara mereka tidak memiliki keahlian, yang tentu akan menjadi beban pemerintah.

Ketimpangan

Jakarta memang kerap dianggap sebagai simbol kemapanan ekonomi. Kawan-kawan saya yang bekerja di luar Jakarta (Jabotabek) selalu mengatakan merantau ke Jakarta, padahal di antara mereka ada yang bekerja di Bekasi, Cikarang, Depok, atau Tangerang, misalnya. Mereka tetap saja menyebut merantau ke Jakarta dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Anggapan memperoleh kehidupan yang lebih baik ini karena ketimpangan ekonomi yang terlalu jauh terjadi antara kondisi di perkotaan dan perdesaan. Lapangan pekerjaan lebih banyak di perkotaan, sementara kesempatan kerja di perdesaan cenderung rendah, sehingga dengan merantau ke kota dianggap cukup menjanjikan untuk memperbaiki nasib hidupnya.

Kondisi di perkotaan berbeda dengan kehidupan pertanian di perdesaan. Lahan pertanian bukan lagi dianggap sebagai hal yang menarik untuk dijadikan lapangan usaha. Masyarakat yang melihat peluang kerja di perkotaan lebih menjanjikan memilih mengadu nasib ke kota, mereka bukannya berusaha untuk memperbaiki kondisi pertanian yang ada di desa-desa. Dhus, semakin lama, pertanian dikelola oleh penduduk yang berumur tua hingga membuat produktivitas kinerja pertanian juga ikut menurun. Anggapan sebagai pekerjaan kasar dan memberikan hasil pendapatan yang rendah, membuat pertanian semakin ditinggalkan oleh kaum muda.

Pendapatan yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan antara di perkotaan dan perdesaan, bahkan mencapai dua kali lipat. Upah minimum kota (UMK) di Solo, misalnya, masih di kisaran Rp 915.000 per bulan, di Jakarta sudah Rp 2.200.000 per bulan. Masyarakat awam sepertinya hanya melihat nominal, bukan kebutuhan hidup layak (KHL). Termasuk ketimpangan sarana dan prasarana infrastruktur dasar, membuat kemudahan masyarakat perkotaan dalam mengakses pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Kota sebagai pusat perekonomian menawarkan daya aglomerasi yang kuat, baik bagi individu orang per orang maupun perusahaan-perusahaan. Perspektif modern, aglomerasi digambarkan sebagai penghematan akibat lokasi yang saling berdekatan, produsen, bahan baku, tenaga kerja, konsumen, serta fasilitas ekonomi lainnya, termasuk infrastruktur. Pada aglomerasi perkotaan, kepadatan penduduk yang cukup, dapat dipandang sebagai sebuah keuntungan.

Pola seperti ini lazim terjadi di kota-kota besar tujuan urbanisasi. Dalam buku 'Ekonomika Aglomerasi' (Mudrajad Kuncoro, 2012), aglomerasi industri manufaktur dan populasi besar berkembang di dua kutub, yaitu Jabotabek dan Bandung serta Surabaya. Masing-masing sekitar 65 persen dan 71 persen dari total tenaga kerja dan output di Jawa. Pola ini diperkuat dengan ketersediaan infrastruktur dasar dan fasilitas layanan publik. Sejak tahun 1985, Jawa dan Bali telah menarik lebih dari 50 persen investasi asing, di mana konsentrasi tinggi investasi di daerah perkotaan. Dengan demikian, pertumbuhan industri besar sebenarnya banyak terjadi di daerah perkotaan. Daerah-daerah inilah yang kemudian menjadi tujuan urbanisasi.

Salah satu solusi untuk memecahkan masalah urbanisasi adalah dengan membangun pusat perekonomian baru atau investasi industri manufaktur yang baru. Manfaat urbanisasi yang membentuk kelompok besar populasi penduduk, menjadikan pasar tenaga kerja dan konsumsi berkumpul. Hal ini mampu meminimalkan biaya distribusi.

Pola pembangunan seperti ini memang bisa berdampak positif bagi pusat-pusat ekonomi dan industri, tetapi dalam jangka panjang potensial berdampak negatif bagi wilayah perdesaan. Dampaknya adalah semakin berkurangnya tenaga kerja muda bidang pertanian di desa-desa. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang sinergis antara kebijakan pemerintah perkotaan dan perdesaan.

Setiap penduduk memiliki hak bekerja dan memilih lokasi kerja di setiap jengkal wilayah Negara 
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan segala hak dan kewajibannya sebagai tenaga kerja, selama kesempatan bekerja itu tersedia seluas-luasnya. Hak untuk bekerja selalu berkaitan erat dengan kesempatan bekerja, termasuk peluang membuka usaha.

Karena itu, apabila seseorang mengadu nasib ke kota tetapi tetap tidak mampu memperbaiki nasibnya, tentu merupakan sebuah kemunduran. Seharusnya, siapa pun yang datang ke kota harus memiliki skill atau kemampuan agar mampu bersaing, bisa memperoleh berlipat-lipat pendapatan dibandingkan dengan ketika tinggal di perdesaan.


Yang jelas, budaya merantau memiliki pengaruh yang baik bagi masyarakat, industri, atau pemerintah. Apa pun dampak negatif yang terjadi akibat ketimpangan dan kurangnya sinergitas kebijakan antar daerah karena otonomi, jangan sampai alasan ini menjadikan harapan penduduk untuk memperbaiki nasib, tetap menjadi sebuah mimpi. Semoga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar