SUARA KARYA, 01
Agustus 2013
|
Fenomena upah buruh yang sangat
rendah merujuk ketentuan upah minimum kabupaten (UMK), harus dianggap sebagai
bukti hegemoni rezim centeng. Artinya, pemerintah (di daerah) sebagai pemegang
kekuasaan lebih memihak kaum pengusaha sehingga dengan sendirinya ikut menindas
kaum buruh.
Yang lebih memprihatinkan,
rendahnya upah buruh sesuai dengan UMK di banyak daerah masih juga diwarnai
dengan banyaknya pengusaha yang membayar upah buruh lebih rendah lagi dibanding
ketentuan UMK dengan alasan macam-macam. Sedangkan pemerintah (di daerah) tidak
tahu menahu atau masa bodoh melihat kesengsaraan kaum buruh, sehingga posisi
pemerintah makin mirip dengan rezim centeng.
Apabila hegemoni rezim centeng
dibiarkan merajalela, yang didukung oknum-oknum aparat, kekuatannya akan
semakin bertambah besar. Banyak fakta menarik yang layak dibeberkan. Misalnya,
masalah keamanan, khususnya di ruang-ruang publik seperti terminal dan pasar,
di banyak daerah di Indonesia, sejak dulu hingga sekarang selalu berkaitan
dengan kehadiran centeng.
Layak diduga, fenomena hegemoni
rezim centeng akan tetap lestari selama masyarakat memerlukan rasa aman,
sedangkan tangan-tangan hukum sebagai aparat resmi dianggap belum mampu
sepenuhnya menjadi pelindung yang betul-betul bisa menjamin keamanan.
Merujuk epistemologi, centeng
berarti seseorang yang direkrut untuk menjaga keamanan dengan mendapat imbalan
di luar sistem yang berlaku. Centeng biasanya memiliki banyak pengalaman
bergaul atau terlibat kriminalitas, sehingga memiliki banyak anak buah atau
kawan yang terdiri dari kaum pelaku kriminal. Dengan demikian, dia memiliki
kemampuan untuk mengendalikan mereka agar tidak berbuat kriminal di
tempat-tempat tertentu atau di sekitar lingkungan yang dijaganya.
Ciri-ciri sikap dan perilaku khas
centeng selalu mudah dikenali oleh masyarakat. Misalnya, dia senang menonjolkan
dirinya dengan berjaket, bertopi, berkacamata hitam, bercincin, bergelang dan
berkalung dengan ukuran besar. Dia juga suka berdiri atau duduk dengan berkacak
pinggang sekalipun sedang bersenda-gurau dengan kawan-kawannya. Sikap dan perilaku
khas centeng seperti itu akan selalu menimbulkan kesan sangar dan menantang
bagi siapa pun. Di mata masyarakat awam (rakyat kecil) kesannya bisa jadi
menakutkan. Dalam hal ini, masyarakat awam akan merasa takut.
Manajemen Ketakutan
Setiap rezim centeng dapat
dikatakan sangat menguasai manajemen ketakutan. Dengan menunjukkan sikap dan
perilakunya yang khas, centeng akan selalu berusaha untuk bisa terkesan
menakutkan, agar banyak warga masyarakat yang ingin berada dalam lindungannya.
Dengan cara demikian dia akan semakin banyak mendapat imbalan dari warga
masyarakat yang merasa dilindungi.
Dengan menguasai manajemen
ketakutan, rezim centeng selalu mampu mengalahkan kewibawaan polisi, setidaknya
di mata warga masyarakat awam. Contohnya, jika ada warga masyarakat yang
kecopetan di pasar dan kemudian melaporkannya kepada centeng maka barang yang
dicopet akan cepat bisa dikembalikan dalam keadaan utuh. Selanjutnya, warga
masyarakat yang pernah menjadi korban kecopetan tidak akan khawatir kecopetan
lagi alias selalu merasa aman-aman saja karena sudah merasa berada dalam
lindungan centeng.
Sebaliknya, jika kasus kecopetan
dilaporkan kepada polisi misalnya, barang yang dicopet belum tentu
dikembalikan, karena polisi belum tentu mengenal siapa pencopetnya. Dalam kondisi
demikian, citra polisi sebagai pelindung keamanan kemudian diragukan.
Untuk dapat selalu menguasai
manajemen ketakutan dan merusak citra polisi, rezim centeng bisa saja sengaja
menyuruh kawan-kawannya untuk mencopet atau berbuat kriminal lain, kemudian dia
akan berperan sebagai pahlawan bagi warga masyarakat yang menjadi korbannya.
Kekuatan Politik
Warga masyarakat biasanya akan
merasa lebih aman jika berada dalam lindungan rezim centeng yang telah menjalin
kerja sama dengan aparat keamanan. Bagi kaum pedagang pasar atau pertokoan juga
akan merasa lebih aman jika pasar atau toko serta barang dagangannya sudah
berada dalam lindungan rezim centeng.
Namun, kenyataannya, pasar dan
pertokoan yang dilindungi rezim centeng bisa saja tiba-tiba dirusak, dijarah
dan dibakar. Misalnya seperti kasus kerusuhan Mei 1998 yang telah banyak menelan
korban. Dalam hal ini, rezim centeng ternyata tidak selamanya bisa menjamin
keamanan suatu lingkungan tertentu yang dikuasainya.
Sejak dulu, berkaitan dengan
hajatan politik seperti pemilu dan pilkada, nama-nama tokoh centeng atau preman
selalu naik daun, karena menjadi rebutan kubu-kubu yang sedang bertarung. Sudah
bukan rahasia lagi, banyak satuan tugas (satgas) partai yang dikenal oleh
masyarakat sebagai centeng atau preman.
Dengan demikian, setiap masa
kampanye pemilu dan pilkada, persaingan antar centeng dan preman di
banyak
daerah selalu mengemuka. Mana kubu yang lebih banyak merekrut kaum centeng atau
preman akan lebih menakutkan bagi warga masyarakat.
Sementara, warga masyarakat akan
cenderung memilih pemimpin yang dianggap paling kuat untuk bisa menjamin
keamanan, agar selanjutnya bisa lebih aman meskipun tetap dalam lindungan rezim
centeng. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar