SUARA KARYA, 01
Agustus 2013
|
Kurang sebulan lagi, tepatnya 17
Agustus 2013, bangsa Indonesia akan memperingati 68 tahun kemerdekaannya.
Pertanyaan yang menyeruak, apakah dalam rentang hampir tujuh dekade kebebasan
ini, bangsa Indonesia telah mengecap kemerdekaan dalam arti
sebenar-benarnya--ekonomi, politik, dan sebagainya?
Tak mudah menjawab pertanyaan yang
sederhana itu. Banyak ukuran yang bisa digunakan untuk menilai sukses tidaknya
pemerintahan, khususnya setelah era reformasi. Orde Reformasi yang
digadang-gadang menjadi jembatan emas (golden
bridge) untuk mencapai cita-cita bangsa pada praktiknya telah meleset dari
apa yang pernah dicita-citakan pendiri bangsa (founding fathers) negara ini.
Tujuan nasional bangsa ini seperti
dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Dengan melihat fakta yang tersurat
dalam Pembukaan UUD 1945 itu, tampaknya pemerintahan pascareformasi gagal
mengejawantahkan semangat dan keinginan bapak bangsa negara Republik Indonesia
ini. Masih banyaknya rakyat yang hidup dalam kemiskinan--meski di sisi lain
klaim pertumbuhan ekonomi tinggi selalu didengung-dengungkan pemerintah--hal
itu menjadi salah satu indikasi kegagalan itu.
Fakta lain menunjukkan kehidupan
masyarakat juga tidak lebih baik dibandingkan dengan masa lalu. Sistem
kenegaraan yang diterapkan saat ini dapat ditegaskan telah menyimpang. Kita
cenderung menggunakan prinsip demokrasi liberal, suatu sistem yang tentu saja
tidak sesuai dengan demokrasi yang diidamkan oleh pendiri negara yang
memberikan konsep tegas dan jelas.
Bahwa demokrasi yang dianut adalah
demokrasi yang berpijak pada konsep kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam
permusyawaratan dan perwakilan. Perlu digarisbawahi bahwa demokrasi ideal yang
tepat diterapkan di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan kebebasan dan
kesetaraan.
Bung Hatta sendiri sudah
menjelaskan hal itu sejak tahun 1933 dalam sebuah pidatonya. Konsep yang
ditawarkan oleh Sang Proklamator waktu itu tidak hanya demokrasi dalam konteks
politik, namun juga dalam konteks ekonomi.
Ide itu kemudian dipertegas oleh
Bung Karno yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki demokrasi yang khas karena
menempatkan faktor politik dan ekonomi dalam dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan. Bung Karno menyebutnya sebagai sosiodemokrasi.
Berpijak pada kenyataan itulah,
seharusnya elite-elite bangsa ini dapat menggali dan sekaligus merevitalisasi
nilai-nilai yang dahulu terbukti dapat menyatukan bangsa yang majemuk ini.
Dengan berkaca pada pengalaman sejarah, demokrasi permufakatan paling tepat
dijalankan di Indonesia. Bangsa Indonesia perlu mendukung ekonomi kerakyatan
yang sesuai dengan konstitusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar