Sabtu, 24 Agustus 2013

Suka-Suka Presiden Memberi Tanda Gelar

Suka-Suka Presiden Memberi Tanda Gelar
Ardi Winangun ;    Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
OKEZONENEWS, 23 Agustus 2013



Setiap tahun, tepatnya menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus dan Hari Pahlawan 10 November, pemerintah memberi Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan kepada mereka yang dirasa berjasa besar di suatu bidang atau peristiwa tertentu yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa dan negara.

Tahun ini mereka yang mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana adalah Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Almh Hj Rahman El Yunusiyyah, dan Alm Abdul Rahman Baswedan. Dari kesebelas orang itu, 8 diantaranya adalah menteri di bawah kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Melihat komposisi penerima tanda kehormatan yang mayoritas adalah menterinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasti banyak orang mencibirkan atau mentertawakan pemberian tanda gelar itu. Ditertawakan bukan karena orangnya lucu-lucu namun apa hebatnya kedelapan menteri itu sehingga mendapat tanda kehormatan yang agung.

Lihat apa prestasi mereka? Dalam pendidikan masih banyak masalah dalam ujian nasional, dibatalkan RSI, masuknya hal-hal yang berbau pornografi ke dalam buku ajar sekolah, dan roboh serta rusaknya gedung sekolah dasar. Dalam bidang agama, apa hebatnya? Kita lihat masih banyak masalah intoleransi, pengusiran kelompok minoritas, susahnya membangun rumah ibadah, polemik perbedaan awal puasa, dan ruwet dalam masalah haji. Dalam bidang pekerjaan umum, bagaimana masih banyak jalan rusak, di sepanjang pantai utara jalan rusak menahun.

Dengan banyaknya catatan buruk di atas, tentu kurang pas bila menyamakan kedelapan menteri itu dengan Almh Hj Rahman El Yunusiyyah dan Alm Abdul Rahman Baswedan. Rahmah El Yunusiyyah (1900-1969) adalah pejuang kesetaraan pendidikan kaum perempuan di Sumatera Barat. Di Padangpanjang, Sumatera Barat, dirinya mendirikan perguruan perempuan. Kiprahnya tidak hanya semerbak wangi di wilayah itu namun juga tercium hingga ke Malaysia. Tak heran bila banyak orangtua di negeri jiran menyekolahkan anaknya di perguruan yang dibina oleh Rahmah El Yunusiyyah.

Di antara murid yang berasal dari negeri jiran yang pernah belajar padanya, di tahun 1936-1939, ada yang menjadi menteri sosial dan anggota DPR Malaysia. Dampak perjuangan Rahmah El Yunussiyah tidak hanya membuat perubahan di Sumatera Barat namun juga hingga ke wilayah Sumatera lainnya bahkan sampai Malaysia. 

Pun demikian, Abdul Rahman Baswedan. Pria berdarah Arab kelahiran Surabaya, 9 September 1908 itu memiliki jasa yang sangat besar kepada bangsa dan negara. Pria yang lebih kesohor disebut AR Baswedadn itu adalah seorang nasionalis, wartawan, diplomat, sastrawan, dan pejuang kemerdekaan. Dirinya pernah menjadi anggota BPUPKI, Menteri Muda Penerangan Kabinet Sjahrir. Anggota BPKNIP, anggota Dewan Konstituante. 

Saat dirinya menjadi diplomat, AR Baswedan mampu meloby pemerintahan Mesir agar mendukung kemerdekaan Indonesia secara penuh. Tak hanya itu, untuk menunjukkan kesetiaan warga keturunan Arab di Indonesia, AR Baswedan mempelopori Sumpah Pemuda Keturuan Arab. Isi dari pertemuan itu menyatakan Indonesia sebagai tanah air dan akan ikut berjuang memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Alasan kedelapan menteri itu mendapat tanda kehormatan itu, menurut Ketua Dewan Gelar dan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Djoko Suyanto karena mereka sudah mengabdi sebagai menteri lebih dari satu periode. Bila itu menjadi dasar pemberian gelar maka boleh dikatakan ukurannya hanya mengacu pada pengabdian tanpa melihat prestasi. Dasar yang dijadikan alasan pemberian tanda kehormatan terlalu sumir dan dipaksakan. Bila mereka mengabdi selama dua periode atau 10 tahun, bukankah di antara menteri itu posisinya ada yang selalu tak sebidang. Misalnya Mari Elka Pangestu sebelum menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif adalah Menteri Perdagangan. Hatta Rajasa sebelum menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian adalah Pelaksana Tugas Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Perhubungan. Demikian pula Muhammad Nuh sebelum menjadi Menteri Pendidikan Nasional adalah Pelaksana Tugas Menteri Kebudayaan Pariwisata dan Kebudayaan serta Menteri Komunikasi dan Informasi. Bagaimana mereka bisa berprestasi dalam bidang-bidang itu bila masa kerjanya pendek-pendek? 

Pemberian gelar apapun, mulai dari Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, Bintang Kemanusiaan, Bintang Penegak Demokrasi, dan Bintang Budaya Parama Dharma, serta tanda jasa lainnya selama ini memang kesannya subjektif dan penuh dengan unsur kepentingan politik. Bila pemberian tanda gelar itu dirasa mampu mendongkrak popularitas atau citra politiknya maka tanda gelar itu diberikan kepada yang bersangkutan atau keluarganya. Bila tidak ada dampak politik meski yang bersangkutan mempunyai banyak jasa, tanda gelar itu tak akan diberikan. Pemberian gelar pahlawan kepada Soekarno baik semasa Orde Baru dan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diduga kuat karena adanya kepentingan politik daripada pertimbangan jasanya. Pertimbangan politik pula membuat orang-orang yang dirasa berbau komunis atau tak sejalan dengan kepentingan TNI akan susah menerima tanda-tanda gelar. 

Selain subjektivitas dan adanya kepentingan politik, payung hukum pemberian tanda-tanda gelar seperti UU. No. 20 Tahun 2009, PP. No. 1 Tahun 2010, PP. No. 35 Tahun 2010, dan Permen Sekretaris Negara No. 2 Tahun 2011, menunjukkan dominasinya pemerintah. Pemerintah di bawah Presiden tentu Presiden menjadi dominan dalam masalah ini. Meski ada saluran pengusulan dilakukan oleh masyarakat namun prosesnya melalui lembaga-lembaga pemerintahan. Tentu lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di bawah Presiden seperti Sekretaris Negara, pemerintah daerah di bawah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, dan Panglima TNI, akan menyisir calon-calon yang diusulkan itu sesuai dengan selera Presiden. 

Dengan dominannya unsur subjektifitas dan selera Presiden itulah kadang kita kaget atas keputusan Presiden terkait pemberian tanda gelar. Misalnya Si A yang biasa-biasa saja tapi kok dapat bintang tanda jasa atau bintang tanda kehormatan bahkan gelar pahlawan. Kadang kita juga heran mengapa Si B yang benar-benar hidupnya diabdikan kepada bangsa dan negara tidak diangkat-angkat menjadi pahlawan.

Dengan demikian bisa disimpulkan pemberian Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada 8 menterinya itu adalah bentuk suka-suka Presiden. Soal prestasi itu bisa dikarang-karang. Di akhir masa jabatan Presiden, mereka diberi hadiah tanda jasa itu sebagai kenangan manis bahwa kita pernah bersama.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar