Sabtu, 24 Agustus 2013

Deradikalisasi, Desakralisasi dan Gerakan Keagamaan Radikal

Deradikalisasi, Desakralisasi
dan Gerakan Keagamaan Radikal
Harry Bawono ;    Peminat Religious Archives Studies
di Pusat Kajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan
DETIKNEWS, 22 Agustus 2013



Pada bulan Ramadhan lalu, tepatnya Minggu malam (04/08) sekitar pukul 19.30 WIB, Dua buah Bom meledak di Vihara Ekayana, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Ledakan ini memunculkan isu keterkaitan bom tersebut dengan konflik sektarian di Myanmar sana setelah ditemukan pesan yang tertulis pada bom, kami mendengar jeritan Rohingya, sebagaimana detik.com melansir.

Melihat perkara ini Editorial Media Indonesia (06/08) menuliskan bahwa kasus bom Vihara Ekayana menjadi secuil bukti bahwa program deradikalisasi yang digadang-gadang oleh pemerintah sejauh ini belum optimal berjalan.

Lebih lanjut dalam Inside Metro TV (08/08) mengulas mengenai program deradikalisasi yang selama ini berjalan dengan melibatkan banyak pihak yang pernah terlibat dalam gerakan radikal yang mengambil wajah kekerasan & penyimpangan perilaku lainnya diantaranya alumni mujahid Afganistan dan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX (NII KW IX).

Melalui program deradikalisasi ini mereka yang pernah terlibat pada ger akan radikal telah kembali ke masyarakat dan malah menjadi relawan bagi program deradikalisasi ini.

Tulisan ini mengkhususkan pada gerakan keagamaan radikal NII KW IX. Pertimbangan ini dilakukan karena pengalaman pribadi penulis yang pernah di "prospek" untuk bergabung dengan NII KW IX namun menolaknya.

Dari hasil telaah ini, penulis ingin menunjukkan bahwa salah satu inti masalah dari NII KW IX dan bisa saja gerakan keagamaan radikal lainnya yang mampu secara relatif mudah dalam merekrut anggota dan mempertahankanya adalah sakralisasi tafsir kitab suci.

Kendati sakralisasi tafsir kitab suci hanya salah satu dari sekian banyaknya permasalahan yang melingkupi gerakan radikal keagamaan, namun demikian tidak bisa diacuhkan begitu saja. Hemat penulis, program deradikalisasi akan berjalan dengan lebih sempurna ketika melibatkan usaha untuk membongkar sakralisasi tafsir kitab suci ini melalui desakralisasi.

NII KW IX: Pengalaman Pribadi Penulis

Dari ulasan Inside Metro TV mengenai deradikalisasi yang salah satunya memuat NII KW IX, penulis lantas teringat kembali akan pengalaman penulis ketika masih berstatus mahasiswa strata satu salah satu universitas di daerag Depok, Jawa Barat.

Sekitar tahun 2007, tepatnya penulis agak lupa, pada suatu hari penulis diajak seorang teman, perempuan berjilbab, sebut saja B,untuk menemaninya bertemu dengan kawan lama, sebut saja C. Tibalah kami disebuah rumah kontrak yang lumayan luas. Banyak orang disana. Rumah kontrakan itu ternyata ditinggali oleh beberapa orang.

Dari pertemuan itu, C mengaku baru saja mengikuti seminar di Malaysia mengenai Islam. Berlanjut dan berlanjut, C terus bercerita mengenai Islam, sembari memegang Al Quran terjemahan. Hingga suatu ketika C menyudahi dan memilih untuk melanjutkannya di lain hari.

Di pertemuan kedua, C kembali bercerita perihal Islam, lanjutan cerita tempo hari. Singkat kata, penulis pun melontarkan pertanyaan, terus melontarkan pertanyaan dan sanggahan.

Hingga C berkata, "semua ini (yang diceritakanya) ada di dalam Al Quran, masak kamu bantah!," Teman penulis, B pun ikut serta membela dan seakan memojokan penulis, meskipun tidak secara langsung, B hanya berkata, "iya benar (terlihat bersepakat dengan C)," Dari perbincangan ini penulis membatin, sepertinya perbincangan ini tidak sehat.

Dan C pun mengakhiri cerita yang lebih mirip ceramah itu. Sebenarnya, C masih menawarkan untuk kembali bertemu. B pun masih meminta penulis untuk menemaninya datang ke pertemuan itu. Namun, penulis tidak bersedia. Karena penulis mencium aroma yang tidak beres dengan C dan bahkan dengan B.

Keruan saja, ternyata si B sudah direkrut dan bergabung dengan kelompok si C. Hal ini penulis ketahui setelah penulis konfirmasi dengan salah seorang teman yang sempat aktif lama di NII KW IX dan kini aktif sebagai garda depan dalam melakukan perlawanan terhadap NII KW IX melalui seminar-seminar dan konsultasi.

Dari cerita teman penulis yang mantan NII KW IX ini, digambarkan perihal modus perekrutan dan tindak tanduk seorang yang terlibat dalam gerakan NII KW IX, semua itu cocok dengan B dan C. Dari sinilah penulis mengetahui bahwa kelompok yang diikuti oleh B dan C adalah NII KW IX.

Sebelumnya penulis tak habis pikir, si B yang penulis kenal dari semenjak dibangku Sekolah Menengah Atas (SMA) selalu aktif dikegiatan remaja mesjid hingga dibangku kuliah, bisa dengan mudah bergabung dengan gerakan seperti itu. Padahal dari segi pengetahuan agama, penulis kira B tidak kurang.

Lantas, dari hasil pertemuan itu dan perbincangan dengan teman-teman yang sempat aktif ditambah dengan data dari berbagai sumber, penulis melihat ada satu inti yang menjadikan NII KW IX mampu terus lestari dan merekrut anggota yakni pengidentikan tafsir NII KW IX terhadap kitab suci dengan kitab suci itu sendiri.

Sehingga ada kesetaraan kesucian antara tafsir NII KW IX dengan kesucian kitab suci itu sendiri, inilah yang penulis sebut sebagai sakralisasi tafsir kitab suci. Dengan dasar inilah lantas mesin NII KW IX berjalan.

NII KW IX: Desosialisasi dan Resosialisasi

Pintu masuk ke dalam gerakan NII KW IX adalah ketika perekrutan. Pada level inilah NII KW IX menjaring "mangsa" untuk dipertobatkan.

Pada level ini pulalah individu-individu yang sebelumnya tidak mengenal pemahaman ala NII KW IX diperkenalkan secara perdana.

Berarti ada nilai-nilai atau ide-ide yang harus dimasukan oleh NII KW IX dalam kepala individu-individu yang telah masuk dalam daftar "mangsa" sehingga mereka bersepakat dan akhirnya bergabung dengan NII KW IX.

Secara sosiologis, penanaman nilai dan segenap ide-ide kepada seorang atau sekelompok individu berlangsung melalui proses sosialisasi. Jika individu tersebut telah mengenal nilai-nilai tertentu dan ketika memasuki dunia baru maka terjadi dua hal, desosialisasi dan resosialisasi.

Desosialisasi adalah proses pencabutan atau pengapusan nilai-nilai lama yang telah dianut oleh individu tersebut. Dalam proses desosialisasi ini salah satu unsur paling kentara adalah penyesalan dengan menanamkan bahwa nilai-nilai yang lama adalah kegelapan dan limbah dosa sehingga perlu dihapus dan diluluhlantakan untuk selanjutnya ditanamkanlah nilai-nilai baru. Penanaman nilai-nilai pengganti atau baru inilah yang disebut resosialisasi.

Proses desosialisasi berlangsung diawal, kegiatan ini dinamakan tilawah. Level tilawah berlangsung dalam beberapa kali pertemuan, biasanya tiga hingga empat kali pertemuan.

Pada level tilawah ini, calon anggota disugguhkan konsep-konsep dasar mengenai ke-islam-an versi NII KW IX. Proses desosialisasi diawali dengan uraian perihal Islam itu sendiri. Dalam konsepsi NII KW IX, Islam sebagai sesuatu yang kaffah (menyeluruh) ketika ia meliputi segala sendi kehidupan manusia; ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain-lain.

Karena dalam negaralah keseluruhan proses kemasyarakatan berlangsung dan diatur. Kesimpulan ini merujuk kepada dua surat, dalam Al Quran, sura pertama, Al Fatihah dan surat terakhir, An Naas.

Dari hasil telaah versi NII KW IX, didapati bahwa dalam dua surat itu terdapat unsur yang sama mengenai tiga hal, rububiyah (hukum), Mulkiyah (tempat) dan Uluhiyah (umat). Pemaknaan ini lantas dianalogikan dengan tiga syarat berdirinya negara, rakyat, wilayah dan hukum.

Dengan adanya ketiga unsur tersebut, NII KW IX dengan percaya diri lantas berkesimpulan Al Quran adalah kitab kenegaraan. Sebuah pegangan bagi berdirinya sebuah negara dan pedoman bagaimana sebuah negara dijalankan. Dengan bersandar pada kesimpulan itu, maka mutlaklah negara Islam bagi keberlangsungan Islam.

Negara Islam menjadi penentu kesyahan iman dan ibadah seorang hamba. Tanpa negara Islam, iman dan ibadah yang selama ini telah ada dan berjalan hanyalah sia-sia, ibarat tepuk tangan belaka, ujar pihak NII KW IX. Disinilah distingsi antara jahiliyah pra-Mekah dan Era cerah Islam Madinah dikukuhkan oleh NII KW IX.

Sejauh berada diluar negara Islam maka kesia-sian dan kejahiliyahan yang eksis dan nyata ada. Hal ini berarti hanya kesalahan dan dosalah yang melekat. Pada titik inilah, sang (calon) individu yang mengalami proses desosialisasi mengalami penyesalan dan merasakan kesia-siaan. Dengan begitu, individu ini lantas menyangkal keseluruhan hidupnya selama ini.

Dalam kondisi m enyesal atas kehidupan lampaunya yang berselimut dosa dan keinginan untuk menghapus dosa-dosa itu, masuklah pengukuhan yang lebih dalam perihal NII KW IX. Pihak NII KW IX menawarkan sebuah solusi bagi penghapusan atas kesia-sian selama ini.

Solusi itu tak lain adalah bergabung dengan NII KW IX atau dalam bahasa NI KW IX disebut hijrah. Berpindah dari peluh dosa, dunia jahiliyah pra-Mekah (sebelum NII KW IX) menuju dunia terang era Madinah (NII KW IX). Dengan pengkondisian dan penyesalan yang ada, sang individu yang menerima selanjutnye dibai'at dengan syarat infaq awal dengan nominal tertentu.

Setelah hijrah, anggota NII KW IX memasuki tahap selanjutnya dalam penanaman ide atau nilai NII KW IX, tahap ini adalah tazkiah, dalam tahap ini resosialisasi berlangsung.

Setelah pada tahap tilawah calon anggota dijejali dengan berbagai paham yang bertujuan untuk mengutuki masa lalu calon anggota pra-NII KW IX dan membuat menyesal hingga akhirnyta memilih "taubat" dengan bergabung dengan NII KW IX. Pada tahap tazkiah, ide-ide dan nilai-nilai NII KW IX yang lebih mendalam dan total diselusupkan ke benak anggota.

Pada level resosialisasi, dilakukan suatu kegiatan layaknya kelas-kelas kecil, dimana ada pembicara sementara anggota baru mendengar semua materi yang diberikan.

Tidak berbeda dengan pemberian materi kuliah atau pelajaran ataupun diskusi. Bedanya, hal ini lebih banyak berlangsung satu arah dan sekali lagi melalui sakralisasi tafsir kitab suci. Itulah yang membuat materi terasa begitu mudah ditangkap dan para anggota baru bersetuju tanpa perlu banyak mengolah dan mempertanyakannya kembali.

Salah satu materi yang begitu kentara, setahu penulis adalah mengenai sejarah. Sejarah mengenai Negara Islam Indonesia. Poros sejarah yang tadinya berada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kini dibalikan menjadi sejarah Negara Islam Indonesia. Dalam skema ini, semua gejala politik dalam alur perjalanan historis dimaknai sebagai nubuwah bagi mewujudnya Negara Islam Indonesia.

Selain itu pula, mulai ditularkan bagaimana laku perjuangan harus dijalankan. Salah satu cara yang digembar-gemborkan adalah pencarian dana bagi perjuangan. Berbohong, menipu dan apapun itu selama mendatangkan pundi-pundi bagi perjuangan dibenarkan.

Modus paling sering digunakan adalah membuat proposal palsu, membohongi orang tua untuk mendapat uang dengan dalih membayar kuliah, mengganti laptop teman yang dihilangkan dan berbagai alasan lainnya. Lagi-lagi mereka memilih tuk bersetuju.

Hal mendasar yang membuat mereka mudah bersetuju dengan tindakan itu semua lagi-lagi adalah sakralisasi tafsir kitab suci. Dengan dasar ini, makna menyimpang atas tindakan penipuan, pencurian dan kebohongan dibalik sedemikian rupa menjadi nilai positif yang mendukung perjuangan. Belum lagi tekanan masif dari para senior dan pejabat atasan mereka di NII KW IX.

Mekanisme untuk mengaburkan pandangan orang luar pun diberikan. Ada mekanisme pertahanan diri para anggota NII KW IX agar tidak mudah ketahuan ataupun mengaku ketika diinterogasi oleh orang-orang luar NII KW IX.

Dasar dari mekanisme pertahanan diri adalah masalah internal NII KW IX itu aurat. Sebagaimana pemaknaan agama, aurat tidak boleh dibuka sembarangan, karena hukumnya berdosa.

Dari informasi ini bisa dilihat misalnya, kasus-kasus yang disinyalir berkaitan dengan orang-orang yang diketahui bergabung dengan aliran agama tertentu (NII KW IX) dan diketemukan dalam kondisi linglung, bingung dan tak mengakui identitas sebelumnya. Kondisi linglung, bingung dan tak mengakui identitas sebelumnya ini banyak disangka sebagai imbas cuci otak ataupun hipnosis.

Menurut penulis dengan segala informasi yang ada, semua gejala itu bisa jadi hanyalah mekanisme pertahanan diri dari anggota NII KW IX.

Mengapa? Sebagaimana sempat diulas sebelumnya, segala bentuk kegiatan dan masalah inter al NII KW IX adalah aurat yang harus ditutupi dari pihak luar. Maka dengan segala upaya akan dilakukan demi terjaganya kerasahasian NII KW IX.

Maka jelas terlihat bahwa dua proses, desosialisasi dan resosialisasi, menjadi proses pengalihan dari individu yang belum menjadi NII KW IX berubah menjadi hamba NII KW IX dan mempertahankan para anggota selama mereka menjadi hamba. Hal ini tidak istimewa karena desosialisasi dan resosialisasi adalah proses wajar yang dilakukan oleh gerakan atau organisasi manapun dalam merekrut dan mempertahankan anggota mereka.

Jadi, menurut penulis, kabar mengenai cuci otak ataupun hipnosis terkait dengan perekrutan anggota NII KW IX, perlu ditelusuri lebih lanjut. Karena sejauh penulis alami dan amati, mekanisme yang dilakukan mereka hanya permainan logika sederhana dengan proses yang wajar ditemukan dimanapun, bedanya, sekali lagi, terletak pada sakralisasi tafsir kitab suci dan dimainkan secara hegemonik.

Hegemoni merupakan kerangka Gramscian yang melihat mekanisme pengukuhan kekuasaan yang dilakukan melalui jalur non represi, bersifat sangat halus sehingga pihak yang dikuasai tidak me nyadari bahwa dirinya berada dalam pengaruh kekuasaan.

Sakralisasi Tafsir Kitab Suci dan Desakralisasi Tafsir Kitab Suci

Dari pengalaman yang sempat dirasakan oleh penulis, NII KW IX bermain dalam tataran logika singkat yang diputarbalikan dengan hiasan ayat-ayat suci.

Satu kunci yang menjadi pegangan NII KW IX adalah pengidentikan antara tafsir ayat suci dengan ayat suci itu sendiri. Maka itu, jika menyangkal tafsir yang digelontorkan oleh NII KW IX sama saja dengan menyangkal ayat-ayat suci itu sendiri.

Hal inilah yang menjadi pangkal, kenapa hampir setiap anggota dan atau orang-orang yang terjerat dengan NII KW IX tidak mampu membantah, seperti mati kutu. Karena setiap orang yang mengimani sesuatu pasti takut untuk menyangkal keimanannya itu. Inilah yang penulis sebut sebagai sakralisasi tafsir kitab suci.

Agar tak terjebak dan terbuai oleh sakralisasi tafsir kitab suci, menurut penulis mesti ada desakralisasi tafsir kitab suci. Sebagaimana diketahui, antara ayat suci dan tafsir atas ayat suci itu adalah dua hal yang berbeda. Ayat suci, suci karena dirinya sendiri sebagai produk ilahi.

Sementara tafsir atasnya adalah produk manusiawi, yang sangat tergantung kepada banyak variabel, posisi sosial, kultural, intelektual, politik dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ayat suci itu sendirilah yang sakral, sementara tafsir atasnya serta merta profan dan bebas dipertanyakan.

Dengan desakralisasi tafsir kitab suci, keberanian untuk mempertanyakan apapun yang dihiasi dengan ayat-ayat suci menjadi sangat mungkin terjadi. Justru dengan mempertanyakan kepahaman utuh akan tergapai. Tidak sekedar manut, nurut dan takut hanya karena balutan ayat-ayat suci yang membungkus suatu argumen atau pemahaman.

Dengan begitu jika dihadapkan pada situasi yang demikian itu, setiap orang akan mampu menghadapi argumen-argumen yang dikeluarkan dengan elegan dan tentunya menjadi tidak mudah dipengaruhi.

Dari uraian diatas, jelas terlihat bahwa salah satu dimensi yang dimainkan oleh gerakan keagamaan radikal adalah ide-ide atau pemikiran. Kekhasan gerakan keagamaan radikal adalah membalut ide-ide atau pemikiran dengan sakralisasi tafsir kitab suci, sebagaimana yang terjadi pada NII KW IX.

Sakralisasi inilah yang menjadi salah satu kunci, setidaknya sebagaimana temuan penulis, bagaimana gerakan keagamaan radikal mampu secara mudah merekrut dan mempertahankan strukturnya.

Pada titik ini program deradikalisasi penting untuk masuk dengan mempreteli sakralisasi tafsir kitab suci ini secara hegemonik melalui desakralisasi. Sebab sesuatu yang menyebar secara hegemonik hanya akan mampu dilawan secara hegemonik (counter hegemony) pula. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar